Hijab dan Jilbab dalam al-Quran, Antara Makna dan Realita
Dalam diskursus keislaman, istilah “hijab” dan “jilbab” kerap digunakan secara bergantian, meskipun keduanya memiliki makna yang berbeda baik secara linguistik maupun dalam al-Quran. Tulisan ini mencoba menguraikan secara kontekstual makna hijab dan jilbab sebagaimana disebut dalam al-Quran dan menyoroti implementasinya dalam kehidupan sosial, dengan pendekatan tafsir. Pemahaman yang kurang tepat terhadap kedua istilah ini dapat mengaburkan esensi ajaran Islam dalam menjaga kehormatan dan identitas perempuan. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang mendalam dan kontekstual agar umat Muslim dapat mempraktikkan ajaran syariat dengan benar.
Baca Juga: MERAJUT PAMOR PEREMPUAN
Makna Hijab dalam al-Quran
Surah Al-Ahzab ayat 53 merupakan satu-satunya ayat dalam al-Quran yang secara eksplisit menyebut kata “hijab”:
وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ
“Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari balik hijab. Yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka…” (QS. Al-Ahzab [33]: 53)
Diriwayatkan dari Sayidah Aisyah, bahwa ayat ini turun berdasarkan usulan Sayidina Umar bin al-Khattab, yang mengkhawatirkan terbukanya akses terhadap istri-istri Nabi Muhammad ﷺ oleh para tamu yang datang dari berbagai latar belakang[1]. Dalam konteks ini, hijab bukanlah pakaian, melainkan pembatas fisik atau tabir yang membatasi interaksi langsung antara laki-laki dan perempuan sebagaimana yang dipaparkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili[2], khususnya dengan istri-istri nabi yang memiliki kedudukan mulia dan terhormat.
Makna Jilbab dalam al-Quran
Berbeda dengan hijab, kata “jilbab” muncul dalam Surah Al-Ahzab ayat 59:
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ٥٩
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka…” (QS. Al-Ahzab [33]: 59)
Imam as-Sudi memaparkan bahwa ayat ini turun karena adanya gangguan terhadap perempuan merdeka oleh para lelaki fasik yang tidak dapat membedakan mereka dengan budak perempuan. Maka Allah ﷻ memerintahkan agar para Muslimah memakai jilbab sebagai identitas yang membedakan mereka dan bentuk perlindungan dari gangguan[3]. Dalam penjelasan para ulama seperti Syekh Wahbah az-Zuhaili, jilbab diartikan sebagai pakaian luar yang longgar yang menutupi tubuh dari kepala hingga kaki[4], tidak menonjolkan bentuk tubuh dan tidak menarik perhatian.
Khimar dan Penutup Dada
Selain hijab dan jilbab, al-Quran juga menggunakan istilah khimar dalam Surah An-Nur ayat 31:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimar) ke dadanya…” (QS. Al-Nur [24]: 31)
Ayat ini menjelaskan bahwa perempuan tidak cukup hanya menutup kepala, namun juga wajib menutupi bagian dada. Syeikh Ali ash-Shabuni menjelaskan, hal ini dikarenakan kebiasaan perempuan di masa Jahiliah yang memakai kerudung tapi membiarkannya terurai ke belakang sehingga bagian leher dan dada terlihat. Maka Allah ﷻ memperintahkan agar khimar dipakai dengan menutupi dada sebagai bentuk kesopanan dan perlindungan terhadap aurat[5].
Keringanan untuk Perempuan Tua
Surah An-Nur ayat 60 memberikan keringanan kepada perempuan tua yang tidak lagi berharap untuk menikah:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاۤءِ الّٰتِيْ لَا يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ اَنْ يَّضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجٰتٍ ۢبِزِيْنَةٍۗ
“Tidak ada dosa bagi perempuan tua yang telah berhenti haid dan tidak berhasrat menikah untuk menanggalkan pakaian luar mereka, selama tidak menampakkan perhiasan…” (QS. Al-Nur [24]: 60)
Pakaian luar yang dimaksud adalah jilbab atau pakaian tambahan, bukan pakaian pokok penutup aurat. Namun, Al-Qur’an tetap menekankan bahwa menjaga kehormatan dengan terus mengenakan pakaian luar lebih utama bagi mereka. Kelonggaran ini diberikan karena wanita yang sudah tua, yang telah berhenti haid dan tidak lagi berkeinginan menikah, sudah tidak memiliki lekuk tubuh yang menonjol yang dapat menarik perhatian laki-laki. Oleh karena itu, mereka diperbolehkan untuk tidak mengenakan jilbab luar selama mereka tidak menampakkan perhiasan atau melakukan tabarruj (berhias dengan cara yang dapat menggoda).
Dari kelonggaran ini, kita bisa menarik kesimpulan untuk wanita muda. Bagi wanita yang masih memiliki daya tarik atau harapan untuk menikah, mereka wajib mengenakan pakaian yang tidak hanya menutupi aurat tetapi juga lekuk tubuh. Hal ini bisa berarti mengenakan dua lapis pakaian: satu untuk menutupi aurat dan satu lagi untuk menutupi lekuk tubuh, atau cukup mengenakan satu pakaian longgar yang mampu menutupi keduanya sekaligus.
Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ memberikan peringatan keras dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah:
ربّ نِسَاءِ كَاسِيَاتٍ عَارِيَاتٍ، مُميلَاتٍ مائِلاتٍ، لا يَدخُلْنَ الجَنَّةَ، ولا يَجِدْنَ رِيحَهَا
“Betapa banyak wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, condong dan menggoda, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya.[6]”
Diksi “berpakaian tetapi telanjang” diartikan sebagai berpakaian yang tipis, ketat, atau menampakkan lekuk tubuh. Ini menjadi pengingat bahwa tidak semua bentuk berpakaian dapat dianggap sebagai pelaksanaan syariat jika masih mempertontonkan aurat secara tidak langsung.
Baca Juga: Menelisik Gaun Wanita Salehah
Kesimpulan
Dalam konteks masyarakat Indonesia, istilah hijab lebih sering merujuk pada kerudung atau penutup kepala, sementara jilbab dipahami sebagai pakaian panjang seperti gamis atau abaya. Pemahaman ini tidak sepenuhnya keliru, namun cenderung mengalami penyempitan makna. Di dunia Arab, jilbab adalah pakaian luar yang longgar dan menutupi seluruh tubuh, sedangkan hijab berarti tabir atau bentuk pemisahan, bukan hanya sehelai kain kepala. Fenomena hijab modern saat ini menunjukkan adanya pergeseran makna dari nilai spiritual ke nilai estetika. Banyak model hijab yang secara bentuk menarik perhatian, namun secara syar’i tidak memenuhi kriteria menutup aurat dengan sempurna. Oleh karena itu, penting bagi Muslimah untuk mengembalikan fungsi hijab dan jilbab sesuai dengan tuntunan wahyu, bukan hanya sekadar tren busana.
Syafiq Yahya/IstinbaT
[1] Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Wajiz, hlm. 427, cet. darul-fikr
[2] Ibid, hlm 426
[3] Syekh Ali ash-Shabuni, Shafwatut-Tafasir, II/962 cet. Maktabah Ashriyyah
[4] Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Wajiz I/427 cet. Darul-Fikr
[5] Syekh Ali ash-Shabuni, Shafwatut-Tafasir, II/791, cet. Maktabah ashriyyah
[6] Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Munirو IX/640, cet. Darul-Fikr