Menjadikan Khodam Jin

Belakangan ini, konten dan permainan mengenai cek khodam yang dikaitkan dengan seseorang sedang populer di berbagai media sosial. Tren ini menegaskan bahwa kepercayaan pada makhluk gaib dengan segala kompleksitasnya tetap hidup di tengah modernitas masyarakat Indonesia.

Keyakinan yang meluas di tengah masyarakat menyatakan bahwa khodam dapat berwujud seperti hewan, bahkan menyerupai manusia, dan dapat berkomunikasi serta membantu mereka. Oleh karenanya, banyak orang yang ingin memilikinya.

Banyak yang percaya bahwa khodam merupakan bagian dari diri manusia, entah itu sebagai warisan atau akibat dari ritual khusus untuk berhubungan atau melakukan perjanjian dengan bangsa jin.

Lantas bagaimana hukum memiliki khodam dalam perspektif syariat?

Asal Usul Khodam

Setiap manusia itu didampingi jin qarin dan malaikat sejak lahir sampai meninggal dunia. Ini berlaku bagi semua kalangan baik para Nabi, orang shaleh dan yang lain, sebagaimana hadis riwayat Imam Ahmad:

“Tidaklah seorang pun dari kalian kecuali telah ditetapkan jin yang menyertainya.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Akan tetapi, jin qarin di sini bukanlah khodam yang diyakini oleh masayarakat, karena Khodam yang dimaksud adalah jin yang dapat menolong manusia dalam melakukan pekerjaan tertentu. Contohnya, jin yang tunduk kepada Nabi Sulaiman dan menyelam ke dasar lautan untuk mengambil mutiara yang digunakan untuk pembangunan kerajaan Nabi Sulaiman.[1]

Meminta pertolongan khodam ini dikenal dengan istilah istikhdâmul jân yang bisa didapatkan dengan cara menggunakan azimat, seperti rukyah dan semacamnya, sebagaimana keterangan yang dijelaskan Imam al-Hafizh Abul-Fida’ Ismail dalam Tafsir Ibni Katsir.[2] Tentunya, wujud asli jin di sini tidak bisa dilihat, karena Allah menciptakan indra jin bisa melihat manusia, tidak dengan sebaliknya, kecuali para nabi. Beda halnya jika jin menampakkan diri dengan bentuk hewan atau sesamanya, maka mungkin untuk dilihat.[3]

Berbeda dengan jin qarin yang disebutkan dalam hadis, jin qarin tersebut adalah jin yang memotivasi melakukan kejelekan, sebagaimana dapat dipahami dalam hadis riwayat Muslim:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ وَقَرِينُهُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ. قَالُوا: وَإِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: وَإِيَّايَ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ

Tidaklah seorang pun dari kalian kecuali telah ditetapkan jin, dan malaikat yang menyertainya.” Para shahabat bertanya, “Apakah Engkau juga demikian wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Ya, termasuk saya, hanya saja Allah menolong saya sehingga jin itu masuk Islam. Ia tidak pernah menyuruh saya kecuali untuk kebaikan.” (HR. Muslim).

Menurut Imam Nawawi, dengan membaca dhammah mim ” أَسْلَمُ”, dapat dipahami bahwa Nabi mendapat pertolongan Allah sehingga selamat dari kejelekan dan fitnah jin tersebut.[4]

Menjadikan Jin sebagai Khodam

Ulama berbeda pandangan dalam hal ini. Imam al-Hafizh Abul-Fida’  Ismail dalam Tafsir Ibni Katsir mengategorikan istikhdâmul jân ini sebagai bagian dari perbuatan sihir yang terlarang. Senada dengan pendapat ini, Imam Murtadha az-Zabidi dalam Ithâfus-Sâdati al-Muttaqîn menjelaskan :

“Tidak boleh (seorang muslim) meminta pertolongan terhadap jin untuk memenuhi kebutuhannya, mematuhi perintahnya, atau memintanya agar memberi tahu tentang hal-hal gaib.”

Hal ini bukan tanpa alasan. Lumrahnya, orang yang melakukan ritual ini akan terjerumus dalam kekufuran,[5] sehingga larangan ini diarahkan sebagai bentuk antisipasi terhadap sesuatu yang mungkin terjadi.[6]

Menurut sebagian ulama, meminta petolongan terhadap selain Allah termasuk jin diperbolehkan berlandasan hadis riwayat ath-Thabarani:

“Apabila diantara kalian tersesat atau butuh bantuan di tempat yang tidak ada seorang pun di sana, maka katakanlah: Wahai hamba Allah tolonglah aku‘, maka sesunggunya Allah memiliki hamba yang tidak kalian lihat.”

Tentunya, meminta pertolongan di sini hanya sebagai wasilah karena secara hakikat petolongan itu tidak datang dari selain Allah.

Meminta pertolongan terhadap jin, menurut Syekh Zakariya al-Anshari, tidak termasuk bagian dari sihir, melainkan rahasia dan pertolongan dari Allah jika dilakukan oleh orang yang berpegang teguh dalam agama, menggunakan mantra yang dilegalkan syariat, serta tidak menimbulkan bahaya terhadap dirinya dan juga orang lain.[7]

Dengan memenuhi syarat tersebut, istikhdâmul jân bisa saja dilegalkan. Tentunya, tanpa memercayai informasi yang disampaikan oleh jin, karena berita yang datangnya dari jin itu tidak dipastikan kebenarannya.[8]

Ketentuan di atas berlaku jika jin yang dijadikan pembantu adalah jin muslim. Jika tidak demikian, maka tidak diperbolehkan secara mutlak. Sebab, meminta pertolongan terhadap jin kafir itu merupakan bentuk sihir yang paling tinggi.[9]

Kesimpulan

Mendatangkan jin untuk dimintai pertolongan dalam mengerjakan perbuatan tertentu diperbolehkan jika sudah memenuhi kriteria yang telah disebut di atas. Jika tidak, maka dapat terjerumus pada pekerjaan terlarang bahkan kekufuran, karena tindakan demikian merupakan bagian dari sihir yang terlarang. Adapun mendatangi dukun untuk memperoleh ramalan dan kabar gaib seperti cek khodam, maka jelas dilarang dalam syariat. Wallahu A’lam bis Shawab.

Oleh : Faqih / Sekred Istinbat


[1] Jalaluddin Mahalli, Tafsir Jalalain I/428

[2] Abul-Fida’ Ismail, Tafsir ibni Katsir, I/428

[3] Fakhruddin ar-Razi, Tafsir ar-Razi, 606

[4] Al Khatib as Syarbini, as Sirajul Munir. 977

[5] Sayyid Alwi bin Ahmad as Segaf, Majmûatu Sab’ati Kutubin Mufidah. 17

[6] Syekh Abdullah bin Shâlihul Abîd, ar-Ruqâ asy Syar’iyah. 8

[7] Syekh Zakariya Al-Anshori, al-Ghurarul Bahiyah fi Syarhil-Bahjatul Wardiyah. 926

[8] Fatawa al Azhar X/148

[9] Jaziri, Abdurrahman, Madzahibul Arba’ah. V/466

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *