MENYOROTI KEBIJAKAN RELOKASI WARGA REMPANG

Pemerintah adalah pemangku segala kebijakan di dalam sebuah negara. Pemerintah juga merupakan pusat harapan bagi masyarakat, sehingga segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pasti mendapat penilaian dari masyarakatnya. Dewasa ini negara kita sedang diriuhkan dengan kasus relokasi yang terjadi di Rempang kepulauan Riau. Selain karena aktor utama dalam kebijakan ini adalah pemerintah dan penduduk rempang, juga faktor pertimbangan maslahah yang menimbulkan pro-kontra. Oleh karena itu, perlu kiranya kami menyoroti penggusuruan tanah ini secara lembut dalam dimensi fikih kebangsaan.

Penggusuran tanah atau lahan milik warga yang dilakukan pihak pemerintah memang kerap memicu persoalan serius antara pihak warga dan pihak pemerintah. Biasanya alasan yang diajukan pemerintah adalah untuk pembangunan kepentingan umum. Selain itu,  kericuhan biasa terjadi sebab ganti rugi tanah yang dianggap tidak sepadan.

Pada dasarnya penggusuran tanah warga oleh pemerintah adalah diperbolehkan sepanjang memang benar-benar untuk kemaslahatan publik (al-mashlalah al-‘ammah) yang tidak bertentangan dengan syariat. Akan tetapi, memang harus dengan ganti rugi yang setimpal dengan hak masyarakat.

Hal ini sebagaimana yang telah diputuskan NU dalam Muktamar ke-29 di Pondok Pesantren Cipasung-Tasikmalaya pada tanggal 1 Rajab 1415 H/4 Desember 1994 M. Salah satu pijakan keputusan tersebut adalah kasus Sayidina Umar bin al-Khaththab yang melakukan penggusuran tanah warga untuk perluasan Masjidil Haram, sebagaimana dituturkan al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyah.

فَلَمَّا اسْتُخْلِفَ عُمَرُ وَكَثُرَ النَّاسُ وَسَّعَ الْمَسْجِدَ وَاشْتَرَى دَوْرًا هَدَمَهَا وَزَادَهَا فِيْهِ وَهَدَمَ عَلَى قَوْمٍ مِنْ جِيْرَانِ الْمَسْجِدِ أَبَوْا أَنْ يَبِيْعُوْا وَوَضَعَ لَهُمْ اْلأَثْمَانَ حَتَّى أَخَذُوْهَا بَعْدَ ذَلِكَ وَاتَّخَذَ لِلْمَسْجِدِ جِدَارًا قَصِيْرًا دُوْنَ الْقَامَةِ وَكَانَتْ الْمَصَابِيْحُ تُوْضَعُ عَلَيْهِ وَكَانَ عُمَرُ أَوَّلَ مَنْ يَتَّخِذُ جِدَارًا لِلْمَسْجِدِ.

“Ketika diangkat sebagai Khalifah dan jumlah penduduk semakin banyak, Umar memperluas masjid dengan membeli rumah dan merobohkannya. Lalu ia menambah perluasannya dengan merobohkan (bangunan) penduduk sekitar masjid yang enggan menjualnya. Ia lalu memberi harga tertentu sehingga mereka mau menerimanya. Ia membangun dinding yang pendek kurang dari tinggi manusia, dan memasang lampu-lampu di atasnya. Ia adalah orang yang pertama kali membuat dinding untuk masjid,” (Lihat Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Mesir-Musthafa al-Halabi, cet ke-2, 1966, halaman 162).

Pada saat menjabat sebagai khalifah, Sayidina Umar bin Al-Khaththab memiliki ide untuk memperluas Masjidil Haram. Ide perluasan ini muncul sebab  ia melihat banyaknya penduduk kota Makkah saat itu. Oleh karena itu, khalifah yang sangat dikenal dengan keberaniannya ini membeli tanah warga di sekitar masjid. Hanya saja, dalam proses tersebut ada sebagian warga yang enggan menjual tanahnya. Melihat hal tersebut Khalifah Umar bin al-Khaththab  mengambil kebijakan untuk merobohkan bangunan milik warga yang enggan menjualnya, dan menawarkan harga tertentu sehingga mereka menerimannya.

Kebolehan menggusur tanah warga oleh pemerintah untuk kepentingan umum ini dianalogikan dengan kebolehan mengambil tanah warga yang berdampingan dengan masjid secara paksa untuk perluasan masjid ketika mereka enggan menjual tanahnya, padahal perluasan tersebut sangat mendesak. Selain itu, penggusuran tanah ini harus memiliki ganti rugi yang disepakati. Penentuan ganti rugi yang memadai dilakukan dengan cara musyawarah atas dasar keadilan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Hal ini sangat wajib diperhatikan untuk menghindari konflik berkelanjutan antara warga dan pihak pemerintah.

وَالصُّوْرَةُ الثَّانِيَةُ هِيَ الاسْتِمْلاَكُ لِأَجْلِ مَصَالِحِ الْعَامَّةِ فَقَدْ أَجَازَ الشَّرْعُ اْلإِسْلاَمِيُّ اسْتِمْلاَكَ اْلأَرْضِ الْمُجَاوِرَةِ لِلْمَسْجِدِ جَبْرًا عَلَى أَصْحَابِهَا إِذَا امْتَنَعُوْا عَنْ بَيْعِهَا وَضَاقَ الْمَسْجِدُ بِأَهْلِهِ وَاحْتَاجَ إِلَيْهَا كَمَا أَجَازُوْا مِثْلَ ذَلِكَ لِأَجْلِ تَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ إِذَا دَعَتْ حَاجَةُ النَّاسِ إِلَى تَوْسِيْعِهِ وَذَلِكَ بِالْقِيْمَةِ الَّتِيْ يُسَاوِيْهَا الْعِقَارُ الْمُسْتَمْلَكُ حَتَّى لَقَدْ نَصَّ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يُؤْخَذَ لِتَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ جَانِبٌ مِنَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ الْحَاجَةِ

“Contoh kedua adalah pengambilan hak milik demi kepentingan umum. Agama Islam memperbolehkan pengambilan hak milik tanah yang berdampingan dengan masjid secara paksa jika si pemilik enggan menjualnya. Sementara masjid sudah sempit bagi para jamaahnya dan mereka membutuhkannya. Seperti halnya para ulama memperbolehkan kasus semacam itu untuk perluasan jalan umum ketika masyarakat sangat membutuhkannya, dengan memberikan (ganti rugi) harga yang sepadan dengan harga tanah yang diambil hak miliknya. Bahkan para fuqaha juga telah menjelaskan, boleh mengambil satu sisi dari masjid untuk keperluan perluasan jalan umum ketika dibutuhkan,” (Lihat Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Amm, Damaskus-Alif Ba Al-Adib, 1968 H. I/ 248).

Meskipun pemerintah boleh menggusur tanah warga atas nama kepentingan umum, namun pihak pemerintah juga tidak boleh sewenang-wenang dan seenak perutnya sendiri menentukan ganti rugi. Akan tetapi, harus dengan ganti rugi sewajarnya dan mencerminkan rasa keadilan. Yang tak kalah penting adalah harus dipastikan benar-benar untuk kepentingan umum, bukan kepentingan individu tertentu. Di samping itu juga harus dipikirkan bagaimana nasib warga pasca penggusuran tanahnya.

‘Ala kulli Haal, penggusuran atau pengosongan lahan yang dilakukan oleh oknum pemerintah haruslah berstandar al-Maslahah al-‘Ammah (kepentingan publik), karena jika tidak demikian maka kebijakannya tidak bisa terealisasikan secara Syara’ dan akan mengundang pro-kontra yang akan memicu perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Wallahu A’lamu Bis Shawab.

Oleh:Muhammad Lutfi Maulana

One thought on “MENYOROTI KEBIJAKAN RELOKASI WARGA REMPANG

  • 17 Desember 2023 pada 12:18 am
    Permalink

    Lantas sorotan untuk kebijakan Rempang?
    Jika memang tafsil, jelaskan bahwa mashlahat itu yang dapat mengukur adalah imam berikut ibaratnya. Jika begini ngambang, tidak difahami sorotannya.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *