Gelar Dulu, Haji Belakangan

Pada edisi kali ini, saya terdorong untuk mengangkat dan membahas tema “Pak Haji Belum Haji.” Tema ini terasa unik dan diyakini akan menarik perhatian publik karena menyentuh realita yang kerap kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim baik laki-laki maupun perempuan yang telah baligh, berakal, merdeka, dan mampu. Namun dalam kenyataannya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah ini. Bahkan, masih banyak di antara kita yang belum mampu pergi ke Baitullah untuk menunaikan ibadah tersebut. Hal ini disebabkan karena ibadah haji menuntut kesiapan fisik, mental, serta bekal harta yang mencukupi sebagai syarat lahiriah agar ibadah ini bisa dijalankan sesuai tuntunan syariat.

Indonesia bisa dikatakan sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Tak heran jika istilah ‘Haji’ sangat familiar di telinga masyarakat. Saking akrabnya, kita kerap menjumpai orang-orang di sekitar kita yang memanggil temannya atau tetangganya dengan sebutan ‘Haji’ atau ‘Pak Haji’, padahal kenyataannya orang tersebut masih belum pernah melaksanakan ibadah haji meskipun satu kali.  Hal ini menunjukkan betapa lekatnya istilah “Haji” dalam keseharian masyarakat kita.

Baca Juga: Bulan Madu di Tanah Suci

Fenomena ini bisa jadi terlihat sepele, namun sebenarnya persoalan ini menyimpan renungan mendalam. Memanggil seseorang dengan gelar “Haji” padahal belum berhaji sebenarnya perlu kajian yang lebih dalam. Apakah itu sebatas kebiasaan sosial yang lumrah, bentuk penghormatan, atau justru penyematan gelar yang keliru bahkan bisa menjadi bentuk ketidakjujuran simbolik yang mengaburkan makna ibadah tersebut?

Kita perlu mengingat kembali bahwa kehidupan ini tidak lepas dari hukum-hukum dan etika syariat yang mengatur seluruh aspek keseharian kita mulai dari perbuatan, sikap, hingga ucapan.

Dari sini, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hukum memanggil seseorang dengan sebutan “Haji” atau “Pak Haji” padahal ia belum pernah menunaikan ibadah Haji, menurut perspektif fikih. Apakah hal ini hukumnya boleh, atau justru dilarang?

Para ulama telah membahas masalah ini secara rinci. Di antaranya adalah:

  • Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi asy-Syafi’i (w. 1221 H) dalam karyanya Tuhfatul-Habib ‘ala Syarhil -Khatib, II/419 (cet. Dār al-Fikr).
  • Syekh Sulaiman al-Jamal (w. 1204 H) dalam Futuhat Wahhab bi Taudhih Syarh Minhaj ath-Thullab, II/372 (cet. Dār al-Fikr).
  • Syekh Ali Syabramalisi (Abī adh-Diyā’ Nūruddin ‘Ali bin ‘Ali al-Qāhiri, w. 1087 H) dalam Hāsyiyah asy-Syubramilisi ‘ala Nihāyatil Muhtāj, III/242 (cet. Dār al-Fikr).

 (فَرْعٌ)

وَقَعَ السُّؤَالُ عَمَّا يَقَعُ كَثِيرًا فِي مُخَاطَبَاتِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ مَعَ بَعْضٍ مِنْ قَوْلِهِمْ لِمَنْ لَمْ يَحُجَّ يَا حَاجُّ فُلَانُ تَعْظِيمًا لَهُ هَلْ هُوَ حَرَامٌ أَوْ لَا، وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الظَّاهِرَ الْحُرْمَةُ؛ لِأَنَّهُ كَذِبٌ؛ لِأَنَّ مَعْنَى يَا حَاجُّ فُلَانُ يَا مَنْ أَتَى بِالنُّسُكِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَخْصُوصِ نَعَمْ إنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ فُلَانُ الْمَعْنَى اللُّغَوِيَّ وَقَصَدَ بِهِ مَعْنًى صَحِيحًا كَأَنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ يَا قَاصِدَ التَّوَجُّهِ إلَى كَذَا كَالْجَمَاعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَلَا حُرْمَةَ اهـ. ع ش عَلَيْهِ.

Artinya:

“Terdapat pertanyaan yang sering muncul dalam percakapan masyarakat, yaitu mengenai penggunaan panggilan ‘Ya Hajj Fulan’ (Wahai Haji Fulan) kepada seseorang yang belum menunaikan ibadah haji sebagai bentuk penghormatan. Apakah hal ini haram atau tidak? Jawabannya adalah bahwa secara jelas hal ini haram karena dianggap sebagai kebohongan. Hal ini disebabkan karena makna dari ‘Ya Hajj’ adalah ‘Wahai orang yang telah melaksanakan ibadah haji dengan cara yang khusus’. Namun, jika yang dimaksud dengan ‘Ya Hajj’ adalah makna harfiah (bahasa) dan ditujukan untuk makna yang benar, seperti menyebut ‘Ya Hajj’ untuk orang yang menuju ke suatu tempat seperti masjid atau tempat lain, maka tidak ada larangan (haram) untuk itu.”

Menurut pendapat para ulama tersebut, hukumnya tidak diperbolehkan (haram) memanggil seseorang dengan gelar “haji” apabila belum melaksanakan ibadah haji, karena dianggap sebagai kizb (dusta). Sebab, secara syar‘i, sebutan “haji” mengandung arti seseorang yang telah menunaikan ibadah Haji sesuai ketentuan.

Namun, apabila yang dimaksud hanyalah makna lughawī (bahasa), seperti seseorang yang pergi menghadap atau menuju sesuatu, maka hal itu tidak apa-apa selama maksudnya jelas dan tidak mengarah pada penipuan atau penyamaran identitas ibadah.

Sebagai umat Islam, sudah selayaknya kita lebih berhati-hati dalam menggunakan sebutan-sebutan keagamaan yang memiliki makna dan kehormatan ibadah. Sebutan “Haji” bukanlah sekadar gelar sosial, melainkan simbol ketaatan yang lahir dari pengorbanan dan keikhlasan dalam menunaikan rukun Islam kelima. Memberikan gelar tersebut kepada seseorang yang belum berhaji bisa menurunkan nilai spiritual ibadah haji dan menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.

Apalagi jika gelar itu digunakan terus-menerus hingga melekat dalam identitas sosial seseorang. Di sinilah pentingnya kesadaran dan kehati-hatian dalam penggunaan istilah-istilah keagamaan. Sebutan “haji” bukanlah gelar sembarangan. Ia adalah simbol kesungguhan ibadah, pengorbanan, dan komitmen spiritual yang dalam.

Baca Juga: Kriteria Mampu Melaksanakan Ibadah Haji Menurut Imam Nawawi

Mari kita saling mengingatkan dengan bijak. Semoga Allah ﷻ senantiasa memberikan kita kemudahan untuk menunaikan rukun Islam kelima ini, dan meraihnya dalam keadaan ikhlas, hingga layak menyandang sebutan “Haji Mabrur” bukan sekadar dipanggil “Pak Haji” tanpa pernah berhaji. Wallāhu a‘lamu bish-Shawāb.

Oleh; Badrus Sholeh/ Istinbat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *