Cantik Sejati: Antara Penampilan dan Ketakwaan
Kecantikan adalah salah satu tema yang selalu menarik perhatian publik, khususnya bagi kaum Akhwat. Dalam masyarakat modern, standar kecantikan seringkali ditentukan oleh ukuran fisik: kulit cerah, tubuh ideal, busana mewah, atau riasan wajah yang memukau. Media sosial dan industri kosmetik memperkuat persepsi ini dengan terus mempromosikan “kecantikan luar” sebagai ukuran nilai seorang wanita.
Namun, perspektif Islam jauh lebih dalam. Cantik dalam pandangan syariat tidak hanya terbatas pada fisik, melainkan juga mencakup kecantikan batin yang berakar pada iman, akhlak, dan ketakwaan. Inilah yang disebut dengan Jamāl Haqīqī (keindahan sejati), yang tidak pernah pudar walau usia bertambah dan fisik menua.
Meski kecantikan adalah dambaan setiap wanita khususnya kalangan muslimah. Namun, standar kecantikan dalam Islam berbeda dengan ukuran dunia modern. Islam tidak menafikan pentingnya menjaga penampilan fisik, tetapi islam juga menegaskan bahwa kecantikan sejati adalah kecantikan fisik yang berpadu dengan hati dalam ketakwaan dan rasa bersukur.
Kecantikan dalam Syariat
Islam mendorong umatnya untuk menjaga kebersihan dan penampilan. Rasulullah ﷺ bersabda[1]:
إنَّ اللَّه جمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim No.147)
Hadis ini menjadi dasar bahwa memperhatikan penampilan, menjaga kebersihan, serta mengenakan pakaian yang pantas adalah bentuk syukur atas nikmat yang Allah anugerahkan. Wahai Akhwat keindahan yang dicintai Allah adalah keindahan yang disertai dengan niat ikhlas serta tidak menyalahi batas syariat. Islam tidak menolak kecantikan fisik, tetapi menempatkannya pada posisi yang proporsional. Syekh Mulla Ali al-Qari mempertegas hadis diatas dengan hadis Nabi yang lain[2]:
إنَّ اللهَ يُحِبُّ أنْ يَرَى أثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang menampakkan nikmat-Nya” (HR. Tirmidzi No.3026)
Sayangnya, banyak perempuan yang terjebak pada perlombaan semu untuk memperindah penampilan luar, hingga lupa bahwa kecantikan sejati tidak hanya terlihat di depan cermin, tetapi terpancar dari akhlak dan hati yang bersih. Berbeda dengan kecantikan fisik yang akan memudar, kecantikan batiniah justru abadi dan tetap. Rasulullah ﷺ bersabda[3]:
إِنَّ اللَّهَ لا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim No.2564)
Hadis ini menegaskan bahwa nilai sejati seorang terletak pada kualitas hati dan amalnya, bukan sekadar bagus di luarnya saja. Wahai akhwat, ingat kecantikan akhlak—seperti kelembutan, kesabaran, dan kesantunan—lebih memikat hati manusia daripada kecantikan wajah. Karena kecantikan ini tidak bisa dipalsukan dengan kosmetik ataupun busana. Al-Qur’an menegaskan bahwa kemuliaan sejati tidak diukur dengan fisik, melainkan dengan ketakwaan. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. al-Hujurat: 13)
BACA JUGA: Selektif Dalam Memilih Pasangan Ideal
Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa kemuliaan sejati seseorang bukanlah pada garis keturunan, kekayaan, atau penampilan, melainkan pada ketaatannya kepada Allah[4].
Wahai akhwat! Seorang muslimah yang berhijab, menjaga lisannya, serta menunaikan kewajiban agamanya dengan penuh keikhlasan, pada hakikatnya jauh lebih cantik di mata Allah dibandingkan dengan wanita yang hanya sibuk mempercantik tampilan luar namun lalai dari ibadah.
Namun demikian, di era digital, standar kecantikan semakin sempit dan penuh tekanan. Banyak muslimah merasa harus tampil sempurna di depan kamera, mengikuti tren, dan berlomba mendapat pujian baik dalam bentuk likes atau followers. Namun, ulama mengingatkan bahwa kecantikan yang dijadikan alat untuk riya’ atau pamer justru hanya berakhir dengan mendapatkan dosa. Dalam hal ini Imam Bukhari dan Imam muslim dalam sahihnya mengutip sabda Nabi [5]ﷺ:
كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ
“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang-orang yang berbuat dosa secara terang-terangan.” (HR. Bukhari No. 6069/ Muslim No. 2990)
Hal ini sangat relevan di era media sosial, ketika sebagian muslimah terjebak dalam budaya pamer kecantikan yang justru dapat menjerumuskan kepada fitnah dan dosa. Salah satu bentuk dosa terang-terangan di zaman ini adalah menampilkan aurat atau kecantikan fisik di ruang publik tanpa batas. Padahal, aurat wanita adalah kehormatan yang harus dijaga.
Islam mengajarkan keseimbangan. Tidak berarti seorang muslimah harus mengabaikan penampilan fisik, karena kebersihan dan kerapian juga bagian dari iman. Namun, ingat penampilan luar harus selaras dengan hati yang penuh ketakwaan. Seorang muslimah yang merias diri dengan sederhana, menjaga adab, serta memelihara hati dari penyakit riya’, akan tampil dengan kecantikan yang mengembirakan lagi menenangkan.
Penutup
Cantik sejati bagi seorang muslimah khususnya kalangan akhwat adalah ketika penampilan terjaga sesuai syariat, dan hati bercahaya dengan ketakwaan. Penampilan bisa menarik pandangan sesaat, tetapi ketakwaanlah yang menumbuhkan cinta, hormat, dan keberkahan abadi. Kecantikan fisik memang penting untuk dirawat sebagai bentuk syukur. Namun, kecantikan batiniah berupa iman, akhlak, dan ketakwaan jauh lebih bernilai. Seorang muslimah sejati bukan hanya cantik di mata manusia, melainkan juga indah di sisi Allah.
Wahai akhwat, rawatlah penampilanmu, tetapi jangan lupakan kecantikan hati. Sebab kecantikan sejati bukan pada wajah yang dipoles, melainkan pada hati yang dipenuhi cahaya iman dan amal saleh. Cantik sejati adalah ketika wajah dihiasi senyum iman, dan hati dipenuhi cahaya takwa.
Abdulloh AG | IstinbaT
BACA JUGA: JANGAN PAKSA MEREKA MEMBUKA CADAR, HAL ITU MENYAKITKAN
[1] Imam Muslim bin Hajjaj bin muslim, Shahih Muslim, Kitāb al-Īmān (Bāb Taḥrīm al-Kibr wa-Bayānuh) [I/65]
[2] Syekh Mulla Ali al-Qari, Kitab Mirqaatul-Mafatiih Syarh Misykaatil-Mashaabiih, [VIII/3190], Shamela.ws(https://shamela.ws/book/8176/7034)
[3] Imam Muslim bin Hajjaj bin muslim, Shahih Muslim, Kitāb al-Birr wa-al-Ṣilah wa-al-Ādāb(Bāb Taḥrīm Ẓulm al-Muslim, wa-Khadzlih, wa-Iḥtiqārih, wa-Damih, wa-‘Irḍih, wa-Mālih)[VIII/11]
[4]Fakhruddin ar-Razi, Mafaatihul-Ghaib/ Tafsīr al-Kabīr, [XXVIII/115], shamela.ws (https://shamela.ws/book/23635/5195#p1)
[5] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitāb al-Adab (Bāb Sitr al-Mu’min ‘alā Nafsih), [VIII/20]. Imam Muslim bin Hajjaj bin muslim, Shahih Muslim, Kitāb al-Zuhd wa-al-Raqāʾiq (Bāb al-Nahy ‘an Hatk al-Insān Sitr Nafsih), [VIII/224].

