Khitbah Ditolak Senyum Bertindak
Ada sebuah cerita dari seorang pria yang mempunyai keinginan untuk menikah. Ditinjau dari usia, dia sudah matang untuk membangun sebuah keluarga. Dia menggali informasi dari orang terdekatnya, mungkin ada seorang perempuan yang siap mengarungi bahtera rumah tangga.
Singkat cerita, dari penjelajahan mencari belahan jiwa, ada seorang perempuan yang mendambakan seorang imam dalam hidupnya. Pria itu segera menghubungi keluarganya. Menguatkan niat untuk meminang perempuan yang akan menyempurnakan separuh imannya.
Ternyata, apa yang pria itu mimpikan tak sesuai kenyataan. Tak sempat melakukan pinangan, pihak keluarga mematahkan harapan pria itu. Imajinasi untuk segera memulai kehidupan baru, harus tertunda. Ada rasa trauma, karena ini adalah pengalaman pertamanya.
Harapan itu terbagi dua. Pertama, jalan untuk menggapainya sesuai keinginan. Patutnya hal ini harus disyukuri, karena Allah telah meridai keinginan kita. Kedua, keinginan kita tertunda. Maka, ini harus lebih disyukuri lagi, berarti Allah mempunyai tujuan yang lain; memberikan yang terbaik bagi kita.
Jodoh pun demikian. Saat hati sudah mantap untuk menikah, maka ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, Allah segerakan jodohnya sesuai impian. Kedua, Allah tangguhkan jodohnya. Maka, yang harus diprioritaskan adalah berbaik sangka bahwa Allah akan memberi jodoh yang terbaik buat kita.
Diriwayatkan dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan, Rasulullah bersabda;
“Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Shahabat Salman al-Farisi pernah mengalami kejadian yang tak sesuai harapan. Lamarannya ditolak oleh perempuan yang akan menjadi tempat tambatan cintanya. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah telah mengambil tempat di hatinya.
Kemudian disampaikanlah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’. Mendengar niat baik Salman al-Farisi, Abu Darda’ bahagia. Lalu, keduanya menyiapkan segala kebutuhan untuk meminang sang gadis. Berangkatlah kedua shahabat tersebut menuju rumah sang gadis.
Sungguh mengejutkan, bahwa sang gadis lebih tertarik kepada Abu Darda’ selaku pengantar daripada pelamar. Namun, reaksi Salman al-Farisi sungguh menggugah hati. “Allahu Akbar!”, seru Salman. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Setiap individu memiliki hak untuk dicintai dan mencintai. Jika kita berhak memilih siapa yang akan kita khitbah, maka yang bersangkutan juga memiliki hak untuk menolak atau menerima khitbah yang kita ajukan. Dan semua keputusan yang dipilih, harus kita hargai seperti dia menghargai kedatangan kita untuk melamarnya.
Bersedih hati karena khitbah tidak diterima adalah wajar. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa menjadi alasan untuk berhenti melangkah.
Oleh: Nurul Yakin