MENYOAL ASUMSI TAKUT LUPA

Al-Quran adalah kitab suci yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Menghafalkan al-Quran adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan. Para muslim di seluruh dunia berusaha untuk menghafal ayat-ayat suci ini sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Namun, ada beberapa orang yang mungkin memiliki kemampuan untuk menghafal al-Quran, tapi khawatir bahwa mereka akan melupakan hafalannya. Bagaimana pandangan fikih terhadap situasi ini?

Menurut kajian fikih, seseorang yang mampu menghafal al-Quran, tapi khawatir akan melupakan hafalannya, tetap dianjurkan untuk menghafalkannya. Alasan di balik ini adalah pahala yang diperoleh dari menghafal al-Quran adalah jelas dan besar. Sementara itu, asumsi takut lupa adalah perasaan yang mungkin tidak memiliki dasar yang kuat. Khawatir akan melupakan sesuatu adalah perasaan manusiawi yang bisa memengaruhi keyakinan seseorang pada kemampuannya sendiri. Namun, Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ketika seseorang berusaha keras untuk menghafal al-Quran dan memohon pertolongan kepada-Nya, Allah dapat memberikan bimbingan dan kekuatan agar hafalan tetap terjaga.

Dalam pandangan fikih, tindakan yang diambil oleh seseorang yang khawatir akan melupakan hafalan al-Quran adalah memperkuat keyakinan dan tekad mereka untuk menghafalkan. Mereka dianjurkan untuk belajar dengan sungguh-sungguh, mengikuti metode yang benar, dan selalu memohon pertolongan Allah dalam usaha mereka.

Selain itu, tindakan ini juga mencerminkan prinsip dalam Islam yang menyatakan bahwa kebaikan yang nyata dan pahala yang besar tidak boleh ditinggalkan karena khawatir akan bahaya yang hanya bersifat asumsi atau spekulatif. Dalam hal ini, pahala menghafal al-Quran adalah nyata, sementara bahaya lupa masih bersifat asumsi atau dugaan semata.

Al Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar dalam Bughyatul Mustarsyidin berkomentar:

شخص أمكنه حفظ القرأن العظيم ، وخاف هو ومعلمه تضييعه ونسيانه المنهي عنه ، فالذي يظهر أن الأولى التعلم والتعليم ، والاستعانة بالله تعالى على التوفيق للمنهج المستقيم ، وليس هذا من قاعدة درء المفاسد ، إذ المفسدة هنا غير محققة بل متوهمة ، وثواب حفظ القرآن محقق ، والخير المحقق لا يترك لمفسدة متوهمة.

“Seseorang yang mampu menghafal al-Quran, meski khawatir akan melupakan hafalannya, sebaiknya tetap menghafalkan al-Quran dan meminta pertolongan kepada Allah untuk mendapatkan petunjuk yang benar. Ini bukan termasuk  kaidah dar’il mafasid (menolak bahaya), karena bahaya di sini masih tidak jelas, bahkan asumtif. Sementara Pahala menghafal al-Quran adalah nyata. Sesuatu yang nyata baiknya tidak boleh ditinggalkan sebab bahaya yang asumtif”[1]

Jadi, bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk menghafal al-Quran, disarankan untuk tetap melakukannya tanpa merasa terlalu khawatir akan lupa yang masih semu.

Oleh : Zainul Umam


Referensi:

[1] Al Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar, Bughyatul Mustarsyidin hlm. 632

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *