Hayatu Muhammad Dalam Komentar Syekh al-Buthi

Tidak diragukan lagi sirah nabawiyah merupakan soko guru bagi pergerakan sejarah agung yang dilalui umat Islam di seluruh dunia. Diduga kuat, orang pertama yang concern terhadap penulisan sirah nabawiyah dan berbagai peperangan yang diikuti Nabi (maghâzi) adalah Urwah ibn Zubair (w. 92 H), disusul oleh Abban ibn Ustsman (w. 105 H), Wahb ibn Munabbih (w. 110 H), Syarhabil ibn Sa’d (w. 123 H) dan Ibnu Syihab az-Zuhri (w. 124 H).1

Kemudian Muncullah Muhammad ibn Ishaq (w. 152 H) sebagai orang yang hampir menghimpun semua tulisan kelima tokoh ini. Karya beliau dianggap karya yang paling otoritatif pada masa itu. Meskipun kitab al-Maghâzi yang ia tulis tidak pernah sampai ke tangan kita. Kemudian muncul Ibnu Hisyam yang berhasil menyunting dan meringkas tulisan pendahulunya. Beliau menuangkan buah karyanya dalam kitab sirah yang sekarang dikenal luas dengan sebutan Sirah Ibnu Hisyam.

Selanjutnya, pada abad ke-19 muncullah beberapa karangan yang tampil dengan gaya tulisan ilmiah modern. Salah satunya adalah Hayatu Muhammad karya Husain Haekal.2 Dalam kitabnya ia menuliskan sejarah kehidupan Nabi dengan bahasa yang epik dan menarik untuk dibaca. Bukunya hadir di tengah-tengah lingkungan ilmiah dalam menjawab para orientalis yang hendak mendiskreditkan Islam dan Nabi serta mengacaukan pemikiran orang Islam.

Menurut penuturannya, guna membungkam tuduhan para orientalis ini harus dipakai cara yang sama sebagaimana yang mereka agungkan selama ini. Secara tersirat, tujuan ditulisnya buku Hayatu Muhammad ini adalah untuk menangkis tuduhan-tuduhan orientalis yang tak berdasar seputar kehidupan Muhammad secara rasional. Selain bertujuan untuk mendongkrak semangat para pemuda penerus Islam yang masih diselimuti oleh kekerdilan dan kebekuan berpikir yang terlalu terpesona akan pemikiran orientalis.3

Sementara menurut Charles Smith, yang mempersembahkan tesis doktornya kepada Haekal, menyatakan bahwa tujuan terbesar Haekal menulis biografi tentang Nabi Muhammad sebagai sarana untuk memperoleh dukungan politik bagi Partai Konstitusionalis Liberal dalam berhadapan dengan rezim Ismail Shidqi. Penggunaan Islam sebagai senjata politik oleh Partai Konstitusionalis Liberal itu dimulai pada akhir 1920-an, ketika partai ini berusaha mengubah citra dirinya yang dianggap menentang agama setelah kehebohan yang terjadi menyusul Fisy Syi’r al-Jahili karya Thaha Husain.4

Namun, setelah dicermati lebih detail, apa yang dituliskan Haekal justru banyak bertentangan dengan cara penulisan yang sudah dilakukan oleh ulama-ulama sebelumnya. Penulisan yang dilakukan Haekal tidak lagi menggunakan riwayat, sanad dan prinsip periwayatan hadis sebagai alat pengukur kebenaran. Semua itu ia ganti dengan metode dedukasi individu berdasarkan hasrat pribadi dan berbagai metodologi hina yang dibangun di atas dasar-dasar dan aliran yang dianut oleh si penulis.

Dengan metode baru tersebut, penulis menyingkirkan semua hal yang dianggap tidak masuk akal seperti mukjizat dan kejadian luar biasa dari sirah Rasulullah. Ia mencitrakan Rasulullah sebagai sosok pemimpin jenius yang hebat, heroik dan sebagainya. Hal-hal yang berkaitan dengan kenabian, wahyu, dan misi kerasulan yang menjadi unsur utama dalam membentuk kepribadian Muhammad juga ia lupakan.

Secara bangga Haekal berkarta, “Saya tidak akan menggunakan apa yang tertulis di dalam kitab-kitab sirah dan hadis karena saya lebih memilih untuk melakukan penelitian ini berdasarkan metode ilmiah….. ”5

Melihat pernyataan yang disampaikan Haekal dalam mukadimah karyanya tersebut, Syekh Sa’id Ramadhan al-Buthi memberikan komentarnya. Pernyataan Haekal tersebut dapat diartikan bahwa pembahasan Haekal dalam buku itu tidak akan merujuk pada hadis Rasulullah, sekalipun yang terdapat dalam kitab Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, demi menghormati ilmu pengetahuan. Dengan kata lain metodologi yang diterapkan kedua imam dalam periwayatan hadis dinilai Haekal sebagai sebuah penyimpangan dari ilmu pengetahuan. Sementara itu teknik meraba-raba dalam gelap yang kemudian diberi nama Metode ‘Pandangan Subjektif’ justru dianggap sebagai penghormatan terhadap ilmu pengetahuan.6  “Bukanlah itu bencana besar bagi ilmu pengetahuan?,” tutur al-Buthi.

Pemikiran semacam Haekal ini ternyata banyak pula mendapat dukungan dari beberapa tokoh besar saat itu. Di antaranya adalah Syekh Muhammad Mustafa al-Maraghi. Dalam kata perkenalan buku ini ia  menyebutkan, “Kekuatan mukjizat Muhammad hanyalah dalam al-Quran, dan mukjizat ini sungguh rasional adanya.” Selain itu adalah Sayid Muhammad Rasyid Ridha, redaktur majalah al-Manar. Dalam menjawab kritik orang yang menentang kitab ini, ia menuliskan, “Al-Quranlah satu-satunya pembuktian Tuhan yang positif khusus tentang kenabian Muhammad. dan kenabian para nabi yang lain. Ciri-ciri mereka pada zaman kita sekarang ini tak dapat dibuktikan tanpa kenyataan keberadaan al-Quran tersebut.”

Pemikiran-pemikiran demikian tentunya tidak sejalan dari pokok ajaran Islam itu sendiri. Mukjizat yang diciptakan oleh Allah ditangan para rasul adalah sesuatu yang memang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang disertai dengan adanya pengakuan serta tidak ada yang bisa menentangnya.

Mukjizat adalah hal yang luar biasa. Disebut luar biasa karena hal itu tidak bisa terjadi di hadapan umat manusia. Sementara itu kebiasaan sama sekali tidak boleh dijadikan tolok ukur ilmiah untuk menentukan apakah sesuatu itu memang mungkin terjadi atau tidak. Kapanpun dan dimanapun ilmu pengetahuan tidak akan pernah sampai pada kesimpulan bahwa yang hanya dapat dilihat oleh mata manusialah yang nyata dan mungkin terjadi. Sedangkan yang tidak terlihat mata manusia dianggap tidak nyata karena itu tidak mungkin terjadi.

Kebenaran mengenahi sebuah berita mukjizat nabi tentunya dapat kita dengar melalui riwayat-riwayat yang menjelaskan hal itu. Sedangkan dalam mempercayai kebenaran berita itu tentunya berdasarkan sebuah syarat dimana berita tersebut dapat diterima secara akal dan realitas. Syarat tersebut adalah berita itu harus kita terima melalui jalur ilmiah yang bersih dan didirikan diatas prinsip-prinsip periwayatan, sanad dan kaidah jarhu wa ta’dil. Jika hal itu terpenuhi maka kebenaran berita itu patut kita yakini. Dan kita tahu bahwa berita terkait khawariq (hal-hal di luar nalar) yang ada pada Nabi, semuanya berdasarkan dari hadis yang dapat di pertanggungjawabkan kesahihannya. Wallâhu a’lam bis-shawâb.

Oleh: Abdul Basith


Referensi dan Catatan Kaki:

  1. Dr. Muhammad Sa’îd Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sirah an-Nabawiyah, hal.18
  2. Nama lengkap beliau Muhammad Husain Haekal. Lahir di desa Karf Ghanam bilangan distrik Sinbillawain di provinsi Daqahlia, di delta Nil, Mesir 20 Agustus 1888. Selama masih mahasiswa hingga menjalankan profesinya sebagai pengacara ia aktif menulis dalam harian al-Jarida. Pada tahun 1943 ia terpilih sebagai KetuaPartai Liberal (Konstitusi Liberal Constitutional Party) yang dipegang sampai tahun 1950.
  3. Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, Litera Antar Nusa, Jakarta
  4. G. H. A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 53
  5. Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, Litera AntarNusa, Jakarta
  6. Dr. Muhammad Sa’îd Ramadhan al-Buthy, Fiqhus Sirah an-Nabawiyah, hal. 26

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *