DAKWAH KONTROVERSIAL

Tatkala mendengar kata dakwah, yang terbesit dalam benak kita mungkin sebuah aktivitas keagamaan yang diisi dengan ceramah atau pengajian. Dakwah dengan cara ceramah atau pengajian adalah salah satu cara yang lazim digunakan dalam menyebarkan agama Islam. Dalam sejarahnya, para ulama atau dai ketika hendak menyebarkan syariat Islam di suatu wilayah, maka ceramah atau pengajian merupakan dua media dakwah yang sering kali digunakan dengan tujuan mengajak manusia menuju jalan yang diridhai oleh Allah dalam naungan agama Islam yang sesuai dengan  tuntunan akidah dan syariat di dalamnya, serta untuk menumbuhkan pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat serta upaya melakukan perubahan ke arah perbaikan umat, keselamatan dan ketenteraman masyarakat.

Penyebaran Islam di Indonesia tidak bisa mengesampingkan proses dakwah. Metode ini pada era walisongo berjalan secara gradual, dalam artian secara bertahap menyesuaikan kondisi masyarakat dan adat istiadat di dalamnya, sehingga Islam dapat diterima dan bahkan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kuantitas muslim terbesar di dunia.

Hanya saja realitas terkini, pergerakan dakwah di Indonesia semakin ekspansif, terlebih setelah berakhirnya rezim orde baru yang ditandai dengan era reformasi yang mengusung konsep demokrasi, seakan membuka ruang aktifitas dakwah menjadi tak terbendung.

Demikian ini membikin beberapa individu memunculkan berbagai macam ijtihad baru yang tidak mendasar, penafsiran-penafsiran yang nyeleneh tentang al-Qur’an serta memunculkan beberapa pendapat ulama yang menyebabkan masyarakat meremehkan pada aturan agama, yang kemudian disampaikan ke masyarakat tanpa melalui pengawalan yang benar, sehingga menimbulkan gejolak pro dan kontra di kalangan masyarakat awam dan kaum intelektual.

Sebenarnya, jika kita selisik lagi materi serta cara dakwah para para dai diatas adalah mereka lebih melihat isi tanpa membaca situasi dan kondisi masyarakat terlebih dahulu, sehingga menimbulkan pro dan kontra serta kesalahpahaman pada masyarakat, sekalipun menurut hemat pribadi mereka apa yang disampaikan itu sudah benar, apalagi jika dakwah tersebut malah menyebabkan masyarakat meremehkan pada aturan agama disebabkan fatwa sang dai yang begitu murah meriah. Dakwah semacam ini sangat dilarang oleh agama sebagaimana  yang disampaikan oleh Sayyid Abdurrahman Ba’lawi di dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin “Tidak halal bagi orang alim ketika menyampaikan satu pendapat kemudian pendapat tersebut menyebabkan orang yang mendengarnya meremehkan pada agama (tashahul fii din)[1]. Begitu pula haram hukumnya jika dakwah yang disampaikan oleh sang dai  bukannya malah menentramkan umat tapi malah menjadi pemicu  konflik, serta pro-kontra di masyarakat sebagaimana pendapat yang dikutip oleh Habib Zain Bin Ibrahim Bin Smith di dalam kitabnya Manhajus ShawiKetika seseorang menyampaikan suatu perkara yang itu benar menurutnya, hanya saja menyebabkan ketidakjelasan pada orang lain lalu menimbulkan pro-kontra, maka sesungguhnya orang tersebut sudah bermaksiat dengan apa yang disampaikannya[2]. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Syekh Sa’id al-Khadimi di kitab al-Bariqah al- Mahmudiyahnya,“Termasuk fitnah adalah perbuatan yang dapat menjatuhkan seseorang dalam percekcokan serta pro-kontra tanpa ada faidah yang kembali pada agama[3]

Dari pendapat tiga ulama di atas maka dapat disimpulkan bahwasannya dalam dakwah, ada dua kode etik yang tidak boleh dilanggar oleh sang pendakwah sebagaimana berikut:

Pertama, dakwah yang disampaikan harus melihat kondisi audien. Jika audien akan meremehkan pada aturan-aturan agama disebabkan materi dakwah sang dai maka materi tersebut tidak boleh disampaikan.

Kedua, sang dai harus bisa mempertimbangkan efek dari materi dakwah yang akan disampaikan. Jika dakwah tersebut akan menyebabkan adanya konflik serta kesalah pahaman dalam memahami agama, maka haram hukumnya untuk menyampaikan isi dakwah tersebut.

Oleh karenanya, sangat benar jika beragamnya pendapat dalam Islam merupakan rahmat. Hanya saja, jika beragam pendapat tersebut menimbulkan perpecahan, maka unsur rahmat seperti yang dimaksud oleh Nabi secara otomatis menjadi terhapus yang berujung pada perpecahan dan kehancuran bagi umat Islam sendiri.

Oleh: Khoiron Rofik


Referensi :

[1] Ba’lawi, Sayyid Abdurrahman , Bughyah al-Mustarsyidin hlm. 10

[2] Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith Ba’alawi, Al-Manhaj as-Sawi Syarh Ushul Thariqah Al-Saadah al-Ba’alawi hlm. 316-317

[3] Al-Khadimi, Maulana Abi Sa’id, Al-Bariqah Mahmudiyah fii Syarhi Thariqoh Muhammadiyah wa Syaria’ah an-Nabawiyah IV/270

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *