WANITA MENJADI IMAM BAGI LAKI-LAKI?

Allah subhanahu wa ta’ala pasti bersikap adil pada seluruh ciptaan-Nya dalam segala aspek. Dalam hal duniawi Allah memberi porsi yang sama antara manusia, jin, hewan dan makhluk lainnya sesuai dengan usaha yang mereka kerahkan untuk meraihnya. Dalam hal ukhrawi juga demikian. Allah tidak menguntungkan satu pihak dan menindas pihak yang lain. Allah juga tidak mengistimewakan satu pihak dan mendiskriminasi pihak yang lain. Allah menilai kadar kemuliaan seseorang dengan ketakwaannya, bukan dengan gender, kekayaan ataupun jabatan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujurat: 13)

Dalam memberikan pahala Allah juga bersikap adil. Siapapun memiliki kesempatan untuk mendapatkannya berkat karunia Allah dengan mengikuti koridor syariat yang Allah tetapkan baik laki-laki ataupun perempuan. Sayyidah Ummu Salamah pernah berkata pada Rasulullah :ﷺ

يَا رَسُوْلَ اللهِ: تَغْزُوْ الرِّجَالُ وَلَا نَغْزُوْ، وَإِنَّمَا لَنَا نِصْفُ الْمِيْرَاثِ![1]

“Wahai Rasulullah , laki-laki berhak berperang sedangkan kita tidak, kita juga hanya mendapatkan setengah harta warisan”

Lalu turunlah ayat;

وَلَا تَتَمَنَّوْا۟ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكْتَسَبُوا۟ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكْتَسَبْنَ ۚ وَسْـَٔلُوا۟ ٱللَّهَ مِن فَضْلِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا

Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS An-Nisa: 32)

Dari sekelumit hikayat di atas, kita tahu bahwa Allah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Namun meski begitu, Allah menetapkan syariat yang sesuai dengan kemampuan dan tabiat masing-masing. Ketika laki-laki dipandang lebih bijak serta mampu mengontrol emosi dan amarahnya saat menghadapi problematika keluarga, maka Allah berikan padanya qiwâmah idâriyah (kekuasaan dalam mengatur keluarga) tanpa berperilaku zalim dan sewenang-wenang. Selain itu, masih banyak lagi hikmah di balik syariat yang Allah tetapkan.

            Akhir-akhir ini, banyak mufasir abal-abal yang menyelewengkan tafsiran beberapa ayat-ayat suci al-Quran, padahal mereka tidak memiliki kompetensi di bidang tersebut. Hanya berbekal paham bahasa Arab saja, mereka sudah berani membedah ayat sesuai dengan hasrat nafsu. Apakah mereka tidak memiliki rasa takut pada ancaman Rasulullah ﷺ bagi orang yang menafsiri al-Quran dengan pendapatnya tanpa pengetahuan yang memadai? Rasulullah ﷺ shallallahu alaihi wasallam bersabda;

مَنْ قَالَ فِي القُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّء مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

 Artinya: “Barangsiapa yang berkata tentang al-Quran tanpa ilmu maka bersiaplah menempati duduknya di neraka” (HR. At-Tirmidzi).[2]

Meskipun penafsiran mereka sesuai dengan kehendak Allah, mereka tetap dianggap salah. Sebab, menafsiri dengan dasar pendapat pribadinya saja. Rasulullah ﷺ bersabda;

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ رَوَاهُ الطَبْرَانِيْ[3]

Artinya: “Barang siapa siapa yang berkata tentang al-Quran sebatas dengan opininya, lalu kebetulan benar, maka ia tetap salah” (HR. Ath-Thabrani)

Lihatlah keteladanan Sayidina Abu Bakar. Saat beliau tidak mengetahui arti satu kata dalam al-Quran, ia memilih diam dan tidak berani mengartikannya. Seperti saat beliau tidak mengetahui arti lafadz أبّا  dalam surat Abasa ayat 31, beliau mengatakan;

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِيْ؟ وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِيْ؟ إِذَا قُلْتُ فِي كَلَامِ اللهِ مَا لَا أَعْلَمُ

Langit mana yang akan menaungiku? Bumi mana yang akan menopangku? Jika aku berkata tentang kalamullah yang aku tidak ketahui (tafsirnya)[4]

Aminah Wadud adalah salah satu mufasir dadakan yang berani mengemukakan tafsir liberalnya. Ia salah satu tokoh feminis yang getol memperjuangkan kesetaraan gender. Ia menafsiri ayat-ayat yang berkenaan dengan hak laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pahala dengan kesetaraan gender dan menyamaratakan keduanya dalam semua hukum, dalam hal kepemimpinan dalam negara, keluarga, shalat, dll. Ia sendiri pernah menjadi imam sjalat Jumat sekaligus khatib di hadapan laki-laki yang menjadi makmumnya, hingga ia sering disebut “lady imam”.

Jika kita telisik lebih dalam mengenai hukum wanita yang menjadi imam bagi laki-laki ulama memang masih berselisih. Mayoritas ulama melarangnya berdasarkan hadis:

عن جابر عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : )لَا َتؤُمُّ إِمْرَأَةٌ رَجُلًا َولَا أَعْرَبِىٌ مُهَاجِرًا وَلَا يَؤُمُّ فَاجِرٌ مُؤْمِنًا( أخرجه إبن ماجه[5]

“Dari Sahabat Jabir, dari Rasulullah Saw. beliau bersabda: “Janganlah sekali kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab pedalaman, bagi Muhajirin, dan orang jahat bagi orang mukmin”. (HR. Ibnu Majah).

Ada segelintir ulama yang melegalkannya seperti pendapat imam Abu Tsaur, al-Muzani dan ath-Thabari yang dikutip oleh Imam ash-Shan’ani dalam Subulus Salam dan beberapa ulama dari Mazhab Zhahiriyah. Namun, bukan berarti mereka memperbolehkan wanita menjadi khatib Jumat. Pendapat ini juga dianggap syadz sebab menyalahi pendapat jumhur ulama dan tidak boleh diamalkan. Sebagian ulama Hambali juga memperbolehkan wanita menjadi imam bagi laki-laki dalam jamaah  tarawih atau salat sunah lainnya sebagaimana pendapat Imam Ibnu Muflih dan al-Mardawi dalam kitab Al-Inshaf.

Ulama yang melegalkan tidak meng-istinbat hukum tersebut dari ayat-ayat yang digunakan oleh Aminah Wadud, sebab ayat tersebut hanya memaparkan tentang kesetaraan wanita dan laki-laki dalam konteks pahala yang didapatkan mereka saja. Mereka mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud berikut;

كَانَ رَسُوْلُ لله يَزُوْرُهَا فِي بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذَّنُ لها وأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيْرًا رواه ابو داود [6]

“Rasulullah berkunjung ke rumahnya (Ummu Waraqah) dan ia menjadikan satu muadzin baginya dan memerintahkannya agar menjadi imam bagi keluarganya. Abdurrahman berkata: aku melihat muazinnya adalah seorang laki-laki tua”. (HR. Abu Dawud)

Dalam hadis di atas seakan-akan Rasulullah ﷺ memerintahkan Ummu Waraqah agar menjadi imam bagi keluarganya baik laki-laki atau perempuan. Namun, Imam ad-Daraquthni dan ulama lain memahami bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan Ummu Waraqah agar menjadi imam bagi perempuan di keluarganya meski muazin mereka laki-laki agar tidak terjadi kontradiktif antara hadis yang melarang perempuan menjadi imam bagi laki-laki dan hadis tentang perintah Nabi pada Ummu Waraqah tersebut. Berhati-hatilah dalam menafsiri ayat al-Quran dan jangan mudah mencampur semua pendapat serta mengamalkannya hingga menimbulkan fitnah dan menyisakan perselisihan di masyarakat.

Oleh : Irfan Maulana Ramadani


Referensi:

[1] Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jamiul-Bayan, II/261

[2] Abdur Rauf al-Munawi, Faidhul-Qadir, XI/190

[3] Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani, Mu’jamul-Ausath, V/208

[4] Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, hlm. 352

[5] Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibni Majah, I/343

[6] Sulaiman bin al-Asyats, Sunan Abi Dawud, I/230

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *