Hidangan Non Muslim

Islam sudah mengatur penganutnya dalam segala aspek. Makanan dan minuman juga tak luput dari pandangan Islam. Kita diperintahkan agar makan makanan yang baik dan minum minuman yang baik pula tanpa berlebihan.

 Allah subhanahu wata’ala berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS Al-A’raf: 31)

Dalam ayat yang lain dikatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”. (QS Al-Baqarah: 172)

Islam juga mengharuskan wadah yang dipakai untuk makan ataupun minum bersih dari najis dan tidak terbuat dari emas juga perak sebagaimana yang telah dipaparkan oleh pakar fikih dalam bab al-awani. Syarat tersebut mengharuskan kita paham kesucian wadah dan cara menyucikannya ketika terkena najis. Syarat ini kadang dirasa berat oleh sebagian muslim yang berketepatan tinggal di negara yang mayoritas penduduknya adalah bukan muslim. Sulit bagi muslim untuk mencari restoran yang penyajian makanannya sesuai dengan tatanan syariat Islam.

Sebagian ulama Saudi berfatwa haram makan makanan yang disajikan oleh non-Muslim. Fatwa ini dikeluarkan oleh Syekh Abdullah al-Mani’ mengenai makanan yang dibuat oleh pekerja asing non-Muslim di Saudi. Syekh Abdullah al-Mani’ sendiri adalah salah satu ulama senior Arab Saudi.

Tak pelak fatwa ini menyakitkan hati sekitar 250 ribu pekerja asing asal Filipina yang mayoritas beragama non-Muslim. Selain itu, Syekh Abdullah Al-Mani’ juga menyerukan kepada pemerintah Saudi agar mengurangi jumlah pekerja non muslim di Saudi.

Ia berlandasan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud berikut;

قال أي أبو ثعلبة إنا نجاور أهل الكتاب ، وهم يطبخون في قدورهم الخنزير ، ويشربون في آنيتهم الخمر ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” إن وجدتم غيرها فكلوا فيها واشربوا ، وإن لم تجدوا غيرها فارحضوها بالماء ، وكلوا واشربوا

“Abu Tsa’labah berkata: Sesungguhnya kami bertetangga dengan ahlul kitab dan mereka memasak daging babi pada bejana mereka dan mereka pun minum arak dengan gelas-gelas mereka, kemudian Rasulullah bersabda: Jika engkau menemukan bejana yang lainnya maka makan dan minumlah dengannya, tetapi jika tidak menemukan bejana yang lainnya maka cucilah dengan air kemudian makan dan minumlah”. (HR Abu Dawud)[1].

Dalam menyikapi hadis ini, Imam An-Nawawi berkata:

“Dikatakan bahwa hadis ini menyalahi pendapat para fuqaha, sebab mereka berpendapat boleh menggunakan wadah orang musyrik dan pemakaian tersebut tidak berhukum makruh setelah dibasuh baik pemakainya menemukan wadah yang lain atau tidak. Sedangkan hadis ini seakan-akan menghukumi makruh apabila masih menemukan wadah yang lain dan dengan membasuhnya tidak dapat menghilangkan hukum makruh tersebut. Untuk menjawab perkataan tersebut perlu dipahami bahwa larangan yang terdapat dalam hadis ini adalah makan menggunakan wadah yang biasa mereka gunakan untuk memasak daging babi dan minum dengan wadah yang biasa digunakan untuk minum arak. Oleh karena itu, larangan tersebut tetap melekat meski wadah yang digunakan sudah dibasuh karena dianggap menjijikkan dan biasa digunakan untuk perkara najis. Adapun pernyataan fuqaha yang memperbolehkan penggunaan wadah orang musyrik dimaksudkan pada wadah secara umum yang tidak biasa digunakan dalam perkara najis”[2].

Dari pernyataan Imam Nawawi di atas, bisa kita pahami bahwa boleh menggunakan wadah orang musyrik karena wadah mereka berhukum suci sebagaimana pendapat yang diunggulkan oleh Syekh Abu Bakar Syaththa ad-Dimyathi[3]. Hanya saja, menggunakan wadah tersebut berhukum makruh kecuali telah dicuci terlebih dahulu.

Adapun hukum memakan makanan yang dihidangkan oleh non-Muslim itu boleh jika tidak berupa daging yang tidak perlu disembelih. Adapun makanan yang berupa daging yang sudah disembelih maka juga boleh dimakan jika disembelih oleh muslim atau ahlu kitab, dan memenuhi persyaratan dzabihah yang ditentukan oleh ulama[4].

Walhasil, hukum makan makanan yang dihidangkan oleh non-Muslim tidak mutlak haram seperti yang dikatakan oleh Syekh Abdullah al-Mani’ di muka. Wallahu a’lam bisyh-shawab.
Oleh : Irvan Maulana


[1] Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abi Dawud, III/428

[2] An-Nawawi, Yahya bin Syaraf, Syarhun Nawawi ala Shahih Muslim, XIII/79

[3] Ad-Dimyathi, Abu Bakar Syaththa. I’anatuth-Thalibin, I/105

[4] Ahmad bin Muhamamad bin Ali. Kifayatun Nabih, VIII/137

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *