MENCEGAH ATAU MENGOBATI (?)

Dalam dunia medis ungkapan yang paling populer, bahkan menjadi semacam slogan paten, adalah mencegah lebih baik dari pada mengobati. Pencegahan yang dimaksud dalam dunia medis adalah tidak membutuhkan biaya yang besar dan tenaga yang ekstra. Modal yang dibutuhkan hanya satu, yaitu kemauan, baik kemauan mengatur pola makan, menjaga gizi yang seimbang, serta menjalankan pola hidup sehat. Itu saja.

 Setiap hari manusia membutuhkan makanan, tinggal mengatur pola makannya dan setiap hari butuh beraktifitas, tinggal atur saja ritmenya. Namun, beda cerita ketika penyakit sudah terlanjur bersarang di tubuh manusia. Begitu sulit untuk menghilangkan dan mengobatinya. Membutuhkan biaya besar, tenaga, waktu, bahkan mempertaruhkan jiwa. Oleh karena itu, langkah-langkah preventif dalam dunia kesehatan menjadi hal yang urgen untuk dilakukan sebagai bentuk pencegahan.

Tidak hanya dalam dunia medis, dalam kajian hukum Islam pencegahan juga menjadi prioritas, bahkan dalam segala aspek kehidupan slogan tersebut bisa dibuktikan secara fakta sebagaimana kaidah berikut ini:

اَلْمَنْعُ أَسْهَلُ مِنَ اْلرَّفْعِ / اَلدَّفْعُ أَسْهَلُ مِنَ اْلرَّفْعِ / اَلدَّفْعُ أَقْوَى مِنَ اْلرَّفْعِ

“Pencegahan itu lebih mudah/lebih kuat daripada menghilangkan.”

Tiga redaksi kaidah di atas (redaksi pertama dari Ibnu Rajab, kedua As-Subki, ketiga Az-Zarkasyi) memiliki maksud yang sama, yaitu setiap perbuatan yang dapat mencegah terjadinya sebuah hukum itu lebih mudah daripada menghilangkan atau menggagalkan hukum yang telah berjalan dan sedang diberlakukan atau beberapa tindakan hukum mudah dan dapat dicegah untuk tidak terjadi sejak awal, namun ketika sudah terlanjur dilaksanakan terkadang tidak dapat digagalkan dan sangat sulit untuk mengubahnya.

Penerapan kaidah:

Pertama, seorang suami berhak untuk tidak mengizinkan istrinya menunaikan ibadah haji, meskipun wajib. Namun, jika istri sudah memulai melaksanakan ibadah haji, maka suami tidak lagi berhak untuk mencegahnya. Sebab ibadah haji yang sedang berlangsung tidak dapat digagalkan.

Kedua, penjual memiliki hak untuk menahan barang yang menjadi obyek transaksi jual-beli (mabi’) sebelum pembeli menyerahkan uangnya. Namun, jika penjual sudah menyerahkan barangnya sebelum pembeli memberikan uangnya, maka penjual tidak berhak untuk mencegah pembeli memanfaatkan dan menggunakan barang tersebut, meskipun pembeli belum membayar.

Ketiga, melakukan perjalanan sebelum masuk waktu berpuasa (terbit fajar) menyebabkan kebolehan untuk mengambil dispensasi tidak berpuasa. Tetapi jika perjalanan dimulai pada siang hari saat kondisi sedang berpuasa, maka menyempurnakan puasa itu lebih utama apapun alasannya.

Keempat, orang fasik sebaiknya tidak menguasai pemerintahan, karena baik tidaknya umat Islam tergantung pemimpinnya. Akan tetapi, jika orang fasik sudah terlanjur menguasai pemerintahan maka rakyat harus menerimanya dengan lapang dada dan harus patuh terhadap segala keputusannya.

Selain itu, masih banyak lagi hukum Islam yang berkaitan dengan kaidah ini baik dalam urusan duniawi ataupun ukhrawi.

Hikmah dalam kehidupan:

Melakukan langkah-langkah preventif dalam berbagai aspek kehidupan tentu lebih mudah dari pada memberantas hal-hal yang sudah kadung terjadi dan mengakar. Langkah-langkah preventif dalam kehidupan bermasyarakat akan meminimalisir terjadinya konflik sosial. Sebaliknya, pemberantasan dan penggagalan terhadap apa yang sudah terjadi dan hidup dalam masyarakat, akan melibatkan banyak pihak dan rawan memantik konflik sosial. Wallahu a’lam Bisshawab.

Oleh: Lutfi Maulana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *