HAK ASASI MANUSIA  ANTARA MAQASHIDUS-SYARI’AH DAN PRINSIP KEMANUSIAAN

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan prinsip dan norma yang menggambarkan standar perilaku manusia yang dilindungi sebagai hak-hak hukum. Dengan adanya HAM, setiap manusia mempunyai perlindungan secara moral dan hukum, sehingga terlindungi dari berbagai macam tindak kekerasan, perampasan, penganiayaan, dan sebagainya.[1] Namun, apakah penerapan HAM ini lepas tanpa batas? Adakah batasan tertentu yang menjadi barometer kebijakan ini?

Dalam hal ini, Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu berkomentar:

اِسْتِعْمَالُ الحَقِّ بِوَجْهٍ مَشْرُوْعٍ: عَلَى الإِنْسَانِ أَنْ يَسْتَعْمِلَ حَقَّهُ وِفْقاً لِمَا أَمَرَ بِهِ الشًّرْعُ وَأَذِنَ بِهِ. فَلَيْسَ لَهُ مُمَارَسَة حَقِّهِ عَلَى نَحْوِ يَتَرَتَّبُ عَلَىْهِ الْإِضْرَارُ بِالْغَيْرِ، فَرداً أو جَماعَةً، سَوَاءٌ أَقَصَدَ الإِضْرَارَ أم لَا. وَلَيْسَ لَهُ إِتْلَافُ شَيْءٍ مِنْ أَمْوَالِهِ أو تَبْذِيْرِهِ لِأنَّ ذَلِكَ غَيْرُ مَشْرُوْعٍ.

“Penggunaan Hak Secara Syar’i: Manusia diwajibkan menggunakan haknya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh syariat dan diberi izin. Dia tidak boleh menggunakan haknya dengan cara yang dapat merugikan orang lain, baik itu individu atau kelompok, apakah merugikan mereka secara langsung atau tidak. Dia juga tidak diizinkan untuk merusak atau menyia-nyiakan harta miliknya karena hal tersebut adalah tindakan yang tidak sah menurut syariat.”[2]

Dalam perspektif Islam, konsep HAM diatur sejauh tidak menyalahi konsep maqashidus-syari’ah. Maqashidus-syari’ah merujuk pada tujuan-tujuan atau maksud-maksud hukum Islam yang melibatkan kepentingan-kepentingan yang mendasar bagi individu dan masyarakat. Mengingat, HAM termasuk bagian dari kebijakan pemerintah yang harus berstandar maslahah sebagaimana pendapat Syekh Muhammad Abdullah dalam Thariqatul Wushul:

قاعدة: (التَّصَرُّفُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ): أَصْلُ هَذِهِ الْقَاعِدَةِ: قَوْلُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (مَنْزِلَةُ الْإِمَامِ مِنْ الرَّعِيَّةِ مَنْزِلَةَ الْوَلِيِّ مِنْ الْيَتِيمِ). وَامًّا اعْتِبَارُ الْمَصْلَحَةِ فَمَوْكُولٌ وَمُفَوَّضُ الَى رَأْيِ الِامَامِ لَانْهُ اعْرف بِهِ مِنْ غَيْرِهِ وَلَابُدَّ مِنْ مُوَافَقَةِ وُجُوهِ الْمَصْلَحَةِ الثَّابِتَةِ فِي الشَّرِيعَةِ وَهِيَ دَرْءُ الْمَفَاسِدِ،

“(Tindakan pemerintah terhadap masyarakat harus berstandar kemaslahatan): Asas dari prinsip ini berdasarkan ucapan Imam Asy-Syafi’i, semoga Allah meridhainya, (kedudukan seorang pemimpin terhadap umat seperti kedudukan walinya terhadap anak yatim). Selanjutnya, mempertimbangkan kemaslahatan adalah suatu amanah dan diberikan kepada pendapat Imam, karena dia lebih memahaminya daripada orang lain. Penting untuk memastikan bahwa penilaian kemaslahatan ini sesuai dengan prinsip-prinsip tetap dalam syariat, yang melibatkan mencegah kerusakan.[3]

Salah satu prinsip dalam Islam yang berkaitan dengan konsep HAM adalah prinsip maslahah (kemaslahatan) yang mencakup perlindungan terhadap lima aspek pokok kehidupan manusia: agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Dalam konteks ini, setiap tindakan atau kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap maqashid as-syari’ah. Oleh karena itu, setiap kebijakan atau tindakan yang melibatkan HAM haruslah mempertimbangkan dan menghormati nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Islam.

Imam Al-Ghazali dalam al-Mustashfa memberikan pengertian sebagai berikut:

نَعْنِيْ بِالْمَصْلَحَةِ الْمُحَافَظَةَ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّرْعِ وَمَقْصُوْدُ الشَّرْعِ مِنَ الْخَلْقِ خَمْسَةُ وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَنَفْسَهُمْ وَعَقْلَهُمْ وَنَسْلَهُمْ وَمَالَهُمْ فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظَ هَذِهِ الْأُصُولِ الْخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ وَكُلُّ مَا يُفُوتُ هَذِهِ الْأُصُولَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ وَدَفْعُهَا مَصْلَحَةٌ.[4]

Kemaslahatan yang kami maksud adalah menjaga tujuan syariat. Ada lima tujuan utama syariat yang harus dijaga, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda manusia. Segala sesuatu yang melibatkan pemeliharaan dari lima prinsip dasar ini dianggap sebagai kemaslahatan, sementara hal-hal yang mengabaikan prinsip-prinsip ini dianggap sebagai kerusakan. Oleh karena itu, menanggulangi kerusakan tersebut dengan cara yang mendukung pemeliharaan prinsip-prinsip ini juga dianggap sebagai kemaslahatan.

Selain itu, batasan hak asasi manusia ini, juga disinggung oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu sebagaimana berikut:

وَحِمَايَةُ كَرَامَةِ الإنْسَانِ: أَصْلٌ مِنْ أُصُوْلِ الْعِقَابِ فِي الإِسْلَامِ، فَلَيْسَ فِي الشَّرِيْعَةِ مَا يُنَافِي الكَرَامَةَ، وَلَا تَسْمَحُ الشَّرِيْعَةُ لَلْحَاكِمِ بِاتِّخَاذِ عُقُوْبَاتٍ تَخِلُّ بِالشَّرَفِ وَالْمُرُوْءَةِ والكَرَامَةِ، فَلَا يَجٌوْزُ ضَرْب الْأعْضَاءِ الحساسة المَخُوْفَةِ التي قد تُؤَدِّيْ إِصَابَتُهَا إِلى القَتْلِ، كَالوجْهِ وَالرَأسِ والصَدْرِ والبَطْنِ والفَرْجِ

“Perlindungan hak kemanusiaan: Perlindungan ini adalah salah satu prinsip fundamental dalam hukum pidana Islam. Dalam syariat Islam, tidak ada yang bertentangan dengan martabat manusia, dan syariat tidak memperbolehkan pemberian hukuman oleh penguasa yang merendahkan kehormatan, akhlak, dan martabat seseorang. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk memukul bagian tubuh yang sensitif dan membahayakan yang dapat menyebabkan kematian, seperti wajah, kepala, dada, perut dan kemaluan”[5]

Walhasil, kebijakan HAM di negara ini harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan syariat yakni dengan menjaga maqashidus-syariah; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta sebagaimana penggeretan kami di muka.  Wallahu a’lamu.

Oleh : Zainul Umam


[1] Pengertian HAM: Ciri-Ciri, Macam-Macam, dan Contohnya – Gramedia Literasi

[2] Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, IV/286

[3] Al-Misry, Muhammad Abdullah, Thariqatul Wusul, hlm. 34

[4] Al-Ghazali, Al-Mustasyfa hlm. 174

[5] Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqhu al-Islmi wa Adillatuhu,VII/260

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *