SEORANG ZUHUD YANG KAYA
Banyak orang salah paham memahami zuhud. Mereka mengatakan bahwa orang zuhud adalah orang yang miskin dan tidak menyukai dunia, lebih tepatnya adalah harta. Namun realitanya, kita dapati banyak ulama yang kaya raya bahkan tidak sedikit yang menjadi miliyader. Dengan hal ini, apakah kita dapat menyimpulkan bahwa zuhud didefinisikan sebagai orang yang tidak mempunyai harta? Dengan demikian, apakah dengan memiliki segala kemewahan berarti seseorang tidak bisa berzuhud? Tentu penilaian tersebut dapat dikatakan terlalu sembrono. Mengapa? Karena zuhud bukan berarti larangan untuk menjadi kaya. Tengok saja beberapa shahabat Nabi yang memiliki kekayaan berlimpah. Yang paling masyhur tentu Khalifah Utsman bin Affan.
Zuhud jangan diartikan kere, kekurangan dan sebagainya. Pengertian zuhud yang benar adalah melenyapkan keterkaitan hati dengan harta. Karena itu, siapapun boleh kaya, namun harta itu jangan diletakkan dalam hati. Sehingga ketika harta yang kita punya dibutuhkan orang lain, maka akan rela untuk memberikannya. Kita tidak merasa eman dengan harta saat dibutuhkan orang.
Lalu, bagaimana makna zuhud yang sebenarnya? Sufyan as-Tsauri sebagaimana dikutip dalam ar-Risalah al-Qusyairiyah mengatakan:
الَزُهْدُ فِيْ الدُّنْيَا قَصْرُ الْأَمَلِ, لَيْسَ بِأَكْلِ الْغَلِيْظِ وَلَا بِلُبْسِ الْعُبّاَء
“Zuhud terhadap dunia adalah sedikitnya harapan (terhadapnya), bukan dengan memakan makanan yang keras dan memakai pakaian yang tidak layak.”[1]
Namun hakikat zuhud ialah dengan hanya memakan makanan yang halal, mengenakan pakaian yang halal, merasa cukup, tidak ambisius dan yang lainnya. Senada dengan sabda Nabi ﷺ, Zuhud di dunia bukan dengan mengharamkan yang halal, atau dengan membuang harta, tapi zuhud itu dengan tidak menjadikan apa yang ada di tanganmu lebih kuat dari apa yang ada di tangan manusia (dermawan kepada manusia).[2]
Zuhud, bukan tidak boleh kaya, zuhud sering kali diartikan salah sehingga seolah-olah umat Islam tidak boleh kaya, namun hidup apa adanya dan pasrah kepada Allah. Padahal jelas Islam tidak melarang umatnya untuk meraih kekayaan setinggi apapun. Bahkan Allah mewanti-wanti agar hamba-Nya tidak melupakan urusan dunia sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Berbicara terkait hal itu, kita sering mendengar bahwa para shahabat Nabi ﷺ banyak yang hidup miskin. Bahkan karena kemiskinannya, mereka tinggal di sekitar masjid seperti apa yang dilakukan oleh Abu Hurairah. Mereka inilah yang dikenal dengan sebutan ahlus shuffah.
Imam Al-Ghazali kemudian meluruskan kekeliruan pandangan terkait zuhud sebagaimana berikut:
اِعْلَمْ أَنّهُ قَدْ يُظَنُّ أَنَّ تَارِكَ الْمَاَل زَاهِدٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ فَإِنَّ تَرْكَ الْمَاَل وَإِظْهَارَ الْخُشُوْنَةِ سَهْلٌ عَلَى مَنْ أَحَبَّ الْمَدْحَ بِالزُّهْدِ
“Ketahuilah, banyak orang mengira, orang yang meninggalkan harta duniawi adalah orang yang zuhud (zahid). Padahal tidak mesti demikian. Pasalnya, meninggalkan harta dan berpenampilan “buruk” itu mudah dan ringan saja bagi mereka yang berambisi dipuji sebagai seorang zahid”[3]
Adapun hakikat zuhud itu sendiri adalah kondisi batin yang tidak tercemar oleh ambisi harta duniawi. Hal ini diangkat oleh Imam Al-Ghazali ketika menceritakan kezuhudan ulama besar dalam Islam yaitu Imam Malik ra yang kaya raya dan dermawan. Imam Malik adalah orang yang zuhud. Harta duniawi tidak singgah di dalam hati dan pikirannya, smeskipun dia adalah ulama besar yang kaya raya. Imam al Ghazali melanjutkan dawuhnya :
وَلَيْسَ الزُّهْد فَقْد اْلَمَالِ وَإِنَّمَا الزُّهْدُ فَرَاغُ الْقَلْبِ عَنْهُ وَلَقَدْ كَانَ سُلَيْمَانُ عَلَيْهِ السَلَامُ فِي مُلْكِهِ مِنَ الزُّهَّاد
“Zuhud bukan berarti ketiadaan harta duniawi. Zuhud merupakan kesucian hati dari harta duniawi. Nabi Sulaiman sendiri di tengah gemerlap kekuasaannya tetap tergolong orang yang zuhud”
Tanda Zuhud
Imam Al-Ghazali kemudian memberikan tiga tanda kezuhudan,
Pertama, Tidak terpengaruh oleh keberadaan dan ketiadaan harta.
اَلْعَلاَمَةُ الْأُوْلَى أَنْ لَا يَفْرَحَ بِمَوْجُوْدِ وَلَا يَحْزَن عَلَى مَفْقُوْدٍ كَمَا قَالَ تَعَالَى لِكَيْلَا تَأَسُوْا عَلَى مَا فَاَتكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَا آتَاَكُم
“Tanda pertama, tidak berbangga ketika berada dan tidak bersedih ketika tiada harta sebagaimana firman Allah, artinya ‘Agar kalian tidak putus asa atas harta yang luput dan tidak berbangga dengan apa yang Allah berikan kepada kalian.”
Kedua, tidak terpengaruh oleh pujian dan hinaan.
اَلْعَلاَمَةُ الثَّانِيَة أَنْ يَسْتَوِىَ عِنْدَهُ ذَامُّهُ وَمَادِحُهُ
“Tanda kedua, orang yang menghina dan memujinya sama saja baginya.”
Kalau tanda pertama berkaitan dengan kezuhudan harta, maka tanda kedua berkaitan dengan kezuhudan kepangkatan/kewibawaan. Az-Zabidi dalam Kitab Syarah Ihya Ulumiddin mengatakan perihal tanda kedua. Menurutnya, orang yang zuhud takkan bahagia mendengar pujian orang lain dan tidak kecewa menerima hinaan orang lain.
Ketiga, terhibur atau senang dengan Allah ﷻ.
اَلْعَلاَمَةُ الثَّالِثَةُ أَنْ يَكُوْنَ أنْسُهُ بِاللهِ تَعَالَى وَاْلغَالِبُ عَلَى قَلْبِهِ حَلَاوَةُ الطَّاعَة
“Tanda ketiga, senang dengan Allah yang ditandai dengan kenikmatan ibadah dalam hatinya.”
Wallahu a’lam.
Oleh: M. Hasani
[1] ar-Risalah al-Qusyairiyah, hlm 115
[2] Mirqatul Mafatih 8/3308
[3] Ihya Ulumiddin, IV/252