PEMAHAMAN MENDALAM TENTANG KUALITAS IBADAH

Prolog:

Zaman yang penuh dengan kecepatan ini membuat kita sering mendengar berbagai semboyan yang menginspirasi. Contohnya, “Mulai menabung sejak muda, nikmati di hari tua”, “Sehelai benang membuat kain, sehelai sarung membuat tahun”, serta “Kerja keras adalah kunci keberhasilan, malas adalah kuncinya kegagalan”. Ada banyak semboyan semacam itu yang sering kita dengar di sekitar kita.

Salah satu semboyan yang sering dibahas adalah kaidah:

مَاكَانَ أَكْثَرَ فِعْلا كَانَ أَكْثَرَ فَضْلًا

Semakin besar usaha yang kita lakukan, semakin besar juga pahalanya.

Namun, banyak yang bertanya-tanya, mengapa terkadang kita melaksanakan banyak ibadah tapi pahalanya terasa sedikit, sementara kita hanya melakukan sedikit ibadah tapi pahalanya besar?

Pembahasan:

Pemahaman atas prinsip ini adalah bahwa semakin besar tantangan dalam suatu pekerjaan, semakin besar juga pahalanya. Artinya, nilai kebaikan suatu pekerjaan bergantung pada seberapa besar usaha yang dilakukan dalam menjalankannya, dan tentunya, semakin besar nilai kebaikannya. Hal ini mengindikasikan bahwa pahala suatu pekerjaan ditentukan oleh seberapa sulitnya pekerjaan tersebut (tingkat kesulitan).

Pemahaman ini juga didasarkan pada ajaran agama, seperti firman Allah dalam al-Quran yang menyatakan bahwa setiap kebaikan sekecil biji zarah akan mendapat balasannya. Allah berfirman:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَه

“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.”

Bobot keutamaan (fadhilah) suatu pekerjaan, bergantung pada seberapa bobotnya pekerjaan itu dilakukan, dan tentu nilai pahalanya juga lebih. Begitulah makna kaidah di atas.[1]

Selain itu, hal ini sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad kepada Sayidah Aisyah yang diriwatkan oleh Imam Muslim:

أَجْرُكِ على قَدْرِ نَصَبِكِ

“Pahalamu sesuai kadar jerih payahmu.”[2]

Sebagai contoh, dalam ibadah shalat Witir, lebih baik untuk memisahkan setiap dua rakaat dengan salam, daripada menyambungkannya, karena dengan demikian, kita menambahkan berbagai elemen seperti niat, takbir, dan salam, yang secara otomatis meningkatkan nilai ibadah tersebut. Bahkan dihukumi makruh jika di-washal, karena dianggap menyerupai shalat Maghrib.[3]

Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua pekerjaan yang sulit akan memiliki pahala yang besar. Jika suatu pekerjaan sesuai dengan syarat-syarat dan anjuran agama, baru pahalanya dilihat dari seberapa beratnya pekerjaan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak usaha yang kita lakukan, semakin besar juga kebaikan yang akan kita dapatkan.

Selain itu, penting untuk diingat bahwa nilai suatu pekerjaan tidak hanya ditentukan oleh tingkat kesulitannya, tetapi juga oleh manfaatnya, kebaikan yang dihasilkan, dan tingkat spiritualitas yang terkandung dalam pekerjaan tersebut. Oleh karena itu, berbagai pekerjaan memiliki berbagai macam nilai dan bobot pahala.

Contohnya, ada pekerjaan ibadah yang relatif ringan tapi memiliki pahala yang besar, seperti ibadah yang dilakukan pada malam Lailatul Qadar. Di sisi lain, ada juga pekerjaan yang berat tapi memiliki pahala yang besar, seperti jihad fisabilillah.

Pengecualian (Mustatsnayat)

Sekalipun pelbagai macam kasus terimplisit (terkandung) dalam objek pembahasan kaidah ke 19 ini. Sayangnya, tidak semua kasus bisa terkafer didalamnya. Tersebab, masih banyak kasus-kasus yang sama sekali tidak bisa di-indiraj (masukkan), bahkan jumlahnya lebih dari 10 kasus. Diantaranya: shalat di perjalanan yang jarak tempuhnya mencapai  tiga marhalah (masafatul qashri). Yakni, 80,640 km, sebagai syarat diperbolehkannya meringkas shalat. Itu lebih utama dikerjakan dengan cara di-qashar selama tidak bertujuan maksiat. Dan shalat satu kali yang dilakukan dengan cara berjamaah, lebih utama dari salat berulang kali yang dilakukan hanya seorang diri.[4]

Konklusi

Kaidah ini, tidak semerta-merta mengintervensi (memasukkan) beragam aktifitas/amliyah kita sehari-hari. Mungkin hanya sebagian kecil, itu pun yang sudah terseleksi sesuai dalam beberapa hal sebagai berikut:

  1. Harus berupa aktifitas-aktifitas amaliyah yang memiliki kesamaan dalam pelbagai sisi. Sebab, jika tidak demikian, maka tidak boleh menghubungkan nilai keutamaan dengan bobot pekerjaan tersebut. Misal, Takbiratul Ihram lebih utama daripada takbir-takbir yang lain.
  2. Harus berupa aktifitas-aktifitas amaliyah yang jenisnya tidak berbeda. Shalat tidak bisa disamakan dengan sedekah, begitu-pun puasa. Persis dengan statemen Imam al-Qarafi yaitu, الأَجْرُ عَلى قَدْرِ النَّصَبِ اِنِ اتَّحَدَ النَّوْعُ لاَ كَالصَّدَقَةِ بِالْمَالِ الْعَظِيْمِ مَعَ الشَهَادَتَيْنِ.
  3. Harus berupa aktifitas-aktifitas amaliyah yang memiliki kualitas (derajat) yang sama; sama-sama berstatus hukum fardu atau sama-sama sunah, serta tempat dan waktu yang ber-maziyah (keistimewaan) yang juga sama. Wallahu ‘A’lam.

Oleh: Redaksi Istinbat


[1] Abdul Aziz Muhammad Azam, al-Qawaid al-Fiqhiyah, 492, Darul Hadis al-Qahirah

[2] Ahmad Ghazali Muhammad Fathullah, Al-Durrah al-Zahiyyah fi Halli Alfazhi Idhahil-Qawaid al-Fiqhiyah, 102(2) atau AlFawaidul-Janiyah, Abil-Faidh, karya Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Maki, 492

[3] Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syattha al-Dhimyati al-Bakri, I’anatuth-Talibin, I/426, Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

[4] Ibid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *