MENJEMPUT KESUKSESAN DENGAN BERSERAH DIRI

Dalam kehidupan ini, dapat dipastikan setiap manusia memiliki keinginan dan cita-cita. Semua orang ingin tahu akan hal-hal yang tak pernah ia ketahui sebelumnya, ingin menyempurnakan pengetahuan yang telah dimiliki, ingin memenuhi saku yang masih kosong, meski tumpukan harta telah menjulang. Ini adalah watak natural (asli) yang dimiliki setiap manusia. Namun, sebagai mukmin yang cerdas, kita harus mengkotak-kotakkan keinginan sekaligus membuat pemetaan terhadapnya. Sehingga berujung pada ridla Ilahi .

Manusia memang tak pernah dilarang untuk memiliki cita-cita dan keinginan, asalkan esensinya tidak bertolak belakang dengan ajaran agama, serta mengupayakannya sesuai dengan tuntunan agama pula, bahkan pepatah Arab bertutur: “Gantungkan cita-citamu pada gemintang soraya disana, meski kedua kakimu terbenam rapat di dasar bumi.”

Pepatah ini mengisyaratkan bahwa betapa pentingnya meluhurkan cita-cita serta begitu kuat dan besarnya pengaruh cita-cita terhadap aktifitas dan upaya manusia. Maka dari itu, dalam konteks ini, Imam Ibn Atha’illah as-Sakandari kembali menuntun kita, agar cita-cita yang bersarang dalam hati dapat diraih dengan mudah.

Dengan kalimat bijaknya beliau berkata: “Cita-cita tidaklah sulit untuk diraih, selama Tuhan menjadi tumpuannya. Sebaliknya, juga tak mudah mendapatkannya, apabila hanya mengandalkan daya diri sendiri. Syaikhul Islam asy-Syarqawi memberi penjelasan terhadap kalam hikmah ini, bahwa segala sesuatu yang menjadi cita- cita dan harapan tak akan pernah sulit untuk diraih, jika senantiasa berserah diri kepada Allah serta berkeyakinan bahwa hanya Allah yang dapat memudahkan jalan untuk meraihnya. Akan tetapi jika hati lupa kepada Allah dan hengandalkan kemampuan diri sendiri, niscaya Allah akan menyerahkan urusannya kepada dirinya sendiri. Sehingga, ia menjadi sangat sulit untuk meraih apa yang dicita-citakannya.

Di dalam al-Quran, Allah merekam petuah yang disampaikan oleh Nabi Musa kepada kaumnya:

اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Mintalah pertolongan kepada Allah, dan bersabarlah kalian semua. Sesungguhnya bumi ini milik Allah. Dia mewariskannya kepada orang yang Dia kehendaki dari sekian hamba-hamba-Nya. (QS Al-a’raf [7]: 128)

Dengan kata mutiara yang disampaikan Ibn Atha’illah di atas, beliau mengajari kita akan arti tawakal kepada Allah di setiap lini kehidupan yang tak pernah kosong dan lekang dari tujuan target dan keinginan.

Makna Tawakal

Tawakal (berserah diri) merupakan gerakan dan amaliah hati. Sebagaimana amaliah-amaliah hati yang lain, ia tidak tampak dan tak dapat dibuat-buat. Akan tetapi bisa diupayakan dan ditingkatkan. Biasanya, amaliah hati dapat membias pada anggota lahir. Menyerahkan segala urusan kepada Allah adalah arti inti dari tawakal.

Berserah diri bukan terletak di akhir sebuah upaya, akan tetapi sejak kali pertama pelaksanaan. Pada satu kesempatan, ada seorang shahabat bertanya kepada Nabi Muhammad: “Akankah aku melepaskan ontaku dan pasrah kepada Allah?” Rasulullah bersabda: “Ikatlah ontamu lalu bertawakallah!”. Dalam Hadis ini, perintah berserah diri bukan setelah mengikat onta tersebut. Melainkan sejak kaki melangkah untuk mengikatnya, nilai tawakal sudah tertanam kuat di dalam hati. Namun, tawakal dalam hati tetap harus disertai dengan upaya untuk meraih kesuksesan yang berada di depan mata. Semua akan jadi mudah.

Menumbuhkan tawakal

Banyak berfikir tentang keadaan diri sendiri, dapat membantu untuk menumbuh kembangkan rasa tawakal dalam hati seseorang. Nabi Muhammad menganjurkan kepada kita semua agar memperbanyak bertafakur, berfikir bahwa pada hakikatnya tiada daya dan kekuatan yang tersimpan di dalam diri kita. Mengakui bahwa diri kita lemah dan selalu membutuhkan Dzat yang Maha Kuasa. Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”. Maksudnya, seseorang yang mengenali dirinya sendiri ; bahwa ia selalu diliputi keterbatasan dan kelemahan serta di hatinya terdapat keyakinan kuat bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat Yang Kekuasaan-Nya menyentuh seluruh kehidupannya, Maha Pengatur seluruh alam semesta, maka dia tergolong orang mengenal Tuhannya.

Penjabaran di atas menjelaskan cara seorang hamba dalam upaya mendapatkan apa yang menjadi keinginan dan cita-citanya secara umum. Baik cita- cita yang berkenaan dengan urusan duniawi ataupun ukhrawi.

Tentunya, dari sekian banyak bentuk cita-cita itu, terdapat satu hal yang harus dimiliki oleh seorang yang meniti suluk (jalan menuju Allah). Yakni makrifat billah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *