Peran Hadis sebagai Sumber Tasyri’ dalam Islam

Hadis merupakan salah satu pedoman ulama dalam menggali hukum-hukum Islam. Jika dinisbatkan pada al-Quran maka Hadis berperan sebagai penjelas ayat dalam al-Quran baik secara general atau terperinci, seperti firman Allah subhanahu wata’ala:

وَأَقِيْمُوْا الصَّلَاةَ

Artinya: “Dan dirikanlah shalat” (QS, Al-Baqarah: 43)

Ayat ini hanya mengandung perintah untuk melaksanakan shalat tanpa penjelasan tata cara shalat. Hingga Rasulullah shalallhu alaihi wasallam mempraktekkannya lalu bersabda:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي

Artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat” (HR, Bukhari)

Kadang Hadis berperan sebagai penegas ayat dalam Al-Quran, seperti firman Allah subhanahu wata’ala:

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Artinya: “Dan jangan kalian makan harta-harta kalian dengan cara yang bathil” (QS, Al-Baqarah: 188)

Ayat ini melarang manusia untuk memperoleh harta dengan cara yang tidak benar seperti mencuri, korupsi dan semacamnya. Rasulullah menegaskan larangan ini dengan sabdanya:

 لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Artinya: “Harta seorang muslim tidak berhukum halal kecuali diperoleh dengan rasa rela darinya.” (HR, Baihaqi)

Di sisi lain, Hadis juga berperan sebagai pengganti dari hukum yang dikandung dalam al-Quran. Namun, peran ini tidak disepakati oleh Imam Syafii.

Hadis memang memiliki peran besar dalam penetapan sebuah hukum. Maka tak heran, jika Imam Makhul berkata:

القُرْآنُ أًحْوَجُ إِلَى السُّنَّةِ مِنَ السُّنَّةِ  إِلَى القُرْآنِ[1]

Artinya: “Kebutuhan al-Quran pada sunah lebih besar dibandingkan kebutuhan sunah pada al-Quran

Selain peran-peran di atas, Hadis juga menjadi referensi konkret yang independen bagi ulama untuk menetapkan hukum selain melalui metode qiyas dan ijma’. Rasulullah shalallhu alaihi wasallam bersabda:

إِنِّي قَدْ خَلَّفْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا أَبَدًا مَا أَخَذْتُمْ بِهِمَا وَعَمِلْتُمْ بِهِمَا : كِتَابِ اللهِ، وَسُنَّتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَي الحَوْضِ[2]

Artinya: “Sesungguhnya aku tinggalkan bagi kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat setelahnya selagi kalian berpegang teguh dan mengamalkan keduanya, yaitu: kitab Allah dan sunahku dan keduanya tidak akan berpisah hingga sampai ke telaga” (H.R. Ibnu Syahin)

Namun, tidak semua orang memiliki kapasitas yang mumpuni untuk memahami Hadis secara utuh. Banyak golongan sempalan yang berkoar-koar mendorong orang awam untuk kembali pada al-Quran dan Hadis dengan berbekal terjemahan saja, hingga ia memahami Hadis dengan pemahaman yang mentah dan menuai kontroversi yang berkelanjutan.

Untuk memahami Hadis secara utuh, seorang mujtahid disyaratkan untuk menguasai gramatika bahasa Arab dan disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, seorang mujtahid dapat menyimpulkan beragam hukum dari satu sumber Hadis saja. Seperti Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَدْخُلُ عَلَيْنَا ، وَلِي أَخٌ صَغِيرٌ يُكَنَّى : أَبَا عُمَيْرٍ ، وَكَانَ لَهُ نُغَرٌ يَلْعَبُ بِهِ فَمَاتَ ، فَدَخَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَرَآهُ حَزِينًا ، فَقَالَ : مَا شَأْنُهُ ؟ قِيلَ لَهُ : مَاتَ نُغَرُهُ ، فَقَالَ : يَا أَبَا عُمَيْرٍ ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟

Dari Anas, beliau berkata: ‘Nabi shallallahu alaihi wasallam mengunjungi kita, dan aku memiliki adik yang memiliki nama kunya: Abu Umair. Ia mempunyai burung pipit yang dibuat mainan kemudian mati. Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam masuk dan menjumpainya dalam keadaan sedih, Ia bertanya: Kenapa dia?, Burung pipitnya mati, begitu jawaban yang dilontarkan padanya. Lalu ia berkata: Wahai Abu Umair! kenapa burung pipit kecilmu?.” (HR, Bukhari)

Sekilas, Hadis ini hanya menceritakan percakapan nabi dan Abu Umair saja, tidak mengandung hukum apapun. Namun, tanpa kita sangka, ulama telah menguak beberapa faedah dan hukum yang terkandung dalam Hadis yang singkat ini. Berikut adalah beberapa contoh faedah dan hukum yang disadur dari Hadis tersebut:

  1. Kesunnahan berjalan dengan pelan-pelan
  2. Kesunnahan mengunjungi teman
  3. Kesunnahan mengasihi orang yang lebih muda
  4. Kebolehan mengunjungi perempuan tua bagi laki-laki jika tidak menimbulkan fitnah
  5. Kebolehan mengunjungi orang tertentu bagi imam
  6. Kebolehan berjalan sendirian bagi hakim
  7. Kebolehan bergurau
  8. Kebolehan menyematkan kunyah bagi orang yang belum mempunyai anak
  9. Kebolehan memainkan burung bagi anak kecil
  10. Kebolehan membiarkan anak kecil bermain permainan yang dilegalkan dalam syariat
  11. Kebolehan memelihara burung
  12. Kebolehan mengucapkan ungkapan yang bersajak
  13. Kebolehan membawa hewan ke tanah haram
  14. Kebolehan men-tashghir nama orang tertentu
  15. Kebolehan bertanya sesuatu yang sudah diketahui dengan tujuan menjalin ikatan persaudaraan yang baik[3]

Hadis tersebut masih menyisakan beberapa faedah dan hukum lainnya yang tidak bisa dimuat dalam tulisan yang singkat ini. Imam Ibnu Al-Qash mengungkapkan bahwa ia telah berhasil menghimpun 60 faedah dari Hadis tersebut. Sebagian ulama yang lain berhasil menghimpun 78 faidah dari Hadis tersebut[4]. Begitu luasnya pemahaman kalam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Oleh : Irvan Maulana Ramadhani / PemRed Istinbat


[1] Ibnu Syahin, al-Kitabu al-Lathif, I/105

[2] Ibid

[3] An-Nawawi, Yaha bin Syaraf, Syarah Shahih Muslim, VI/135.

[4] Al-Asqallani, Ibnu Hajar, Fathul-Bari. X/584

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *