Kesunahan Keluar Dari Khilaf Ulama
Prolog
Khilaf dalam hal ijtihad dari kalangan para ulama merupakan sunatullah dan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri. Semua ulama ahlus sunah tidak mempermasalahkan hal ini selama masih dalam ranah furu’iyah. Hal demikian adalah sebuah rahmat bagi umat Muhammad ﷺ, sebab ini akan memberi kemudahan bagi mereka dalam menjalankan syariatnya.
Khilaf dalam konteks ini sebenarnya bukan hanya terjadi dari kalangan ulama saja. Jauh sebelum itu, ketika Nabi Muhammad ﷺ masih hidup khilaf dalam ijtihad sudah lumrah terjadi. Dalam hadis sahih Bukhari para sahabat pernah berbeda dalam berijtihad saat berada di tengah-tengah perjalanan menuju Bani Quraidhah dan sebelum itu Nabi sudah berpesan kepada mereka :
“لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِيْ بَنِيْ قُرَيْظَة “
“Tidak ada seorang pun yang salat Ashar kecuali di Bani Qurayza”
Saat itu sebagian sahabat ada yang shalat diperjalanan, karena menurut ijtihad mereka waktu shalat Asar akan habis ketika sampai pada tempat tujuan. Sebagian yang lain tetap ikut perintah Nabi dengan melaksanakan shalat Asar ketika sampai ke Bani Quraidhah. Ketika mereka sampai ke tempat tujuannya, semuanya beralasan didepan Nabi atas tindakan tersebut dan beliau tidak menyalahkan ijtihad mereka. Dari hadis ini, lahirlah golongan ahlu zahir dan golongan ahlu Qiyas. [1]
Hanya saja perlu dijadikan catatan bahwa khilaf dalam masalah furu’iyah ini, bukan peluang bagi kita untuk mengambil hukum-hukum yang ringan menurut hawa nafsu kita, tanpa ada unsur hajat atau darurat yang mendorongnya. Karena para ulama sendiri justru sangat mewanti-wanti kita untuk berhati-hati dalam mengambil suatu hukum dari pendapat ulama, bahkan mendorong untuk keluar dari hukum yang masih menjadi perdebatan ulama. Makanya, muncullah kaidah populer dari kalangan para ulama , yaitu
الْخُرُوجُ مِن الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
“Keluar dari khilaf disunnahkan”
Dalil Penetapan Kaidah
Imam as-Subki mengistinbat kaidah ini dari salah-satu ayat al-Quran, yaitu
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa” (QS. Al Hujurat, 49: 12).
Dari ayat di atas memperingati kita untuk menjauhui hal-hal yang sebenarnya bukan dosa, tapi berkonsekuensi terjatuh pada dosa sebagai bentuk kehati-hatian. Pemahaman ini senada dengan kaidah ini, sebab keluar dari apa yang masih diperselisihkan ulama adalah bagian dari bentuk kehati-hatian. Dalil ini juga diperkuat dengan dalil lain secara umum yang menganjurkan untuk berhati-hati dalam bertindak diantaranya adalah[2] :
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ. رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَالنَّسَائِي
”Tinggalkanlah sesuatu yang membuatmu ragu, dan kerjakanlah sesuatu yang tidak membuatmu ragu.” (HR. At Tirmidzi dan An Nasa’i)
إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِيْ الحَرَامِ الحديث رَوَاهُ اْلبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
”Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram juga telah jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar), tidak diketahui oleh mayoritas manusia. Barang siapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, maka ia telah menjaga kesucian agamanya dan kehormatannya. Barang siapa terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka dia telah terjatuh kepada perkara haram” (HR. Bukhori dan Muslim)
Penerapan Kaidah
Contoh penerapan kaidah ini sangat banyak sekali dalam kitab-kitab Fiqih dan jumlahnya nyaris tidak terhitung. Di antaranya yang disebutkan oleh imam As-Suyuti sebagai berikut :
Sunah untuk menggosok dalam masalah bersuci, sunah meratakan usapan kepala ketika wudu’, sunah membasuh mani dengan air, sunah tartib dalam mengqadha’ shalat, sunah tidak melakukan shalat ada’ di belakang qadha’ dan sebaliknya, sunah qashar shalat dalam perjalanan yang mencapai tiga marhalah dan tidak meng-qhasar shalat ketika kurang dari tiga marhalah, juga bagi pelaut yang bepergian bersama keluarga dan anak-anaknya sunah tidak menjama’ shalat’, sunah akad kitabahnya budak yang kuat bekerja, sunah niat menjadi imam dan memutus shalat ketika melihat air bagi orang yang bertayamum. Hal itu semua agar keluar dari khilaf ulama, karena sebagian ulama ada yang mengatakan wajib. Contoh yang lain disebutkan juga di antaranya makruh meng-hilah dalam masalah riba, makruh nikahnya muhallil, dan makruh shalat sendirian di belakang saf, karena keluar dari khilaf ulama, sebab sebagian ulama ada yang mengatakan haram dan batal.[3]
Ketentuan Dalam Kaidah
Kesunahan dan keutamaan keluar dari khilaf dalam kaidah ini tidak serta merta secara mutlak dapat diperoleh, tapi ada beberapa ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Ketentuan tersebut sebagaimana berikut :
Pertama, madrok (dasar) dalam khilaf bisa dipertanggung jawabkan, yakni dari sisi dua dalil khilaf harus sama-sama kuat. Maka tidak disunahkan keluar dari khilaf bila salah satu dari dalil satunya kuat dan satunya lagi lemah (bisa dianggap sebuah kekeliruan). Oleh karena itu, kesunahan keluar dari khilaf tidak dianggap dalam pendapat imam Abu Hanifah yang mengatakan batal shalatnya orang yang mengangkat kedua tangannya. Karena pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir dan hadis shahih yang menunjukkan atas kesunahan mengangkat tangan
حدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ كُلُّهُمْ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ وَقَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ وَإِذَا رَفَعَ مِنْ الرُّكُوعِ وَلَا يَرْفَعُهُمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ
“Aku melihat Nabi,S.A.W ketika memulai shalat mengangkat kedua tangan sama dengan pundaknya, serta sebelum ruku’ dan saat berdiri dari ruku’ (juga) dan beliau tidak mengangkatnya ketika di antara dua sujud
Kedua, keluar dari khilaf tidak menyebabkan terjatuh pada khilaf yang lain. Oleh karena itu, memisah Witir lebih utama daripada menyambungnya serta tidak dianggap khilaf yang terjadi dari golongan Hanafiyah, karena ada ulama yang justru tidak memperbolehkan menyambung Witir sama sekali.
Ketiga, memunkinkan untuk keluar dari khilaf. Contoh hal yang tidak memunkinkan keluar dari khilaf adalah penentuan waktu shalat Asar. Sebagian ulama berpendapat waktu shalat Asar dimulai dari samanya bayangan sinar matahari dengan objek suatu benda, sebagian yang lain berpendapat ketika bayangan melebihi dari objeknya. Tentu dalam hal ini sangat tidak memunkinkan dan bisa dikatakan mustahil untuk bisa mempraktekkannya.
Konklusi
Dari semua uraian di atas, pada intinya dalam kaidah ini mencoba menyatukan kita pada satu titik pendapat yang di sana tidak ada ulama yang masih memperselisihkannya. Dari titik itulah kita berada pada tempat yang aman dari hal-hal yang mungkin bisa jadi salah dalam proses ijtihadnya– walaupun itu tidak tercela dan masih diganjar. Anjuran dalam kaidah ini sebagai bentuk ihtiyat (hati-hati) bagi kita dalam mengambil dan mengamalkan suatu pendapat ijtihad ulama . Karena mau dipaksakan bagaimanapun khilaf dalam ijtihad tetap tidak bisa dihindari, sebab adanya dalil-dalil yang sifatnya masih dhonni (belum pasti dan bisa mengarah banyak arti) dan berbeda-bedanya sudut pandang dalam memahami. Hal ini adalah sunatullah dan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Karena secara akal tidak mungkin pikiran manusia bisa disatukan pada titik yang sama yang belum pasti eksistensi dalilnya. Sekian. WaAllahua’lam bis Sawab.
Oleh: Bahrussoleh/ Redaksi Istinbat
[1] Al-Maliki, Sayyid Muhammad bin Alwi al-Hasani, Syari’atullah al-Kholidah. 57
[2] Al-Jazhazi, Abdullah bin Sulaiman, Mawahibus-Saniah, I/436.
[3] As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr, al-Asybah wan Nazhair.