Seni Mencintai Nabi

Dalam mencintai, kita tidak boleh salah dalam menempatkan cinta, karena ketika rasa cinta sudah tumbuh dalam hati seseorang maka segala sesuatu yang dilakukan oleh orang yang dicintai akan cenderung diikuti atau apapun yang disukainya juga akan disukai, meski pada dasarnya bertentangan dengan isi hatinya sendiri. Oleh karena sebegitu besar  pengaruh cinta, maka kita harus memilah dan memilih pada siapa cinta kita akan ditempatkan.

        Dalam hal ini, syariat sudah memberikan arahan bahwa cinta yang sejati harus dipersembahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, melebihi semua makhluk termasuk orang tua, anak bahkan diri kita sendiri. Nabi Muhammad merupakan manusia terpilih dari beberapa yang terpilih, makhluk yang paling sempurna dari segala aspek, sebagai suri teladan yang mulia, dan yang lebih penting lagi, mencintai Nabi Muhammad sama halnya mencintai Allah, sebagaimana firman Allah:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Ali Imran [3]: 31)

      Ayat ini menghukumi terhadap orang yang mengaku cinta kepada Allah, tetapi dia bukan termasuk golongan Nabi Muhammad, bahwa orang tersebut bohong dalam pengakuannya, sampai ia ikut syariat yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ dan agama para nabi di semua perkataan dan perilakunya.

      Kesimpulannya, tidak dibenarkan ketika ada seseorang yang mengaku cinta kepada Allah, tetapi dia tidak cinta kepada Nabi Muhammad, karena Nabi Muhammad adalah kekasih Allah. Sebaliknya, mengaku cinta kepada Nabi Muhammad tetapi tidak beriman kepada Allah juga tidak di benarkan, karena  Allah yang menciptakan Nabi Muhammad dan segala sesuatu baik di bumi maupun di langit, Tuhan semesta alam.

Allah dan Malaikat Bershalawat kepada Nabi Muhammad

      Bulan Rabiul Awal merupakan saksi akan lahirnya Nabi Muhammad ﷺ. Di sebagian tempat, bulan ini seakan menjadi ajang perlombaan dalam memeringati kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, dengan mengadakan tasyakuran, salawatan dan perayaan yang lain. Bukan hanya dari kalangan orang kaya saja, kalangan akar rumput pun turut andil dalam memeriahkan hari kelahirannya, tepatnya hari senin 12 Rabiul Awal. Ini semua mereka lakukan untuk mengharap berkah beliau dan taat pada perintah Allah, sebagaimana dalam Surah Al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

     Dalam ayat ini Allah memerintahkan orang-orang beriman bershalawat kepada Nabi Muhammad. Ayat ini seakan menjadi sindiran keras bagi orang yang beriman, karena jika Allah dan malaikat saja bershalawat kepada Nabi, lalu bagaimana dengan kita sebagai hambanya? Tentulah wajib bagi kita sebagai hamba yang beriman memanjatkan shalawat kepada Nabi.

Shalawat dari Allah berarti pemberian kegembiraan dan rahmat yang luas. Shalawat dari para malaikat bermakna doa, sedangkan pembacaan shalawat dari orang mukmin berarti istigfar. Namun, istigfar di sini sejatinya bukan untuk Nabi, tetapi untuk orang mukmin itu sendiri, karena  Rasulullah datang membawa rahmat untuk orang-orang mukmin.

       Menurut penjelasan dalam Tafsir asy-Syâmil lil-Qur’ân al-Karîm, dalam ayat ini Allah memuliakan Nabi Muhammad dan memberikan beliau sebuah kemuliaan dan keagungan yang tidak diberikan kepada seorang pun makhluk di dunia ini, karena Allah bershalawat kepada Nabi Muhammad dengan dzat-Nya sendiri, dengan memberikan limpahan rahmat yang luas. Malaikat juga bershalawat kepada Nabi secara terus menerus. Ini merupakan puncak kemuliaan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Hukum dan Faidah Salawat Kepada Nabi Muhammad

       Al-Imam Abul Abbas Ahmad bin Muhammad menafsiri surat al-Ahzab ayat 56 di atas tentang beberapa hukum shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ, yaitu wajib membaca shalawat kepada Nabi di setiap majlis sebanyak satu kali dan wajib membaca shalawat satu kali seumur hidup. Menurut jumhur ulama, wajib membaca salawat setiap kali nama beliau disebutkan. Ini merupakan pendapat yang lebih berhati-hati, karena berpedoman pada sabda baginda Nabi Muhammad, “Barang siapa yang namaku disebut di sampingnya, lalu tidak bershalawat kepadaku maka masuk neraka.”

       Adapun shalawat kepada Nabi di dalam shalat menurut Imam Syafi’i hukumnya wajib. Jika ditinggalkan maka shalatnya tidak sah. Selain itu, disunahkan memperbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ di hari Jumat.

       Menurut Syekh Jazuli dalam Dalâilul-Khoirat, shalawat termasuk perkara yang paling penting dari beberapa perkara penting bagi orang yang menghendaki dekat kepada Allah. Di antara faedah shalawat yaitu;

  • Untuk sarana tawasul kepada Allah melalui kekasih-Nya, karena tidak ada wasilah kepada Allah yang lebih dekat dan agung daripada Nabi Muhammad ﷺ.
  • Melaksanakan perintah Allah, karena Allah memerintahkan bershalawat. Mendapat pahala dan rida Allah.
  • Untuk hajat dunia dan akhirat.

Taat Kepada Nabi Sama dengan Taat Kepada Allah

       Nabi Muhammad adalah utusan Allah sehingga taat kepada Nabi Muhammad sama halnya taat kepada Allah, sesuai firman Allah (QS: Ali Imran: 32)

قُلْ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْكَٰفِرِينَ

Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’.”

   Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa orang yang menyimpang dari syariat Nabi Muhammad adalah kafir dan Allah tidak menyukai orang yang sedemikian, meskipun dia mengaku dan menyangka bahwa dirinya cinta dan dekat kepada Allah sampai ikut pada syariat yang diajarkan Nabi Muhammad ﷺ.

Oleh: Irfan Hakim / Redaksi Istinbat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *