Legalitas Penambahan Perawi Hadis dalam Sebuah Hadis

Acuan dalam penetapan hukum di antaranya adalah menggunakan hadis. Secara terminologis, hadits dimaknai sebagai ucapan dan segala perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad. Dari sini, semua hal yang dilakukan oleh Nabi pasti diabadikan oleh para ulama untuk dijadikan sebuah dalil dari suatu hukum. Tentunya, ulama atau rawi yang menurunkan hadis kepada ulama berikutnya pasti meninjau aspek-aspek yang sangat ketat agar kemurnian dari hadis itu terjaga dan tidak ada yang sembarangan dalam memberikan hukum.

                Pada pembahasan kali ini kita akan membahas tentang pengaruh kalimat yang diselipkan oleh ulama yang tsiqah di suatu hadis. Perlu kita ketahui, orang yang meriwayatkan hadis memiliki syarat-syarat tertentu agar hadis yang diriwayatkan bisa diterima oleh kalangan ulama mujtahid. Di antaranya adalah islam, balig, berakal, adil dan mempunyai tingkat kredibilitas yang tinggi, sehingga sebuah hadis ditolak jika diriwayatkan oleh orang yang tidak memiliki kriteria di atas. Dapat kita simpulkan bahwa hadis-hadis masyhur yang sering kita temukan dalam kitab-kitab fikih dan dijadikan dalil dari suatu permasalahan bisa dipastikan bahwa perawi dari hadis tersebut adalah ulama yang sudah mempuni dan sudah memenuhi syarat untuk meriwayatkan hadis.

                Namun tanpa kita pungkiri, kadang perawi hadis juga menambahkan kalimat dalam sebuah hadis. Lantas, bagaimana pengaruh dari tambahan ini? Apakah bisa diterima atau sebaliknya? Dalam masalah ini, ulama berbeda pendapat. Perlu digarisbawahi, perbedaan ulama ini hanya berkutat pada penambahan yang dilakukan rawi yang adil.

                Pendapat pertama, penambahan rawi yang adil secara mutlak dapat diterima. Ini adalah pendapat al-Karkhi dan al-Jassas dari mazhab Hanafi diikuti oleh al-Sarakhsi, an-Nasafi, dan yang lainnya. Ini juga  adalah pendapat Imam Malik dan para sahabatnya, al-Qadi Abu al-Faraj al-Laitsi al-Baghdadi, Abu al-Walid al-Baji, Ibnu al-Arabi dari kalangan Syafiiyah dan sekelompok ulama Hijaz.

Pendapat kedua, penambahan rawi yang adil tidak diterima sama sekali. Ini adalah penadapat ulama dari kalangan Hanafiyah dan pendapat ini juga dinisbatkan oleh Imam Nawawi kepada mayoritas ulama hadis.

Pendapat yang ketiga, penambahan rawi yang adil bisa diterima tetapi dengan syarat seorang rawi memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama kalangan Hanafi, Imam Ibnu hajib dari kalangan Maliki dan Imam Amidi dari kalangan Syafiiyah.

Pendapat yang keempat, tidak ada kaidah mengenai penerimaan masalah ini tetapi bisa berpengaruh berdasarkan qarinah yang ada. Pendapat ini adalah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama hadis.

                Dari kaidah penambahan rawi yang adil ini, banyak furuk yang dikeluarkan oleh ulama. Di antaranya adalah, bolehnya shalat fardu bermakmum dengan orang yang shalat sunah. Masalah ini dalilnya diambilkan dari tambahannya Imam Ibnu Juraij Rahimahullah terhadap hadis shahabat Muadz.

Jika dilihat dari asal hadis, Rasulullah shalat isya berjamaah dengan sahabat Muadz, kemudian beliau pergi keluar dan berjamaah shalat Isya bersama para shahabat. Dari Hadis ini, Imam Ibnu Juraij menambahkan penjelasan, “Shalat Isya yang dilakukan Nabi berhukum sunah sedangkan yang dilakukan shahabat berhukum wajib.” Jadi dapat dipahami dari penjelasan Imam Ibnu Juraij ini bahwasanya boleh berjamaah shalat fardu bersama dengan orang yang shalat sunah. Wallahu A’lam.

Oleh: Yusuf Fatwa / Redaksi Istinbat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *