Waliyullah dan Karamahnya

Dalam tradisi Islam, konsep waliyullah (wali Allah) merujuk kepada seorang hamba yang dekat dengan Allah, yang memperoleh kasih dan petunjuk-Nya. Wali Allah dikenal karena ketakwaan, keikhlasan, dan pengabdian mereka kepada Allah.  Abul Qasim al-Qusyairi dalam karyanya, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, mengungkapkan pengertian wali Allah. Ia menyebut dua kemungkinan kandungan makna kata tersebut sebagaimana berikut:

فَإِنْ قِيلَ: فَمَا مَعْنَى الْوَلِيِّ ؟ قِيلَ: يَحْتَمِلُ أَمْرَيْنِ أَحَدَهُمَا: أَنْ يَكُونَ فَعِيلًا مُبَالَغَةً مِنْ الْفَاعِلِ كَالْعَلِيمِ وَالْقَدِيرِ وَغَيْرِهِ، وَيَكُونُ مَعْنَاهُ مَنْ تَوَالَتْ طَاعَتُهُ مِنْ غَيْرِ تَخَلُّلِ مَعْصِيَةٍ، وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فَعِيلًا بِمَعْنَى مَفْعُولٍ كَقَتِيلٍ بِمَعْنَى مَقْتُول وَجَرِيح بِمَعْنَى مَجْرُوحٍ، وَهُوَ الَّذِي يَتَوَلَّى الْحَقّ سُبْحَانَهُ حِفْظَهُ وَحِرَاسَتَهُ عَلَى الْإِدَامَةِ وَالتَّوَالِي فَلَا يَخْلُقُ لَهُ الْخِذْلَانَ الَّذِي هُوَ قُدْرَةُ الْعِصْيَانِ وَإِنَّمَا يُدِيمُ تَوْفِيقَهُ الَّذِي هُوَ قُدْرَةُ الطَّاعَةِ

قَالَ اللَّه تَعَالَى: وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ (الأعراف: ١٩٦)

“Jika ditanya, ‘Apa makna wali?’ maka jawabannya, ia mempunyai dua kemungkinan. Pertama, kata ‘wali’ mengikuti wazan ‘fa‘īl’ sebagai mubalaghah dari fā’il, sejenis makna superlatif (sangat), seperti ‘alīm,’ ‘qadīr,’ dan semisalnya sehingga makna wali adalah orang yang ketaatannya terus menerus tanpa tercederai maksiat. Kedua, kata “wali” bisa juga mengikuti wazan “fa‘īl” dengan makna maf‘ūl seperti kata “qatīl” dengan makna “maqtūl” (yang dibunuh) dan kata “jarīh” dengan makna “majrūh” (yang dilukai) sehingga makna wali adalah orang yang dilindungi oleh Allah dengan penjagaan dan pemeliharaan-Nya secara langgeng dan terus menerus. Allah tidak menciptakan baginya kehinaan yang berupa kemampuan bermaksiat. Allah senantiasa memberinya taufiq yang berupa kemampuan berbuat ketaatan. Allah berfirman dalam Surah Al-A’raf ayat 196, (Dia melindungi orang-orang yang saleh)[1].”

Dari pengertian ini, maka bisa dipahami bahwasanya wali Allah adalah seorang hamba pilihan yang mahfūzh atau orang yang dilindungi oleh Allah dari melakukan kemaksiatan. Mahfūzh adalah satu tingkat di bawah maksum, yakni perlindungan Allah bagi para nabi dan rasul-Nya, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Ali bin Muhammad at-Tamimi dalam kitabnya, Taqrîbul Ba’îd ‘ilâ Jauharah at-Tauhîd, sebagaimana berikut:

وَأَمَّا الْحِفْظُ فَهُوَ الْمَنْعُ مِنْ الذَّنْبِ مَعَ جَوَازِ الْوُقُوعِ. وَمِنْ هُنَا تَعْرِفُ الْفَرْقَ بَيْنَ الْعِصْمَةِ وَالْحِفْظِ- وَهُوَ لِلْأَوْلِيَاءِ- فَالْأَنْبِيَاءُ مَعْصُومُونَ، وَالْأَوْلِيَاءُ مَحْفُوظُونَ.

“Adapun al-hifzhu adalah pencegahan dari dosa serta masih memungkinkannya dosa itu terjadi. Dari sini, dapat dipahami perbedaan antara al-‘ismah  dan al-hifzh – yang diberikan kepada para wali. Oleh karenanya, para nabi itu maksum (terjaga dari dosa), sedangkan para wali adalah mahfūzh (dijaga dari dosa).”[2]    

Salah satu hal yang juga identik dengan para wali Allah adalah karamah yang dimilikinya, atau keajaiban yang mereka tunjukkan sebagai tanda kedekatan mereka dengan Allah. Sayyid Abdur Rahman Ba’alawi dalam kitabnya, Bughyatul-Mustarsyidîn, dan Imam al-Jurjani dalam kitabnya, At-Ta’rîfât, mendefinisikan karamah sebagaimana berikut : 

وَالْكَرَامَةُ وَهِيَ مَا تَظْهَرُ عَلَى يَدِ كَامِلِ الْمُتَابَعَةِ لِنَبِيِّهِ مِنْ غَيْرِ تَعَلُّمٍ وَمُبَاشَرَةِ أَعْمَالٍ مَخْصُوصَةٍ

Karamah adalah suatu perkara yang terjadi pada orang yang betul-betul mengikuti sunah nabi tanpa melalui proses belajar dan tanpa melakukan amalan khusus.”[3]

الْكَرَامَةُ هِيَ ظُهُورُ أَمْرٍ خَارِقٍ لِلْعَادَةِ مِنْ قِبَلِ شَخْصٍ غَيْرِ مُقَارِنٍ لِدَعْوَى النُّبُوَّةِ، فَمَا لَا يَكُونُ مَقْرُونًا بِالْإِيمَانِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ يَكُونُ اسْتِدْرَاجًا، وَمَا يَكُونُ مَقْرُونًا بِدَعْوَى النُّبُوَّةِ يَكُونُ مُعْجِزَةً

Karamah adalah munculnya suatu hal yang melampaui kebiasaan dari seseorang yang tidak berhubungan dengan klaim kenabian. Jika suatu hal yang melampaui kebiasaan tersebut tidak disertai dengan iman dan amal saleh (dimiliki oleh orang yang tidak beriman dan tidak beramal saleh atau orang fasik) maka dinamakan istidraj, dan jika suatu hal yang melampaui kebiasaan tersebut disertai dengan klaim kenabian (dimiliki oleh seorang nabi) maka dinamakan dengan mukjizat.”[4]

Bahkan Syekh asy-Syahrastani dalam kitabnya, Nihāyatul-Iqdām fī ʽIlmil-Kalām menyampaikan sebagaimana berikut :

وَاعْلَمْ أَنَّ كُلَّ كَرَامَةٍ تَظْهَرُ عَلَى يَدِ وَلِيٍّ فَهِيَ بِعَيْنِهَا مُعْجِزَةٌ لِنَبِيٍّ إِذَا كَانَ الْوَلِيُّ فِي مُعَامَلَاتِهِ تَابِعًا لِذَلِكَ النَّبِيِّ وَكُلُّ مَا يَظْهَرُ فِي حَقِّهِ فَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى صِدْقِ أُسْتَاذِهِ وَصَاحِبِ شَرِيعَتِهِ

Ketahuilah bahwa setiap karomah yang muncul di tangan seorang wali maka pada hakikatnya sama seperti mukjizat bagi nabi. Jika wali tersebut dalam tindakannya mengikuti nabi (amalannya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh nabi) dan mengikuti segala sesuatu yang dilakukan oleh nabi maka hal tersebut adalah bukti kebenaran seorang guru dan pemilik syariat.”[5]

Kemudian Ibnu Atha’illah dalam kitabnya, al-Tanwîr fî Itsqât at-Tadbîr, menyampaikan sebagaimana berikut :

فَاعْلَمْ أَنَّ الْكَرَامَةَ لَا تَكُونُ كَرَامَةً حَتَّى يَصْحَبَهَا الرِّضَا عَنْ اللَّهِ

Ketahuilah bahwasanya karamah tidaklah dianggap sebagai karamah kecuali jika disertai dengan keridaan Allah.”[6]

            Empat ibarat di atas menjelaskan bahwasanya karamah adalah keajaiban yang tampak di luar kebiasaan manusia yang dimiliki oleh orang-orang saleh tanpa melalui proses belajar untuk bisa melakukannya, dan semua itu terjadi dengan izin Allah.  Jika keajaiban tersebut muncul dari seorang nabi maka dinamakan dengan mukjizat. Jika muncul dari seseorang yang beriman dan dekat terhadap Allah maka dinamakan karamah, dan jika muncul dari orang fasik maka dinamakan istidraj, sehingga dapat dipahami bahwasanya karamah bisa saja terjadi terhadap seseorang yang dekat dengan Allah.

Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa wali Allah adalah seseorang yang dekat terhadap Allah, yang dijaga dari perbuatan dosa (mahfūzh), dan karamah bisa saja terjadi dari seorang wali Allah atas izin Allah.

Oleh: khoiron rofik/ Redaksi Istinbat


[1] Abul Qasim al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hlm: 191

[2] Syekh Ali bin Muhammad at-Tamimi, Taqribul Ba’id ‘ila Jauharatit-Tauhid, hlm: 105

[3] Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul-Mustarsyidin, hlm: 298

[4] Al-Jurjani, At-Tarifat, hlm: 235

[5] Syekh Asy-Syahrastani, Nihāyatul-Iqdām fī ʽIlmil–Kalām, hlm: 174

[6] Ibnu Atha’illah, al-Tanwir fi Itsqat at-Tadbir, hlm:294

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *