Mursyid Thariqah Menerapkan Feodalisme?

Di setiap thariqah terdapat seorang mursyid yang membimbing para murid untuk meniti langkah-langkah yang akan diambil dalam proses tazkiyatun nafsi. Hal ini penting agar murid tidak salah langkah hingga mengakibatkan dirinya keluar dari jalur yang semestinya. Oleh karenanya, seorang murid harus mendengarkan nasihat sang mursyid, mematuhi perintahnya dan menjauhi apapun yang dilarangnya.

Namun, perintah mursyid kepada murid serta kewajiban untuk menjalankannya oleh sebagian kalangan dianggap sebagai praktek feodalisme terselubung yang dilancarkan oleh mursyid guna mendulang tujuan duniawi seperti memuaskan hawa nafsu yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Klaim tersebut mencuat hanya didasari oleh penilaian subjektif yang mentah mengenai ketundukan murid dalam mengikuti instruksi mursyid tanpa mengkaji latar belakang keharusan melaksanakan perintah dan kriteria seorang mursyid dalam dunia thariqah yang sesungguhnya, sehingga klaim feodalisme yang dilontarkan terkesan memojokkan mursyid thariqah dan mencoreng nama baik thariqah secara umum.

Feodalisme sendiri merupakan sistem sosial yang berkembang di Eropa sekitar abad pertengahan yang menerapkan hubungan hierarki antara kaum bangsawan dan rakyat biasa dengan pelayanan sebagai dasar hubungan. Rakyat biasa tidak punya pilihan selain menjalankan kebijakan atasan demi mendapatkan timbal balik yang berupa perlindungan. Akibatnya, hubungan antara kaum bangsawan dan rakyat menjadi kaku serta mengekang laju mobilitas penduduk.

Baca juga: Dinamika Feodalisme dalam Pesantren (Part I)

Dengan berdalih sama-sama memerintah dan perintahnya harus dipatuhi, mengklaim mursyid menerapkan praktek feodal justru hanya akan menampakkan kedunguan dan menunjukkan dirinya minim pengetahuan tentang dunia thariqah. Bagaimana tidak, gelar mursyid tidak bisa disematkan kepada sembarang orang. Untuk bisa menyandang gelar mursyid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Berikut syarat yang ditampilkan dalam kitab Haqaiq anit-Tasawwuf.

Pertama, mengetahui hal-hal yang berhukum fardu ain. Kedua, dia merupakan sosok yang ‘arif billah. Ketiga, mengetahui metode tazkiyatun nafsi. Keempat, mengantongi izin dari gurunya untuk membimbing dan mengarahkan orang lain.

Mengenai syarat pertama, mursyid harus mengetahui hukum shalat, puasa, zakat, muamalah, jual beli (jika berprofesi sebagai pedagang) dan hal serupa yang berhukum fardu ain. Di samping itu, dalam bidang tauhid harus memiliki kompetensi yang mumpuni tentang akidah Ahlisunah wal Jamaah. Sehingga ia mampu mengetahui sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah secara global maupun spesifik. Begitu pula sifat wajib, mustahil dan jaiz para rasul serta rukun iman yang lain.

Terkait syarat kedua, mursyid harus tahaqquq dalam akidah Ahlussunah baik secara amalan dan penghayatan batin setelah sebelumnya memahami dan mengetahuinya secara detail hingga mampu mengantarkan hati dan jiwanya untuk bisa mengukur kebenaran sebuah akidah, menyaksikan bahwa Allah Esa dalam Dzat, sifat dan pekerjaan-Nya, mengenal hadhrat-hadhrat (tingkatan-tingkatan) nama-nama Allah ﷻ dengan rasa (penghayatan batin) dan penyaksian (spiritual), lalu mengembalikannya kepada hadhrat yang mencakup semuanya (al-arah al-jāmi‘ah) dan tidak rancu oleh banyaknya hadhrat, karena banyaknya hadhrat tidak menunjukkan banyaknya Dzat (Allah) atau dengan kata lain, mursyid mengerti nama-nama Allah ﷻ yang beragam dalam manifestasinya, semuanya tetap merujuk pada Dzat Allah yang Esa.

Syarat ketiga yang berupa mengetahui metode tazkiyatun nafsi, mengharuskan dirinya telah mempraktekkan dan menyelesaikan tazkiyatun nafsi di bawah asuhan gurunya (mursyid). Dengan begitu, ia akan mengetahui tingkatan nafsu, mendeteksi berbagai penyakit nafsu serta gangguannya. Menyadari trik-trik dan segenap piranti yang biasa digunakan oleh setan untuk menyesatkan manusia. Mengetahui penyakit di setiap tahap perjalanan (spiritual), serta cara mengatasinya sesuai dengan keadaan dan situasi masing-masing orang.

Adapun syarat keempat, Mursyid harus mendapatkan ijazah dari gurunya yang ahli dan bersambung sanadnya hingga Rasulullah ﷺ untuk menjalankan tarbiyah dan tahapan sebagaimana yang telah ia praktekkan di hadapan sang guru sebelumnya. Sehingga, seseorang yang tidak disaksikan oleh para ahli dalam ilmu yang ia klaim, tidak berhak baginya untuk tampil memimpin bidang tersebut.

Baca juga: Hati-hati Mursyid Gadungan

Maka dari itu, seseorang yang terverifikasi tidak kompeten dalam bidang Agama, menjatuhkan kehormatan orang Islam, ikut campur urusan yang tidak ada sangkut paut dengan dirinya, mengikuti hawa nafsu dalam berbagai aspek, berperangai buruk tanpa rasa peduli, menurut Syekh Ahmad Zaruq dalam kitabnya Risalatu Ushuliht-Thariqah tidak layak dan tidak sah untuk dijadikan guru panutan.

Dengan syarat yang kompleks dan sangat ketat, potensi bagi seseorang yang telah bergelar mursyid thariqah untuk memerintah murid sesuai hawa nafsunya bisa dikatakan nihil adanya. Selain itu, Rasulullah ﷺ juga berpesan agar selektif ketika hendak berguru kepada seseorang, beliau bersabda kepada Ibnu Umar:

يَا ابْنَ عُمَرَ دِيْنُكَ دِيْنُكَ إِنَّمَا هُوَ لَحْمُكَ وَدَمُكَ فَانْظُرْ عَمَّنْ تَأْخُذُ خُذِ الدِّيْنَ عَنِ الَّذِيْنَ اسْتَقَامُوْا وَلَا تَأْخُذْ عَنِ الَّذِيْنَ مَالُوْا

Wahai Ibnu Umar jagalah agamamu jagalah agamamu, karena sesungguhnya ia adalah darah dan dagingmu. Maka perhatikan dari siapa engkau mengambil (ilmu) agama. Ambillah agama dari orang-orang yang lurus (istiqamah) dan jangan ambil dari orang-orang yang menyimpang”.

Nuril Anwar/IstinbaT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *