Kenapa Harus Perempuan?

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ [التحريم: ١٠]

“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang kufur, yaitu istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah (tanggung jawab) dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami, lalu keduanya berkhianat kepada (suami-suami)-nya. Mereka (kedua suami itu) tidak dapat membantunya sedikit pun dari (siksaan) Allah, dan dikatakan (kepada kedua istri itu), Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.  (QS. At-Tahrim ayat; 10).

Perempuan adalah sosok penting dalam  keluarga, bangsa, bahkan  negara. Mereka merupakan pondasi utama keberlangsungan suatu  peradaban, karena dari merekalah para generasi mendatang lahir. Jika mereka baik dalam  berperilaku, maka generasi yang turun darinya akan menjadi generasi emas lagi membanggakan bagi keluarga, bangsa, dan  negara. Sebaliknya, bila mereka berperangai buruk maka jangan salah bila di kemudian hari generasinya juga berperilaku demikian.

Baca juga: Menyoal Gadis Shalihah Bersama Nafsu dan Dosa Jariyah

Dalam ayat di atas ada dua poin penting:

Pertama, Allah ﷻ menceritakan tentang dua perempuan yang berkarakter buruk, serta berkhianat kepada pasangannya, bahkan disebut kufur oleh-Nya. Padahal pasangannya adalah orang pilihan Tuhan, petunjuk zaman. Dalam ayat, Allah ﷻ menerangkan bahwa istri seorang Nabi pun tidak dijamin masuk surga jika tidak beriman kepada-Nya, karena setiap orang bertanggung jawab atas perbuatan mereka sendiri. Sebagaimana Allah ﷻ menjelaskan dalam firman-Nya:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ وَاِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ اِلٰى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَّلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۗ ۝١٨

Setiap orang yang berbuat dosa, dirinya sendirilah yang akan bertanggung jawab, dan bila seseorang yang (dibebani dengan) dosa yang berat (lalu) memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu, maka tidak akan dipikulkan sedikit pun meski (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya” (QS. Fatir ayat; 18)

Ayat ini memberikan penjelasan yang tegas mengenai tanggung jawab individu terhadap dosa-dosanya, tidak ada orang lain yang dapat memikul beban dosanya sendiri, meskipun orang tersebut adalah keluarga, kerabat dekat ataupun suami. Kedua istri nabi di atas menjad contoh bahwa meski berada di bawah pengawasan suami yang saleh, yaitu Nabi Nuh dan Nabi Luth, hal itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari siksaan Allah. Jadi sesaleh apapun pasanganmu, bila dirimu berperilaku buruk maka kesalehan pasanganmu itu tidak akan berpengaruh padamu.

Dikatakan bahwa penghianatan mereka bukan dengan melakukan zina, melainkan dengan tidak mengikuti agama suaminya, berkhianat padanya, bahkan berusaha menggagalkan dakwahnya. Wa’ilah (istri Nabi Nuh) mangatakan pada kaumnya bahwa suaminya itu adalah orang gila. Sedangkan Wahilah (istri Nabi Luth) membocorkan tentang keberadaan tamu-tamu Nabi Luth yang rupawan pada kaumnya[1] .

Kedua, peran perempuan dalam keluarga bukan hanya sebagai ibu, istri, atau saudari, tetapi juga sebagai pendidik dan pengarah masa depan keluarga. Sebagaimana dalam suatu riwayat yang berasal dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

المرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا (رواه البخاري)

“Seorang wanita adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”(HR. Bukhari 5067)

Hadis ini menunjukkan bahwa meskipun laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga secara umum (sebagai suami dan kepala rumah tangga). Akan tetapi, perempuan sebagai ibu atau istri, juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengatur rumah tangga. Keberadaan istri sangat berarti, karena dia sebagai awak kapal atau penumpang  yang turut mendukung serta bekerja sama dengan suami sebagai nahkoda untuk mengarungi kehidupan bahtera rumah tangga. Perannya sangat penting dalam menjaga keseimbangan, dan memberikan dukungan emosional.

Dalam contoh di atas betapa sulit hal yang dialami oleh Nabi Nuh dan Nabi Luth, karena salah satu faktor utamanya adalah orang yang seharusnya menjadi pendukung utama, malah berkhianat bahkan berusaha menggagalkan dakwahnya. Bisa dibayangkan bila nahkoda dan penumpang tidak sejalan, maka bisa dipastikan bahwa salah satunya tidak akan sampai tujuan.

Kesimpulannya, perempuan bisa menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan serta kemajuan. Perempuan diakui memiliki peran dalam membentuk masyarakat yang lebih baik. Tapi dia juga bisa berperan menjadi pembawa keburukan dan penyebab kemunduran, bila perilakunya tidak baik serta tidak tahu aturan.

Baca Juga:

ISTRI QANAAH, KUNCI KEBAHAGIAAN DALAM ISLAM

Abdulloh AG/Istinbat


[1] Syekh Wahbah az-Zuhaili, Al-Tafsir al-Wajiz, I/562, Dar al-Fikr.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *