Memahami Kaidah “اَلْأُمُوْرُ بِاْلمَقَاصِدِ”
Pada kesempatan kali ini kami akan membahas satu kaidah yang tak asing lagi yaitu kaidah:
“اَلْأُمُوْرُ بِاْلمَقَاصِدِ”
“Segala urusan tergantung pada tujuan (niatnya).” Kita akan membahas pemahaman dan sejauh mana kaidah ini mencakup masail-masail fiqhiyah.
Kaidah ini merupakan salah satu dari lima kaidah besar yang dirumuskan oleh para ulama yang mana lima kaidah tersebut menjadi rujukan bagi seluruh masalah-masalah fiqhiyah.
Dalil asal dari kaidah ini adalah sebuah hadis yang berbunyi:
عَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.” Hadis ini menekankan betapa pentingnya niat dalam melaksanakan suatu pekerjaan. (HR. Bukhari Muslim)
Pengertian niat itu sendiri menurut Imam an-Nawawi yang mengikuti pendapat Ibnu Shalah, adalah tujuan yakni keinginan hati, sedangkan menurut Imam al-Mawardi niat adalah keinginan untuk mengerjakan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaannya.
Terlepas dari definisi niat, yang perlu kita perhatikan adalah bahwa kaidah yang kita bahas kali ini memiliki cakupan yang sangat luas dalam berbagai bab ilmu Fikih.
Baca Juga: PEMAHAMAN MENDALAM TENTANG KUALITAS IBADAH
Telah kita ketahui bersama bahwa para ulama betul-betul memperhatikan dan Mengagungkan hadis yang menjelaskan permasalahan niat, Abu Ubaidah mengatakan: “Tidak ada dalam hadis Nabi ﷺ sesuatu yang lebih menyeluruh, lebih mencukupi dan lebih banyak manfaatnya dibandingkan hadis niat ini”.
Bahkan Imam al-Baihaqi menyatakan bahwa niat merupakan sepertiga dari ilmu, karena meninjau amal seorang hamba terjadi melalui hati, lisan dan tubuhnya. Maka, niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut dan merupakan yang paling utama, karena niat bisa menjadi bentuk ibadah yang berdiri sendiri, sedangkan lainnya membutuhkan niat.
Oleh karena itu disebutkan dalam suatu hadis:
نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
“Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya”.
Bahkan Imam Syaifii pun ikut mengomentari, bahwa niat masuk ke dalam pembahasan tuju puluh bab fikih. Maka dapat kita tahui bersama secara garis besar, kaidah al-Umuru bil-Maqasid yang kita bahas kali ini sangat luas cakupannya dalam berbagai permasalahan furu’ fiqhiyah.
Selanjutnya kita akan membahas hal-hal yang menjadi penyebab disyariatkannya niat, dalam hal ini ada dua pembahasan:
Pertama: Tidak disyaratkan niat di dalam ibadah yang tidak menyerupai adat kebiasaan.
Tujuan utama dalam pembahasan ini adalah untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan, serta membedakan tingkatan ibadah satu dengan yang lain sebagaimana penjelasan dalam kitab an-Nihayah dan Fathul-Qadir.
Contohnya seperti mandi dan wudhu yang mana bentuk pekerjaan dari keduanya menimbulkan keserupaan antara membersihkan diri, menyejukkan badan dan ibadah. Contohnya lagi seperti menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa, duduk di masjid adakalanya untuk istirahat atau untuk tujuan ibadah dan memberikan harta pada orang lain adakalanya hibah atau karena tujuan duniawi dll. Maka dalam hal ini dibutuhkan adanya niat yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan.
Sedangkan ibadah-ibadah yang bentuk pekerjaannya tidak memiliki keserupaan dengan adat kebiasaan tidak disyaratkan adanya niat di dalamnya. Contohnya seperti iman kepada Allah, ma’rifat, khauf, Raja’, niat, membaca al-Quran dan beberapa dzikir. Maka, dalam contoh-contoh ini tidak disyaratkan niat karena bentuk pekerjaannya tidak memiliki keserupaan dengan adat kebiasaan.
Kedua: Disyaratkannya penentuan niat secara spesifik di dalam ibadah-ibadah yang bisa tertukar jika tidak ditentukan secara jelas.
Dalil dari pernyataan ini adalah sabda Nabi Muhammad ﷺ yang berupa:
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sebagaimana yang dijelaskan Imam an-Nawawi dalam kitab Syarhul-Muhadzdzab. Hal ini menunjukkan dengan jelas disyaratkannya penentuan niat secara spesifik atau ta’yin, karena makna dasar dari niat itu dipahami dari awal hadis:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Salah satu contohnya adalah shalat yang mana diharuskan adanya ta’yin khususnya dalam shalat-shalat fardhu, karena shalat Dhuhur dan Ashar memiliki keserupaan dalam pekerjaan dan bentuknya. Maka, dibutuhkan adanya ta’yin yang membedakan antara keduanya dan masih banyak lagi contoh-contoh lain yang tidak dapat kami sebutkan, yang dapat kita pelajari langsung dari kitab-kitab ulama.
Kesimpulannya kaidah al-Umuru bil-Maqashid adalah kaidah yang memiliki cakupan luas dalam bab-bab fikih, karena kaidah ini merupakan kaidah yang membahas masalah niat yang sangat luas sekali cakupannya dalam masail-masail fiqhiyah.
Baca Juga: PERTARUNGAN IDENTITAS
Roihanul Azkiya’/IstinbaT