Muallaqat Zuhair: Dokumen Cinta dan Perdamaian Dua Suku
Selain Imruul Qais dan Nabighah adz-Dzubyani, nama Zuhair bin Abu Sulma tercatat dalam deretan tiga nominasi penyair terbaik, meski budayawan Islam masih khilaf dalam memilih siapa yang layak menduduki peringkat pertama dalam prestasi tersebut[1].
Kendati demikian, prestasi Zuhair tidak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga, di mana hampir anggota keluarganya penyair semua. Rabiah (ayah kandung), Aus bin Hajar (ayah tiri), Sulma dan Khansa (saudari kandung), serta Basyamah bin al-Ghadir (paman dari ibu), mereka semua penyair. Bahkan, bakat tersebut menular pada kedua putranya, Kaab dan Bujair serta berlanjut mengalir pada cucunya, Uqbah al-Mudharrab bin Kaab, dan pada cicitnya, al-Awam bin Uqbah[2].
Selain itu, Zuhair berhasil menganggit kasidah Hauliyat. Hauliyat sendiri berasal dari kata haul yang berarti setahun penuh. Artinya, kasidah ini telah menghabiskan waktu setahun, mulai dari tahap penyusunan, penyuntingan, dan tes kelayakan. Setiap tahap ini dilalui selama empat bulan. Dari proses yang begitu lama ini, kasidah ini barangkali menaikkan Zuhair ke level tertinggi[3].
Di antara bagian kasidah tersebut, ialah syair-syair muallaqat yang begitu rapi dan indah, serta tidak bombastis. Objektif dan tidak terlalu fantasi. Sepaham saya, syair muallaqat ini berisi ungkapan perasaan sesal Zuhair karena telah menceraikan istri tuanya, Ummu Aufa setelah melancarkan perbuatan jahat pada dirinya. Bermula ketika Zuhair menikah lagi dengan Kabsyah binti Ammar yang kemudian memberi dua anak laki-laki; Kaab dan Bujair pada Zuhair. Sementara anak-anak dari Ummu Aufa sudah meninggal semasa belia. Jadi hal tersebut yang menyulut api cemburu di hati Ummu Aufa hingga melampiaskannya dengan tindakan jahat pada suaminya sendiri hingga tertalak[4]⁴.
BACA JUGA: Tharafah bin al-Abd: Penyair Muallaqat yang Hidup Boros dan Berakhir Tragis
Zuhair dalam larik-larik bait muallaqatnya turut mengungkapkan syair pujian pada tokoh-tokoh dari dua kabilah. Dari kabilah Bani Badr, Zuhair puji Hishn bin Hudzaifah. Sementara dari Bani Murrah, Zuhair tidak lupa menyelipkan syair indah untuk Sinan bin Abi Harits, putranya, Harm serta Auf bin Harits. Namun karena rasa ragum yang begitu dalam, Zuhair sering mengalamatkan syair pujiannya pada Harm al-Murri. Bahkan Zuhair dibuat malu oleh kedermawanan Harm. Setiap kali memuji, Zuhair pasti menerima bingkisan hadiah yang bernilai tinggi dari Harm. Harm dari awal sudah bersumpah untuk Zuhair; pasti akan memberi hadiah unta, budak pria dan wanita atau kuda setiap kali dipuji, setiap kali diminta, dan setiap kali disapa[5].
Bagi Zuhair, Harm dan Auf dua figur hebat dan berpengaruh. Bisa menyatukan kembali keakraban Bani Dzubyan dan Bani Abas setelah 40 tahun lamanya bertempur di medan perang[6]. Yah, perang terlama yang tercatat dalam sejarah sebagai perang Dahis dan al-Ghabra. Ironisnya, perang tersebut pecah lalu memanas perlahan hanya gara-gara persoalan kuda dari dua bani tersebut.
Ibnu Hisyam, sejarawan Islam dalam kitab sirahnya mengungkap latar belakang perang Dahis dan al-Ghabra pecah. Konon, Dahis hanyalah nama kuda milik Qais bin Zuhair al-Absi, sedangkan al-Ghabra kuda milik Hudzaifah bin Badr adz-Dzubyani. Pada awalnya, dua kuda dipacu dalam perlombaan. Dengan cara curang, Hudzaifah menyuruh warganya memukul wajah kuda Dahis jika mendahului. Sesuai perintah dan kuda Dahis telah berada di depan, mereka pun memukul wajah kuda tersebut. Pada akhirnya, pemacu kuda Dahis melapor pada anggota klan Abs.
Mendengar itu, saudara Qais, Malik bin Zuhair segera melompat ke arena dan menghantam wajah kuda al-Ghabra. Setelah itu, Malik malah dihantam balik oleh Haml bin Badr lalu dibunuh oleh pria Bani Fizarah setelah terbunuhnya Auf bin Hudzaifah di tangan Abu Junaidib al-Absi. Hal itu terus berlanjut selama sekitar 40 tahun lamanya. Motifnya balas dendam. Darah harus dibayar darah. Enggan menyerah apalagi mengalah.[7]
Hingga kemudian Harm bin Abu Sinan dan Auf bin Harits, dua figur yang dikagumi Zuhair, hadir menyatukan kembali dua kabilan tersebut dengan kerelaan menanggung denda (diyat) atas para korban perang. Karena itulah, Zuhair memuji mereka berdua[8]:
فَأَقْسَمْتُ بالبَيْتِ الَّذِيْ طَافَ حَوْلَهُ * رِجَالٌ بَنُوْهُ مِنْ قُرَيْشٍ وَجُرْهُمِ
يَمِيْنًا لَنِعْمَ السَّيِّدَانِ وُجِدْتُمَا * عَلَى كُلِّ حَالٍ مِنْ سَحِيْلٍ وَمُبْرَمِ
تَدَارَكتُما عَبْسًا وَذُبْيَانَ بَعْدَمَا * تَفَانَوْا وَدَقُّوْا بَيْنَهم عطرَ مَنشمِ
وَقَدْ قُلْتُمَا: إِنْ نُدْرِكِ السَّلَمَ وَاسعًا * بِمَالٍ وَمَعْرُوْفٍ مِنَ الْقَوْلِ نَسْلَمِ
فأَصْبَحْتُمَا مِنْهَا عَلَى خَيْرِ مَوْطِنٍ * بَعِيْدَيْنِ فِيْهَا مِنْ عُقُوقٍ وَمَأْثَمِ
“Atas nama Kakbah yang dikelilingi Bani Quraisy dan Jurhum,
Ku bersumpah kalian pemimpin terbaik bagi rakyat lemah dan kuat.
Kalian telah menangani urusan Abs dan Dzubyan setelah beradu di medan perang.
Kalian pernah bilang, “Jika kami bisa mendamaikan melalui harta dan ucapan baik, kami bisa berdamai.”
Dari damai itulah, kalian berada di tempat terbaik, jauh dari durhaka dan putus silaturahmi”.
IMAM ROHIMI/ISTINBAT
BACA JUGA: AL-KHALIL BIN AHMAD AL-FARAHIDI, BAPAK KAMUS DAN ILMU SYAIR ARAB
[1] Al-Baghdadi, Khizanatul-Adab fi Lubbi Lisanil-Arab, vol: I hal: 232 versi Maktabah Syamilah
[2] Al-Baghdadi, Khizanatul-Adab fi Lubbi Lisanil-Arab, vol: I hal: 233 versi Maktabah Syamilah
[3] Az-Zauzani, Syarhul-Muallaqat as-Sab’i , Maktabah Syamilah
[4] Butrus al-Bustani, Udabaul-Arab fil-Jahiliyah wa Shadril-Islam
[5] Az-Zauzani, Syarhul-Muallaqat as-Sab’i, hal: 121 versi Maktabah Syamilah
[6] As-Suhaili, ar-Raudh al-Unuf, vol: III hal: 52
[7] Ibn Hisyam, Sirah Nabawiyah, vol: I hal: 252, versi Maktabah Syamilah.
[8] Az-Zauzani, Syarhul-Muallaqat as-Sab’i, hal: 128-129, cetakan Darul-Alimiyah

