Dilema Dokter Wanita
Terhitung sudah dua tahun sejak diumumkan pada akhir 2019 lalu sebagai pandemi, covid19 telah berhasil membuat dunia kesehatan bekerja lebih berat berkalilipat. Para tenaga medis dituntut untuk mengerahkan tenaga berkali lipat dari biasanya, lebih-lebih di negara kita. Dengan populasi 270 juta lebih, Indonesia telah lama masuk dalam daftar negara dengan penyebaran virus tertinggi hingga detik tulisan ini dibuat.
Kondisi semacam ini tentu saja berdampak kepada timpangnya proposionalitas dunia medis. “Darurat kesehatan”, Demikian dunia menyebutnya. Sehingga –berdasarkan moralitas dan tuntutan kemanusiaan- para tenaga medis dituntut untuk mengubur tebang pilih dalam menangani pasien. Dalam dunia kesehatan hal ini tentu sebuah kemaslahatan. Pun dalam kacamata agama –melalui lensa Fikih- sebenarnya sama. Hanya saja ia akan bermasalah jika hal itu berdampak pada keharusan tenaga medis wanita untuk menangani pasien lawan jenis yang bukan mahramnya. Lantas bagaiman Fikih kita memberikan solusi atas problematika ini?
Perlu diketahui besama sebelumnya bahwa agama memiliki konsep luhur bahwa kemanusiaan –dalam hal kelestariannya- selalu didahulukan atas keberagamaan. Dari sinilah kemudian muncullah kaidah “ الضَّرُورَةُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَات “. Melalui kaidah ini kita menemukan solusi atas problematika kita bahwa dalam keadaan darurat kesehatan boleh saja bagi tenaga medis untuk menangani pasien lawan jenis yang bukan mahramnya. Tetapi kebolehan itu bukan tanpa batas. Di sinilah muncul pula kaidah lanjutan yakni ” الضَّرُورَة َتُقَدَّر بِقَدْرِهَا”. sehingga kebolehan itu menjadi terbatas sesuai dengan kebutuhan medis. Demikian penjabaran yang penulis pahami dari pandangan ulama menyangkut hadist yang di riwayatkan oleh Rubayyi` binti Mu’awwidz bahwa beliau berkata : ”kami (para wanita) pernah ikut serta dalam peperangan bersama Nabi ﷺ. (dan bertugas) memberi minum pasukan dan melayani mereka. Kami merawat yang terluka dan membawa pulang yang telah tak bernyawa”
Oleh: Muhammad Imam Nawawi