Jual Beli Organ Tubuh
Menjaga kesehatan merupakan sebuah kewajiban. Bahkan Islam merupakan satu-satunya agama yang memberikan perhatian utama terhadap kesehatan. Hal ini tergambarkan dalam salah satu sabda Rasulullah kepada shahabat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash yang berupa:
“Aku mendengar kabar bahwa kamu berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari? Abdullah menjawab: Benar wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Jangan kamu lakukan! Puasalah dan Berbukalah! Beribadahlah dan tidurlah! Karena jasadmu memiliki hak yang harus kamu penuhi, matamu memiliki hak yang harus kamu penuhi, dan istrimu memiliki hak yang harus kamu penuhi.” (HR. Bukhari)
Hadis di atas menggambarkan bagaimana Rasulullah begitu memperhatikan kesehatan para shahabat-Nya. Tentunya, Rasulullah melarang sahabat Abdullah untuk menghabiskan hari-harinya dengan beribadah bukan karena Rasulullah tidak suka melihat Abdullah beribadah. Namun, alasan lain dibalik cerita di atas adalah adanya dlarar (bahaya) terhadap badan yang menyebabkan terabaikannya kemaslahatan duniawi dan agamawi.1
Seiring berjalanya waktu, berbagai penyakit semakin banyak bermunculan, mulai dari penyakit ringan, hingga penyakit yang menyerang organ dalam, seperti jantung, ginjal, hati, paru-paru, pankreas, organ pencernaan, dan kelenjar timus. Sehingga tidak sedikit orang yang membutuhkan transplantasi organ.
Transplantasi organ adalah cangkok atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain. Transplantasi ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi dengan organ lain yang masih berfungsi. Donor organ bisa diambil dari orang yang masih hidup maupun telah meninggal.
Cara mendapatkan organ untuk melakukan transplantasi sangat beraneka ragam, ada yang menggunakan praktek jual-beli, suka-rela, bahkan dengan cara mencuri. Lantas apakah semua itu diperbolehkan?
Sebelum menjawabnya, perlu kiranya penulis sampaikan perihal kriteria komoditas (mabi’) yang dilegalkan syariat dalam praktek jual-beli. Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi agar sebuah komoditas legal untuk diperjual-belikan. Diantaranya adalah komoditas harus berupa harta (mal) yang memiliki nilai harga jual, atau dalam fikih dikenal dengan istilah mal mutaqawwim. Mengenai definisi harta (mal), Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam karyanya, Al-Fiqhul Islami menyampaikan,
وَاْلأَصَحُّ أَنَّهُ هُوَ كُلُّ عَيْنٍ ذَاتُ قِيْمَةٍ مَادِّيِّةٍ بَيْنَ النَّاسِ. وَالْمُتَقَوِّمُ مَا يُمْكِنُ اِدِّخَارُهُ مَعَ إِبَاحَتِهِ شَرْعًا
“Menurut pendapat al-Ashah, harta adalah setiap benda yang bernilai dan berupa materi dalam pandangan manusia. Benda bernilai adalah sesuatu yang boleh disimpan menurut syarak.”2
Dari penyampaian az-Zuhaili di atas, dapat kita pahami bahwa tidak semua benda yang berfisik bisa dijadikan komoditas dalam jual-beli, karena ada syarat yang berupa harus memiliki nilai atau harga.
Mengenai jual-beli organ tubuh manusia, ulàma Fikih menyatakan bahwa praktik tersebut tidak sah. Pastinya, ini didasari oleh tidak adanya sifat maliyah yang ada pada tubuh manusia. Maka dari itu az-Zuhaili dalam kitab yang sama juga menyampaikan:
فَلَا يَنْعَقِدُ مَا لَيسَ بِمَالٍ كَالإِنْسَانِ الْحُرِّ وَالمَيْتَةِ وَالدَّمِ
“Maka tidak bisa dianggap sah melakukan transaksi jual-beli atas komoditas yang tidak berupa harta, seperti manusia merdeka, bangkai, dan darah.”3
Beberapa penyampaian Syekh Wahbah az-Zuhaili di atas memberikan indikasi, bahwa tidak ada sedikit pun jalan yang bisa dilalui untuk melakukan praktik jual-beli organ tubuh. Jika mendapatkan organ tubuh untuk melakukan transplantasi melalui jual-beli tidak diperbolehkan, maka melalui sukarela pun juga tidak diperbolehkan, karena setiap komoditas yang tidak bisa diperjual-belikan tidak boleh dihibahkan (tabarru’).4 Begitupun sebaliknya.5
Lantas, apakah ada ulama yang memperbolehkan jual-beli organ tubuh manusia? Memandang sangat dibutuhkannya organ tersebut di waktu-waktu tertentu untuk menyelamatkan nyawa orang lain.
Untuk menjawab ini, penulis mengutip kembali lembaran al-Fiqh al-Islami karya Wahbah az-Zuhaili. Dalam footnote (catatan kaki) kitab tersebut terdapat kutipan sebagaimana berikut:
وَأَجَازَ الْحَنَابِلَةُ بَيْعَ أَعْضَاءِ اْلإِنْسَانِ كَالْعَيْنِ وَقِطْعَةِ الْجِلْدِ إِذَا كَانَ يُنْتَفَعُ بِهَا لِيُرَقِّعَ بِهَا جِسْمَ اْلآخَرِ لِضَرُوْرَةِ اْلإِحْيَاءِ، وَبِنَاءً عَلَيْهِ يَجُوْزُ بَيْعُ الدَّمِ اْلآنَ لِلْعَمَلِيَّاتِ اْلجِرَاحِيَّةِ لِلضَّرُوْرَةِ
“Kalangan mazhab Hanabilah melegalkan jual-beli organ tubuh manusia, seperti bola mata, atau potongan kulit, apabila dimanfaatkan untuk menambal tubuh orang lain guna menyelamatkan nyawanya. Atas dasar ini, menjual darah untuk kepentingan operasi bedah seperti sekarang ini diperbolehkan,”6
Kutipan ini sebenarnya sedikit mengejutkan penulis. Kutipan tersebut sangat jelas menyampaikan bahwa kalangan Hanabilah melegalkan jual-beli organ manusia. Pasalnya, setelah penulis merujuk kembali dalam mazhab Hanabilah, tidak ditemukan satu pun pendapat yang memperbolehkan. Bahkan Syekh Muhammad al-Mukhtar as-Syanqithi menyampaikan bahwa larangan ini mencapai kategori ijmak (konsensus ulama).7 Maka dari itu, mazhab Hanabilah sepakat dengan Hanafiyah dan Syafiiyah dalam hal tidak melegalkan praktek jual-beli dengan komoditas yang berupa organ tubuh manusia.8
Wallahu a’lam.
Oleh:Redaksi
Refrensi:
- Imam Khathib as-Syirbini, Mughnil Muhtaj, Mauqi’ul Islam, I/266.
- Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Darul Fikr, Beirut, VI/357-358.
- Ibid.
- Imam Zakariya al-Anshori, Asnal Mathalib, DKI, Beirut, II/241.
- Imam an-Nawawi, Raudlatut Thalibin, al-Maktab al-Islami, Beirut, V/373.
- Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Darul Fikr, Beirut, VI/531.
- Syekh Muhammad al-Mukhtar as-Syanqithi, Durus Umdatil Fiqh, Maktabah Syamilah, V/251.
- Syekh Muhammad al-Mukhtar as-Syanqithi, Syarh Zadul Mustaqni’, Mauqi’us Sabkah al-Islamiyah, IIIV/213.
rubrik akhwat dinanti
Kedepan semua rubrik akan terbit, sesuai sortirannya
bagus kali..
bisa dijadiin refrensi untuk menegur temen2 yang kuliahnya jurusan kedokteran nih…
Semoga bermanfaat