MENASEHATI ORANG TUA, ANTARA KEWAJIBAN DAN ETIKA
PROLOG
Nasehat kepada orang tua merupakan tindakan yang diperbolehkan bahkan bisa menjadi kewajiban, terutama jika tidak ada yang menasehati mereka. Hal ini sejalan dengan prinsip tindakan mulia kepada orang tua dan pelaksanaan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana kisah Nabi Ibrahim yang dengan lembutnya menasihati sang ayah yang menyembah berhala. Ini menggarisbawahi pentingnya memberikan nasehat dengan penuh kasih sayang.
Allah berfirman:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنكَ شَيْئًا • يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا • يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَٰنِ عَصِيًّا • يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمَٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
“Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.” (QS. Maryam : 42-45).
KAJIAN
Pandangan Mayoritas Fuqaha
Fuqaha sepakat bahwa anak memiliki kewajiban الاِحْتِسَابُ terhadap kedua orang tuanya. Dasar utama pandangan ini adalah nash-nash yang bersifat umum dalam al-Quran dan hadis. Mereka berpendapat bahwa perintah dan larangan yang terdapat dalam nash-nash tersebut mencakup kedua orang tua dan bukan terbatas pada salah satu dari mereka. Sebab, perintah dan larangan itu untuk kepentingan orang yang diperintahkan dan orang yang dilarang, sementara orang tua memiliki hak yang besar untuk menerima manfaat dari anak-anak mereka.
Namun, terdapat perbedaan pendapat di antara fuqaha mengenai batasan-batasan الاِحْتِسَابُ عَلَى الْوَالِدَيْنِ ini. Beberapa ulama berpendapat bahwa الاِحْتِسَابُ hanya mencakup tugas-tugas umum seperti bakti kepada orang tua, sementara yang lain berpendapat bahwa الاِحْتِسَابُ dapat melibatkan tindakan tertentu yang mungkin dianggap kurang etis, seperti menuangkan khamar milik oleh orang tua.
Pendapat Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin berpendapat bahwa الاِحْتِسَابُ عَلَى الْوَالِدَيْنِ dengan cara ta’rif (memberi tahu) dan wa’du (nasehat). Dalam garis besar bahwa الاِحْتِسَابُ عَلَى الْوَالِدَيْنِ melibatkan tindakan-tindakan tertentu yang tidak langsung terkait dengan fisik orang tua. Misalnya, anak boleh melibatkan diri dalam tindakan yang mungkin menyebabkan ketidaknyamanan pada orang tua, seperti merusak barang terlarang atau mengembalikan barang curian orang tua kepada pemiliknya. Al-Ghazali menyatakan bahwa amarah orang tua dalam situasi ini beresensi dari cinta mereka terhadap kekeliruan sehingga mereka lupa diri dari kebenaran. Beliau berkata:
وهل له الحسبة بالرتبة الثالثة حيث تؤدي إلى أذى الوالد وسخطه؟ هذا فيه نظر، وهو بأن يكسر مثلاً عوده ويريق خمره ويحل الخيوط عن ثيابه المنسوجة من الحرير ويرد إلى الملاك ما يجده في بيته من المال الحرام الذي غصبه أو سرقه أو أخذه عن إدرار رزق من ضريبة المسلمين – إذا كان صاحبه معيناً – ويبطل الصور المنقوشة على حيطانه والمنقورة في خشب بيته ويكسر أواني الذهب والفضة؛ فإن فعله في هذا الأمور ليس يتعلق بذات الأب خلاف الضرب والسب، ولكن الوالد يتأذى به ويسخط بسببه، إلا أن فعل الولد حق، وسخط الأب منشؤه به للباطل وللحرام
“Apakah anak memiliki hak hisbah dengan cara ketiga, tindakan yang dapat merugikan dan membuat murka orang tua? Hal ini adalah sesuatu yang perlu dipertimbangkan, yaitu ketika anak merusak sesuatu, seperti alat musik milik orang tuanya, menuangkan minumannya, melepas benang-benang pada pakaian sutranya, mengembalikan harta haram yang ditemukannya di rumahnya, yang mungkin diperoleh dengan cara ghasab, pencurian, atau melalui pungutan pajak umat Islam – jika pemiliknya diketahui -, dan merusak gambar yang terukir di dinding atau yang tertanam di kayu rumahnya, serta merusak peralatan dari emas dan perak. Tindakan seperti ini tidak terkait dengan hak prerogatif sang ayah, berbeda dengan hukuman fisik dan celaan, tetapi dapat menyebabkan rasa sakit dan kemarahan sang ayah. Meskipun demikian, tindakan anak adalah benar, sementara kemarahan sang ayah berasal dari pandangan yang keliru.”[1]
Pendapat Al-Hanafiyyah dan Sebagian Ahli Hadis
Di sisi lain, ada pendapat yang berbeda dari kalangan Al-Hanafiyyah dan sebagian ahli hadis, yang berpendapat bahwa الاِحْتِسَابُ tidak mencakup tindakan-tindakan tersebut. Menurut mereka, seorang anak harus mematuhi orang tua dan mendoakan baik mereka. Jika orang tua menolak perbuatan baik, mereka tidak perlu melakukan perbuatan buruk sebagai bentuk الاِحْتِسَابُ.[2]
EPILOG
Berdasarkan analisis terhadap pandangan para fuqaha dan ulama, dapat disimpulkan bahwa terdapat variasi pandangan mengenai batasan-batasan الاِحْتِسَابُ عَلَى الْوَالِدَيْنِ. Meskipun mayoritas fuqaha sepakat bahwa anak memiliki kewajiban الاِحْتِسَابُ terhadap kedua orang tua, terdapat perbedaan dalam hal apa yang dapat mencakup الاِحْتِسَابُ tersebut.
Penting bagi masyarakat dan ulama untuk mendalami pemahaman konsep الاِحْتِسَابُ عَلَى الْوَالِدَيْنِ ini agar dapat mengimplementasikannya dengan bijak dalam kehidupan sehari-hari, menghormati nilai-nilai agama dan etika yang terkandung di dalamnya.
Tentunya, implementasi pemberian nasehat kepada orang tua harus memperhatikan etika dan kebijaksanaan, menghindari konfrontasi yang tidak perlu, serta tetap menjaga kehormatan dan rasa hormat terhadap orang tua. Semoga tindakan baik ini mendatangkan hidayah dan keberkahan dari Allah.
Oleh: Zainul Umam
[1] Al-Ghazali, Abu Hamid, Muhammad bin Muhammad, Ihya’ Ulumiddin II/154
[2] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, XVII/262-263