Tasybih Baligh
Sastra Arab adalah fan ilmu yang sangat luas. Imam Zamakhsyari membagi ilmu ini menjadi 12 cabang, di antaranya adalah ilmu bayan. Ilmu bayan adalah ilmu yang berfungsi untuk menyampaikan satu makna dengan cara yang berbeda-beda. Pembahasan ilmu bayan terdiri dari tasybih, majaz dan kinayah. Kali ini, penulis akan membahas tasybih baligh, salah satu macam-macam tasybih.
Sebelum masuk ke inti pembahasan, sangatlah penting mengetahui definisi tasybih dan unsur-unsurnya. Tasybih dalam istilah ulama balaghah adalah menyamakan sesuatu dengan sesuatu lain dalam satu makna dengan adat khusus. Seperti dalam contoh أَنْتَ كَالشَّمْسِ فِي الإِشْرَاقِ “Engkau seperti matahari yang terang”. Dalam contoh tersebut, lawan bicara (engkau) disamakan dengan matahari dari segi satu sifat yang menyatukan keduanya, yakni terang. Lawan bicara (engkau) itu musyabbah, matahari sebagai musyabbah bihi, terang disebut wajhus syabah dan huruf jer kaf adalah adat tasybih. Ini adalah empat unsur tasybih.
Terkadang empat unsur tasybih disebut semua dalam suatu kalam seperti contoh di atas. Tasybih yang keempat unsurnya disebut secara lengkap, ruh sastranya hilang. Para ulama menganggap orang yang membuat tasybih dengan keempat unsurnya memiliki bakat sastra yang rendah atau mengklaim pendengarnya berpemahaman dangkal. Apabila adat tasybih dibuang seperti contoh أَنْتَ شَمْسٌ فِي الإِشْرَاقِ “Engkau adalah matahari yang terang”, derajat tasybih-nya naik sedikit karena engkau (musyabbah) dan matahari (musayabbah bihi) menjadi satu hal sama yang tidak dibedakan oleh apapun. Namun, demikian ini dalam hal terangnya saja. Nilai sastra dalam bagian ini masih dibilang rendah.
Bagian selanjutnya, tasybih yang wajhusy syabah-nya dibuang atau yang disebut dengan tasybih mursal mujmal seperti أَنْتَ مِثْلُ الشَّمْسِ “Engkau laksana mentari”. Bagian ini memiliki derajat lebih tinggi dari sebelumnya karena membuang wajhusy syabah mengindikasikan bahwa musyabbah dan musyabbah bihi memiliki kemiripan dalam segala hal. Dalam contoh tersebut, lawan bicara (engkau) dan mentari mirip dari semua sisi, seperti terang, indah, sumber kehidupan dan lain sebagainya. Bagian ini tidak mencapai derajat tertinggi karena peyebutan adat tasybih memberi pamahaman bahwa antara musyabbah dan musyabbah bihi masih ada pembeda.
Bagian tasybih tertinggi adalah tasybih yang adat tasybih dan wajhus syabah-nya dibuang seperti contoh أَنْتَ شَمْسٌ “Engkau adalah mentari”. Membuang dua unsur tersebut menjadikan musyabbah dan musyabbah bihi adalah satu hal. Musyabbah adalah musyabbah bihi, begitu juga sebaliknya. Contoh tersebut dapat diartikan “Engkau adalah mentari yang tinggi di langit, menyinari dalam kegelapan, menciptakan ketenangan, memberikan kehangatan, dicintai oleh makhluk”, serta arti-arti yang lain. Seorang pendengar bebas mengartikan bagian ini sesuai dengan keluasan dan kedalaman sastranya. Bagian inilah yang disebut dengan tasybih baligh.
Tasybih baligh adalah tasybih tertinggi karena musyabbah dan musyabbah bihi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan oleh apapun dan tidak berbeda sedikit pun. Syekh Musthofa Shadiq ar-Rafi’i seorang sastrawan arab modern berkata لَا يَكُوْنُ الحُبُّ حُبًّا إِلَّا إِذَا قَالَ المُحِبُّ لِحَبِيْبِهِ يَا أَنَا “ Cinta sejati adalah ketika seorang pecinta berkata kepada kekasihnya “wahai diriku”. Menurut beliau, derajat cinta tertinggi adalah orang yang menyatu dengan kekasihnya dalam segala hal dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itu, tasybih baligh adalah suatu keindahan dan keelokan bagi para sastrawan serta menjadi medan persaingan di antara mereka. Hanya mereka lah yang mengerti keindahan di balik tasybih baligh.
Sebagai penutup, penulis tampilkan contoh tasybih baligh dalam syair pujian Abu Tayyib al-Mutanabbi kepada Raja Saifud Daulah saat sang raja hendak pergi,
أَيْنَ أَزْمَعْتَ أَيُّهَذَا الهُمَامُ # نَحْنُ نَبْتُ الرُّبَا وَأَنْتَ الغَمَامُ
“Ke manakah tuan hendak pergi wahai raja yang pemurah # kami adalah tumbuhan pegunungan sedangkan engkau adalah hujan”.
Dalam syair tersebut terdapat dua tasybih baligh, yakni نحن نبت الربا dan أنت الغمام . Syair itu dapat diartikan sebagai berikut; Kami adalah tumbuhan pegunungan yang mati dan tidak dapat tumbuh kecuali dengan air hujan, sedangkan engkau adalah hujan yang menjadi sebab kami hidup dan tumbuh. Engkau adalah sumber kehidupan bagi kami. Maka, janganlah engkau pergi meninggalkan kami.
Oleh : Muhajir / Redaksi Istinbat