Sang Pangeran Sesat

Bagi penggiat sastra Arab tentu sudah tidak asing dengan pujangga bernama Imru’ul Qais. Namanya adalah Imru’ul Qais bin Hujur bin al-Harits dan diberi julukan al-Malik ad-Dhillîl[1]. Menurut pendapat yang paling unggul, dia dilahirkan di Najd pada tahun 500 M, dan wafat pada tahun 540 M[2] karena terserang penyakit cacar. Ayahnya adalah pemuka bani kindah, sedangkan ibunya merupakan saudari dari penyair terkemuka Muhalhal[3].

Selain hidup dalam keluarga yang memiliki kekuasaan yang luas, kecerdasan yang tinggi pun ia miliki. Ketika menginjak masa remaja, hidupnya serba mewah, senang bermain, dan selalu menyanjung-nyanjung wanita melalui syair yang diucapkannya. Hingga pada akhirnya ia diusir oleh ayahnya dikarenakan kelakuannya yang tidak karuan.

            Tindakan yang dilakukan oleh ayahnya tidak mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam kesehariannya, dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, kebun-kebun dan saluran pembuangan menjadi tempat tongkrongan bersama teman-temannya sambil meminum minuman keras dan bernyanyi, bahkan keluar untuk berburu. Hingga pada akhirnya saat berada di Yaman, datanglah kabar akan kematian ayahnya dan kekuasaannya yang direbut oleh Bani Asad[4]. Pada waktu itulah dia mengeluarkan kata-katanya yang sangat emosional,

 “ضَيَّعَنِيْ صَغِيْرًا، وَحَمَّلَنِيْ ثَأْرَهُ كَبِيْرًا. لاَصَحْوَ اليَوْمَ، وَلاَ سُكْرَ غَدًا، اليَوْمَ خَمْرٌ، وَغَدًا أَمْرٌ.”

“Dia menyia-nyiakanku saat aku kecil, dan membebankan balas dendamnya saat aku besar. Tidak ada waktu sadar hari ini, dan tidak ada mabuk di hari esok. Hari ini untuk arak (mabuk), dan hari esok untuk urusan (balas dendam).

            Dalam perjalanannya membalas dendam, dia tak ubahnya seperti biasanya. Selama tujuh hari dia selalu meminum arak dan akhirnya mendendangkan syairnya dengan bahar Thawîl,

أَتَانِيْ وَأَصْحَابِيْ عَلَى رَأْسِ صَيْلَعٍ * حَدِيْثٌ أَطَارَ النَّوْمَ عَنِّي وَأَنْعَمَا

وَقُلْتُ لِعِجْلِيٍّ بَعِيْدٍ مَآبُهُ * تَبَيَّنْ وَبَيِّنْ لِيْ الحَدِيْثَ المُعْجَمَا

“Saat berada di puncak gunung, datanglah sebuah berita padaku dan teman-temanku yang menyebabkan tidak bisa tidur. Dan saya katakan pada Ijli –sang pembawa berita- yang datang dari tempat yang jauh: klarifikasilah dan jelaskan padaku kabar yang masih semu.”[5]

            Perjalanan terus ia lanjutkan dengan meminta bantuan pada bani Taghlib dan Bakar yang di antara mereka juga terdapat Syurahbil dan ‘Alqamah, saudara Imru’ul Qais. Prajurit mulai dikerahkan untuk menyerang Bani Asad yang sedang beristirahat di dekat air, hingga terjadilah peperangan yang menghabiskan banyak korban meninggal dan luka-luka. Tidak ada yang menghalangi berlangsungnya peperangan ini selain gelapnya malam. Ketika fajar terbit, Bani asad di dapati lari tunggang langgang. Imru’ul Qais terus mendesak Taghlib dan Bakar untuk mengejar mereka, tetapi keduanya menolak seraya mengatakan, “Kamu telah usai melakukan balas dendammu”. Dengan syair bahar Rajaz-nya dia pun menjawab:

وَاللهِ لاَيَذْهَبُ شَيْخِيْ بَاطِلاً * حَتَّى أَبِيْرَ مَالِكًا وَكَاهِلاً

“Demi Tuhan, aku tak akan membiarkan pimpinanku hilang sia-sia, hingga aku binasakan Malik dan Kahil”

            Tanpa patah semangat, dia pun meminta bantuan pada Martsad al-Khair, pemuka hisyam, Yaman. Permintaannya pun dikabulkan dengan mengutus lima ratus tentaranya. Namun, Martsad al-Khair meninggal sebelum ikut berperang dan posisinya digantikan oleh Qarmal yang juga menyewa banyak orang fakir untuk ikut andil dalam peperangan.

Dalam perjalanan, Imru’ul Qais bertemu dengan patung yang sangat diagungkan oleh orang Arab, lebih akrabnya di sebut Dzû Khilshah. Sebagai penyembah berhala –sekalipun tidak begitu patuh beragama-[6] dia mencari petunjuk menggunakan undian tiga gelas yang semuanya memiliki peran masing-masing, pertama sebagai pemberi perintah, kedua pelarang, dan ketiga penunggu. Gelas pun diacak sebanyak tiga kali dan hasilnya adalah gelas kedua yaitu pemberi larangan yang selalu keluar. Lalu ia mengumpulkan semua gelas itu, dipecah dan dilempar ke muka patung seraya mengatakan “Andaikan ayahmu dibunuh, niscaya kau tidak akan balas dendam padaku”. Ia pun melanjutkan perjalanan dan menyerang Bani Asad dan berhasil mengalahkan mereka.[7]Wallahu A’lam.

Oleh: Syukron Makmun


[1] Al-Munjid fil-Lughah wal-A’lâm, 454. Darul Masyriq. Bairut.

[2] Az-Zauzani, Syarhul-Mu’allaqât al-‘Asyr, 24, Dâr Maktabatul-Hayat, Bairut Libanon.

[3] Tim, Tarajimu Syu’ara’ al-Mausû’ah asy-Syi’riah, Maktabah Syamilah.

[4] Abdul Aziz Muhammad Jum’at, AlMu’allaqât As-Sab’u, 14. Muassasah Jaizah Abdul Aziz, Kuwait.

[5] Syekh Ahmad al-Amin as-Syinqîthi, Syarhul-Mu’allaqât al-‘Asyr wa Akhbâru Syu’arâ’iha, 13, al-Maktabah al-‘Ashriyah. Shaida – Bairut.

[6] Al-A’lam As-Syantamri, Asy’arusSyu’arâ’ As-Sittah Al-Jahilîn, 03, PDF/Maktabah Syamilah.

[7] Syekh Ahmad al-Amin as-Syinqîthi, Syarhul-Mu’allaqât al-‘Asyr wa Akhbâru Syu’arâ’iha, 16, al-Maktabah al-‘Ashriyah. Shaida – Bairut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *