Menjawab Tantangan Zaman: Pentingkah Ushul Fikih Hari Ini?

Ushul Fikih merupakan fan ilmu yang menjadi tonggak awal dari berbagai macam hukum Islam. Ia laksana akar dari pepohonan hukum Islam, mulai zaman Nabi hingga kiamat nanti.

Ushul Fikih juga menjadi fan ilmu yang hasilnya banyak dirasakan oleh berbagai kalangan, namun kajiannya tak begitu diketahui oleh banyak orang.

Karena ia hanya akar, bukan batang apalagi buah matang, sehingga tak begitu penting menurut sebagian orang, sebagaimana manusia lebih mementingkan manisnya buah dari pada kuatnya akar yang tertanam dalam tanah.

Secara terminologi Ushul Fikih adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fikih global, dan cara memprosesnya menjadi hukum, serta kriteria orang yang memprosesnya.[1] Ushul Fikih lebih fokus dengan memproses dalil-dalil yang mendapat rekomendasi dari syariat menjadi fikih matang siap saji. Namun bukan sembarang memproses, dan tak semua orang bisa memprosesnya, ada kaidah tertentu yang harus dilakukan oleh orang yang mau memprosesnya, di samping kepribadiannya harus sesuai dengan kriteria tertentu yang ditetapkan dalam Ushul Fikih.

Orang yang memproses dalil ini dalam Ushul Fikih dikenal dengan sebutan mujtahid.

Baca Juga: MENGAPA PINTU IJTIHAD HARUS DITUTUP ?

Tentu kriteria yang ditetapkan untuk para calon mujtahid, sangat sulit ditemukan di zaman sekarang, bagaikan burung gagak hitam dengan garis garis putih di bagian sayapnya.

Karena itulah berseliweran pertanyaan-pertanyaan terkait masihkah terbuka pintu ijtihad? Masih pentingkah Ushul Fikih di masa kini?

Untuk mengetahui sejauh mana pentingnya ilmu Ushul Fikih ini, kiranya perlu mengulas fungsi fungsi dari belajar Ushul Fikih. Berikut penulis tampilkan beberapa fungsi mempelajari Ushul Fikih yang relevan untuk zaman sekarang.

Baca Juga: MENGENAL ILMU USHUL FIKIH

FUNGSI KAJIAN USHUL FIKIH MASA KINI

Fan Ushul Fikih untuk masa sekarang tetap penting untuk dikaji dan difahami, meski sulit untuk bisa mencapai kriteria menjadi mujtahid, karena ada fungsi lain Ushul Fikih yang membuatnya tetap perlu dikaji oleh orang orang-orang masa kini. Di antaranya:

  1. Mengetahui perjalanan ulama dalam menetapkan suatu hukum. Hal ini sangat penting bagi kita selaku orang awam, karena dengan demikian kita tidak bisa digoyahkan oleh pendapat-pendapat yang muncul akhir-akhir ini, seperti mempersoalkan kembali kebenaran hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama salaf.

Maka dari itu, ada suatu golongan yang beranggapan bahwa semua orang bisa melakukan ijtihad, karena al-Quran dan hadis menjadi pijakan semua umat Islam. Sehingga mereka berani mengambil beberapa ayat al-Quran atau penggalan hadis Nabi lalu memprosesnya sesuai pengetahuannya sendiri, dan menetapkan hukum baru yang berbeda dengan ketetapan ulama terdahulu.

Mereka beranggapan bahwa orang yang hanya mengikuti hasil ijtihadnya ulama terdahulu termasuk orang yang tidak paham ajaran agama dan tak berpegang teguh pada al-Quran dan Hadis yang menjadi pedoman pokok dalam ajaran Islam.

Padahal mengikuti pendapat para mujtahid bukan berarti meninggalkan al-Quran maupun hadis, sebab sejatinya keberadaan mereka hanya sebatas pembantu dalam memahami al- Quran dan Hadis, karena masih banyak orang yang minim pengetahuan dalam memahami al-Quran dan Hadis.[2]

Dalam penetapan hukum ada proses panjang dan membutuhkan pengetahuan luas, tidak cukup hanya bisa menerjemah dalilnya, namun juga perlu mengetahui banyak bekal kaidah gramatika Arab yang meliputi Nahwu, Sharraf, Balaghah dan kamus Bahasa Arab, keumuman dan kekhususannya, makna hakikat majaznya, masalikul-ilahnya (jika menggunakan qiyas), dan mengetahui ijmak ulama terdahulu, serta keberadaan dalil lain yang mendukung atau mendobraknya.

2. Tidak mudah menyalahkan pendapat ulama yang sekilas tampak tanpa dalil dan berbeda dengan pendapat yang sudah masyhur. Semisal orang bermazhab Syafii yang sudah mengetahui hukum najis anjing dan babi. Ketika ia mendengar pendapat satu mazhab yang menyatakan keduanya tidak najis, akan menimbulkan kemusykilan terhadap mazhab tersebut. Padahal andai ia tahu metode pengambilan hukumnya, maka ia akan menerimanya dengan penuh penghormatan dan tidak langsung menyalahkannya. Dalam mazhab Maliki anjing dan babi tidaklah najis. Dengan alasan tidak ada dalil yang secara jelas menyatakan bahwa keduanya najis. Hadis yang ada hanya menyebutkan kewajiban membasuh jilatan anjing sebanyak 7 kali disertai debu pada salah satu basuhannya, sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Bukhari dari Abi Hurairah:

[3]“طُهُوْرُ اِنَاءِ أَحَدِكُمْ اِذَا وَلَغَ فِيْهِ اْلكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”

Menurut mereka kewajiban membasuh setiap benda yang dijilat oleh anjing dan babi hanya bersifat ketundukan (ta’abbudi) dan tidak bisa dijelaskan oleh rasio manusia. Kewajiban membasuh benda yang terkena jilatan anjing tidak memastikan akan kenajisan anjing tersebut.[4]

3. Bisa menolak pemikiran baru yang berseberangan dengan syariat Islam. Seseorang yang telah memahami Ushul Fikih ketika dihadapkan dengan pendapat baru hasil penelitian orang masa kini, ia tidak langsung mengiyakan dan tidak pula menyalahkan. Apalagi jika pendapat itu berseberangan dengan pendapat para mujtahid. Ia akan meneliti di mana letak kesalahannya terlebih dahulu, apakah kesalahan itu berasal dari metode yang digunakan atau dari kriteria orangnya. Hal ini sangat penting agar bisa membasmi pemikiran-pemikiran baru yang terkesan bulat dan kuat yang ternyata kosong isi dan sempit hati. Serta berguna untuk mendeteksi penetapan hukum yang disesuaikan dengan keinginan hawa nafsu, kepentingan politik atau mendulang simpatik.

4. Melestarikan khazanah keilmuan. Dari Ushul Fikih kita bisa mengenal seluk beluk ulama dalam menetapkan suatu hukum, sehingga kita bisa menyadari bahwa mereka tidak sembrono dalam pengambilan dalil dan proses penetapannya. Di samping itu, ilmu ini juga menjadi bahan pengayaan ilmu bagi pelajar yang bisa membuatnya lebih bijak dalam menanggapi perbedaan pendapat para ulama.

Kesimpulannya Ushul Fikih masih penting untuk dipahami dan dikaji di masa kini agar kita bisa bijak dalam menanggapi hasil ijtihad ulama terdahulu dan bijak dalam menghadapi pemikiran-pemikiran nyeleweng yang muncul baru-baru ini serta dapat memperkokoh syariat kita, dengan mengetahui bahwa ketetapan para mujtahid yang kita anut memang hasil dari dalil syara’ yang menjadi pedoman kita seluruh umat Islam.

 Oleh: Imaduddin /Istinbat


[1] Zakariya al-Anshari, Ghoyatul-Wushul fi Lubbil-Wushul, hal: 4

https://id.wikipedia.org/wiki/Zakaria_al-Anshari

[2] Ibnu Qudamah, Raudhatun-Nazhir wa Jannatul-Manazhir fi Ushulil-Fiqh, I/9

[3] HR. Muslim No. 279

[4] Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarhul-Muhaddzab, II/581

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *