Perang Jamal: Ketika Ijtihad Beradu di Medan Fitnah
Bulan Rabiul Akhir dalam kalender Hijriyah merupakan salah satu bulan yang memiliki tempat tersendiri dalam sejarah Islam. Di bulan ini terjadi sejumlah peristiwa besar yang memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam hingga hari ini. Salah satu peristiwa paling menonjol yang terjadi pada bulan Rabiul Akhir adalah Perang Jamal, sebuah konflik bersenjata yang melibatkan para Shahabat besar Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa ini bukan hanya penting dari sisi sejarah, tetapi juga penuh hikmah bagi umat dalam memahami dinamika politik Islam pasca wafatnya Rasulullah ﷺ.
Menurut catatan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, seperti yang tertuang dalam karya Ibnu Katsir dalam al-Bidāyah wan-Nihāyah dan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Al-Ishābah, penyebab utama Perang Jamal adalah kekacauan yang terjadi setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Banyak shahabat menuntut agar para pembunuh Utsman segera diadili. Sayyidah Aisyah, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam keluar menuju Basrah dengan tujuan untuk menuntut keadilan atas darah Khalifah Utsman. Sementara itu, Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin baru menghadapi situasi yang rumit karena kekacauan politik yang masih belum stabil. Perbedaan ijtihad ini kemudian berkembang menjadi konflik terbuka, yang dikenal sebagai Perang Jamal.
Perang ini terjadi pada tahun 36 H (sekitar 656 M) di wilayah Basrah, Irak. Pertempuran ini dinamai “Jamal” karena dalam pertempuran tersebut, Sayyidah Aisyah menunggangi unta (jamal), yang menjadi pusat perhatian dan titik utama pertempuran. Perang ini sangat disayangkan karena mempertemukan dua kelompok yang sama-sama terdiri dari para shahabat utama Nabi ﷺ. Sebelum pecahnya perang, sebenarnya sempat terjadi upaya rekonsiliasi antara pihak Ali dan pihak Aisyah, namun sayangnya provokasi dari kelompok pembunuh Utsman membuat kesepakatan damai gagal dan pertempuran pun terjadi.
BACA JUGA: HEROISME SUMAYAH
Di balik tragedi ini, terdapat banyak pelajaran penting yang dijelaskan oleh ulama Ahlussunnah. Imam Ahmad bin Hanbal dalam Fadhā’ilush-Shahābah dan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan bahwa para shahabat yang terlibat dalam perang ini semuanya berijtihad dan tidak bermaksud merusak Islam. Kesalahan yang mungkin terjadi adalah dalam ijtihad, bukan dalam niat. Oleh karena itu, Ahlussunnah wal Jamaah tetap menghormati semua sahabat yang terlibat, dan tidak mencela salah satunya. Perang Jamal menjadi pelajaran besar tentang bagaimana fitnah dan provokasi dapat menghancurkan persatuan, meskipun di antara orang-orang terbaik sekalipun.
Ahlussunnah juga melihat bahwa peristiwa ini menegaskan pentingnya ketaatan kepada pemimpin yang sah, serta bahayanya mengambil tindakan sepihak dalam kondisi kekacauan. Dalam Syarh Aqidah Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi menjelaskan bahwa pertumpahan darah antar kaum Muslimin tidak pernah dianjurkan, dan bahwa seluruh shahabat yang terlibat dalam Perang Jamal adalah orang-orang yang telah dijamin keutamaannya oleh Rasulullah ﷺ, namun menjadi korban situasi politik yang sangat kompleks pasca wafatnya Nabi.
Akhir dari Perang Jamal menyisakan kesedihan mendalam bagi umat Islam. Pasukan Ali bin Abi Thalib akhirnya menang, dan beliau memperlakukan Sayidah Aisyah dengan penuh kehormatan, bahkan mengantarnya kembali ke Madinah dengan pasukan pengawal. Thalhah dan Zubair gugur dalam pertempuran, namun Ali tetap mendoakan keduanya dan menyebut mereka sebagai shahabat mulia yang berijtihad. Setelah perang, Ali memindahkan ibu kota kekhalifahan ke Kufah, sebagai upaya menstabilkan situasi politik dan menghindari konflik lebih lanjut.
Dengan berakhirnya Perang Jamal, umat Islam diingatkan tentang pentingnya menjaga persatuan dan menjauhi fitnah. Meskipun tragedi itu menyisakan luka dalam sejarah, namun ulama Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan kita untuk tetap memuliakan para sahabat dan mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Sejarah bukan untuk dijadikan alat permusuhan, tapi sebagai sumber hikmah agar umat Islam bisa melangkah dengan bijak dan tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang.
BACA JUGA: Perang Najd, Tegaskan Taring Muslim di Semenanjung Arab
A.Kholil/ Pemred Sidogiri.Net