HUKUM SYARIAT VS SELERA MASYARAKAT

Topik yang akan kita bahas kali ini adalah fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, di mana sering kali terjadi sebuah peristiwa ataupun adat-istiadat masyarakat yang menyalahi aturan hukum syariat.

“Suatu Kebiasaan yang salah jika terus dilakukan akan tampak seperti sebuah kebaikan”. Begitulah kira-kira pepatah mengatakan. Mirisnya kesalahan yang dijadikan sebuah kebiasaan oleh masyarakat kita terkadang berupa kesalahan dan pelanggaran menurut kacamata syariat.

Pelanggaran-pelanggaran syariat telah banyak merasuki kegiatan dan adat masyarakat tanpa mereka sadari, bahkan hal ini mereka anggap sebagai upaya untuk menjaga dan menghargai adat setempat, dan ketika mereka diperingati tentang kebenaran, mereka cendrung menolaknya karena mereka menganggap apa yang mereka lakukan sudah benar selama tidak merugikan pihak siapapun.

Lalu bagaimana semestinya kita menyikapi fenomena ini? Pada dasarnya fenomena seperti ini telah ada sejak zaman lampau di mana orang-orang kafir mati-matian membela tradisi leluhurnya kendatipun menyalahi kebenaran dan aturan Allah ﷻ. Di dalam al-Quran Allah ﷻ berfirman:

وَاِذَا قِيۡلَ لَهُمُ اتَّبِعُوۡا مَآ اَنۡزَلَ اللّٰهُ قَالُوۡا بَلۡ نَـتَّبِعُ مَآ اَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ اٰبَآءَنَا ؕ اَوَلَوۡ كَانَ اٰبَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُوۡنَ شَيۡـئًـا وَّلَا يَهۡتَدُوۡنَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (QS al-Baqarah [2]: 170) 

BACA JUGA: Pengaruh Aktifitas Nabi terhadap Hukum Syariat

Syekh Abu Hayyan al-Andalusi berkomentar mengenai ayat ini dalam kitab al-Bahrul-Muhith:

وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ دِينَ اللَّهِ هُوَ ٱتِّبَاعُ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ، لِأَنَّهُمْ لَمْ يُؤْمَرُوا إِلَّا بِهِ

“Dan dalam (ayat) ini terdapat dalil bahwa agama Allah adalah mengikuti apa yang telah Allah turunkan, karena mereka tidak diperintahkan kecuali untuk itu.”

Dari sini dapat kita pahami bahwa mengikuti aturan Allah adalah sebuah kepastian yang tak bisa dibandingkan dengan selera masyarakat belaka, bahkan orang yang mengedepankan selera dari pada hukum syariat merupakan orang yang tercela.

Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُوا۟ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۚ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?”. (QS al-Ma’idah [5] :104)

Ibnu Jarir ath-Thabari dalam kitab Tafsir ath-Thabari mengatakan, “Ketika dikatakan kepada orang-orang yang mengikuti tradisi nenek moyang mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan mengikuti Rasul-Nya agar menjadi jelas bagi kalian kedustaan yang kalian buat atas nama Allah dalam hal mengharamkan sesuatu yang tidak Dia haramkan’.”

Maka mereka menjawab “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati dari leluhur kami dahulu, yang mereka kerjakan.” dan mereka berkata, “Kami hanyalah pengikut mereka, mereka adalah pemimpin dan panutan kami. Kami telah merasa cukup dengan apa yang kami ambil dari mereka dan kami pun ridha terhadap pengharaman dan penghalalan yang mereka tetapkan.”

Kesimpulan

Pada dasarnya Islam tidak melarang tradisi ataupun adat-istiadat yang dilakukan masyarakat selama tidak bertolak belakang dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ. Karena pada sejatinya sebagai umat Islam harus mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ. Jadi, polemik syariat vs selera masyarakat yang terjadi hari ini sangat disayangkan, karena sebagai seorang Islam sudah semestinya mengikuti syariat yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta alam semesta.

BACA JUGA: Syariat Islam Produk Budaya (?)

Referensi

Syekh Muhammad bin Jarir Abu Jakfar ath-Thabari, Jami’ul-Bayan fi Ta’wilil-Qur’an, 137, Maktabah Syamilah.

Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi, al-Bahrul-Muhith fit-Tafsir, 103, Maktabah Syamilah.

Roihanul Azkiya’/IstinbaT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *