Hijrah Akhwat: Antara Tren dan Ketulusan
Fenomena hijrah di kalangan Muslimah (akhwat) kini menjadi pemandangan yang lumrah, bahkan populer. Media sosial dipenuhi dengan konten bertemakan hijrah—kisah transformasi diri, tips berbusana syari yang ‘kekinian’, hingga kutipan-kutipan motivasi islami. Fenomena ini menunjukkan adanya kesadaran spiritual dan moral yang tumbuh di kalangan perempuan Muslim, sebuah hal yang tentu patut kita syukuri. Namun, di balik semaraknya tren hijrah ini, muncul satu pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama:
Hijrah ini karena Allah, atau karena lingkungan? Karena dorongan iman, atau sekadar mengikuti tren sosial?
BACA JUGA: Selektif Dalam Memilih Pasangan Ideal
Makna Hijrah dalam Islam
Secara bahasa, hijrah berarti berpindah atau meninggalkan. Dalam konteks syar’i, hijrah bermakna meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah menuju sesuatu yang dicintai oleh-Nya. Rasulullah ﷺ bersabda[1]:
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya. Sedangkan seorang Muhajir(orang yang hijrah) adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari)
Dalam At-Taudhîh lil-Jâmi‘ ash-Shahîh, dijelaskan bahwa maksud dari sabda Nabi tersebut adalah bahwa seorang Muhajir sejati adalah orang yang memutuskan diri dari segala bentuk perbuatan yang dilarang oleh Allah. makna hakiki dari hijrah adalah berpaling sepenuhnya dari larangan-larangan Allah. Sehingga tidak ada bentuk hijrah yang lebih agung daripada meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan[2]
Hijrah terbagi menjadi dua:
- Hijrah Lahiriah
Ini adalah perpindahan secara fisik, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad ﷺ dan para shahabat saat hijrah dari Makkah ke Madinah demi menyelamatkan akidah dan menegakkan ajaran Islam. Hijrah ini menuntut keberanian menghadapi tantangan eksternal.
- Hijrah Batiniah
Hijrah ini bersifat maknawi yakni perubahan dalam sikap, pola pikir, dan perilaku. Misalnya, seseorang meninggalkan kebiasaan berbohong dan mulai berusaha jujur. Atau seseorang yang sebelumnya lalai dalam shalat, kini mulai menjaga waktu ibadahnya. Hijrah maknawi mencerminkan perjuangan internal seseorang untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Keduanya sama-sama penting. Namun, dalam kehidupan saat ini, hijrah maknawi -perubahan hati, pola hidup, dan hubungan dengan Allah, justru menjadi kebutuhan utama, karena ia menyentuh akar keimanan yakni hati. Ketika hati berubah, seluruh hidup ikut berubah: baik cara berpikir, cara berbicara, cara bersikap, cara beribadah, hingga cara memandang dunia. Sebagaimana dalam hadis Nabi ﷺ [3]:
“Sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, itu adalah hati”. (HR. Bukhari & Muslim)
Fenomena Hijrah: Antara Penampilan dan Hati
Tren hijrah di kalangan akhwat seringkali ditandai oleh perubahan penampilan: mengenakan jilbab panjang, busana syar’i, dan semakin aktif mengikuti kajian. Meskipun ini merupakan awal yang baik, perubahan lahiriah semata tidaklah cukup bila tidak dibarengi dengan perubahan batiniah.
Wahai Akhwat, Hijrah sejati adalah hijrah hati. Hijrah dari cinta kepada dunia menuju cinta kepada Allah. Hijrah dari penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan kepada Sang Khalik. Hijrah dari takut kepada manusia menuju rasa takut dan pengharapan hanya kepada-Nya. Allah ﷻ berfirman:
فَفِرُّوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۖ
“Maka berlarilah kalian menuju Allah.” (QS. adz-Dzariyat: 50)
Ayat ini mengajarkan pada kita bahwa keselamatan bukanlah dengan menjauh dari Allah, melainkan dengan kembali kepada-Nya. Keberhasilan hijrah bukan semata dilihat dari panjang jilbab atau seberapa rajin kita mengikuti majelis ilmu. Karena ukuran hijrah itu bukan di mata manusia, tapi di hadapan Allah ﷻ.
Sehingga perlu ditanyakan pada diri kita sendiri: Apakah hati kita semakin dekat kepada Allah? Apakah maksiat semakin kita tinggalkan? Apakah ibadah dan amal saleh semakin kita jaga dengan istiqamah?
Wahai Akhwat. Penampilan bisa diubah dalam semalam, tapi keteguhan taat kepada Allah ﷻ membutuhkan hati yang bersih, kuat, dan terus dibina. Hijrah yang hanya karena tren akan mudah pudar. memperbaiki hati bukan pilihan, ia adalah keharusan bagi siapa saja yang ingin hijrah dengan benar dan bertahan. Hijrah bukan akhir dari perjalanan, tapi awal dari perjuangan menuju kehidupan yang lebih baik di dunia saat ini dan di akhirat nanti.
Penutup. Fenomena hijrah di kalangan akhwat adalah harapan sekaligus tantangan. Harapan, karena tumbuhnya kesadaran spiritual. Tantangan, karena mudahnya hijrah dijadikan sebuah tren yang hanya menyentuh permukaan. Maka, marilah kita hijrah tidak sekadar karena lingkungan, tapi betul-betul karena dorongan iman. Bukan untuk dilihat orang, tapi untuk dicintai oleh Allah ﷻ. Hijrah bukan tentang tampil berbeda, tapi tentang menjadi pribadi yang lebih baik—di mata Allah. Wallāhu Aʿlam
BACA JUGA: Perempuan Didiskriminasi (?)
Abdulloh AG | Istinbat
[1] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitāb al-Īmān, (Bāb al-Muslim man salima al-muslimūn min lisānihi wa yadih), I/10
[2] Umar bin Ali bin Ahmad al-Anshari asy-Syafi’i (Ibnu al-Mulaqqin), Kitab At-Taudhîh lil-Jâmi‘ Ash-Shahîh, IX/529, shamela.ws(https://shamela.ws/book/13252/17922#p1)
[3] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitābul-iman (Faḍhli man istabraʾa lidīnihi), I/50. Imam Muslim bin Hajjaj bin muslim, Shahih Muslim, Kitāb al-Buyūʿ( Bābu Akhdzil-Ḥalāli wa Tarkisy-Syubuhāt ), V/1599.

