+62 Korban Pencitraan
Pencitraan adalah usaha untuk membentuk citra atau kesan tertentu terhadap sesuatu, bisa seseorang, kelompok, produk, atau institusi di mata publik. Di dunia politik, pencitraan digunakan sebagai alat untuk menarik simpati, membangun citra positif, atau bahkan menciptakan gambaran ideal yang tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan. Dalam hal ini, pencitraan bisa menjadi sarana yang efektif untuk mempengaruhi pemilih, namun, ia juga dapat menyembunyikan realitas dan menghasilkan ketidakjujuran yang merugikan masyarakat.
Fenomena pencitraan bukanlah hal baru dalam dunia politik. Sejak dulu, setiap pemimpin, baik dalam tradisi politik maupun sosial, sadar atau tidak, selalu melibatkan pencitraan dalam kepemimpinannya. Namun, masalah besar muncul ketika “Yang tampak” dianggap sebagai “Yang nyata”. Dalam praktik politik modern, khususnya di negara demokrasi, pencitraan seringkali lebih dilihat daripada substansi atau rekam jejak seorang pemimpin. Pencitraan yang dilakukan politisi tidak lebih dari sekadar sarana untuk meraih kekuasaan, bukan untuk menunjukkan integritas atau komitmen terhadap perubahan nyata. Dalam hal ini, pencitraan dapat berfungsi untuk membentuk opini publik, namun dalam waktu yang bersamaan, ia dapat menutupi kebenaran dan merusak kepercayaan masyarakat jika hanya berlandaskan kepentingan pribadi atau politik.
Dalam pandangan Islam, pencitraan yang manipulatif tidak memiliki tempat di kehidupan seorang Muslim, terlebih dalam posisi kepemimpinan. Islam mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus memimpin dengan hati yang tulus dan tidak memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri. Nabi Muhammad sendiri menegur sahabat yang berambisi untuk memegang jabatan atau kekuasaan. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah berpesan kepada Abdurrahman bin Samurah:
“Janganlah engkau meminta jabatan. Sebab, jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk melaksanakannya. Tetapi, jika engkau diberi kekuasaan karena permintaanmu, maka engkau akan dipalingkan dari pertolongan Allah.”
Hadis ini mengingatkan bahwa kepemimpinan dalam Islam bukanlah sesuatu yang dicari atau diminta demi keuntungan pribadi, melainkan amanah yang diberikan oleh Allah untuk menjalankan tanggung jawab yang besar terhadap umat. Pencitraan dalam Islam bukan sekadar tampilan luar untuk meraih tujuan duniawi, melainkan sebuah konsistensi antara ucapan, perbuatan, dan niat yang tulus dalam mengemban amanah.
BACA JUGA: Menunda Menikah Karena Fokus Belajar
Pencitraan yang baik dalam Islam seharusnya mencerminkan integritas, kesederhanaan, dan kebenaran, bukan sekadar membangun citra kosong yang menipu. Nabi Muhammad adalah contoh utama dalam hal ini. Beliau tidak hanya berbicara tentang nilai-nilai moral dan keadilan, tetapi juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan rumah tangga, kepemimpinan, dan dalam segala aspek lainnya, Rasulullah menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati adalah yang dilandasi oleh akhlak yang mulia, kejujuran, dan niat yang tulus untuk mencari ridha Allah, bukan sekadar pencitraan untuk meraih popularitas atau kekuasaan.
Namun, dalam ranah politik, pencitraan menjadi bagian yang tidak terhindarkan. Sistem demokrasi menuntut politisi untuk memperkenalkan diri kepada publik. Politisi yang terlibat dalam pemilu atau kampanye biasanya akan menonjolkan sisi tertentu dari diri mereka—baik itu kesederhanaan, ketegasan, atau bahkan religiusitas—untuk menarik simpati publik. Misalnya, Presiden Joko Widodo terkenal dengan citra dirinya yang sederhana, merakyat, dan anti-korupsi. Gaya kepemimpinan yang merakyat, seperti tampil dengan pakaian sederhana atau mengunjungi pasar-pasar, telah menjadi bagian dari pencitraannya yang efektif dalam membangun kedekatan dengan rakyat.
Namun, pencitraan dalam politik bukan tanpa dampak negatif. Ketika citra yang dibangun hanya sebatas ilusi tanpa didukung oleh kebijakan nyata, maka masyarakat akan kecewa. Misalnya, seorang politisi yang memperkenalkan dirinya sebagai pejuang rakyat namun setelah terpilih tidak melakukan kebijakan yang mendukung kesejahteraan rakyat, akan kehilangan kredibilitasnya. Hal ini merupakan bentuk pencitraan negatif yang bisa merusak kepercayaan publik terhadap pemimpinnya. Sifat munafik, yang menurut Islam merupakan ketidaksesuaian antara penampilan luar dan kenyataan dalam diri seseorang, sangat mirip dengan pencitraan negatif dalam politik. Politisi yang menggunakan pencitraan untuk meraih kekuasaan tanpa ada niat yang tulus untuk memperbaiki kondisi masyarakat akan jatuh pada perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Di sisi lain, dalam demokrasi, pencitraan juga tidak bisa dihindari. Pemilu sering dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti media sosial, uang, dan kampanye yang kerap kali menonjolkan citra atau narasi tertentu. Kondisi ini memaksa politisi untuk aktif menciptakan citra diri yang dapat mempengaruhi publik. Media sosial, khususnya, memiliki peran besar dalam membentuk citra politisi. Banyak politisi yang memanfaatkan platform medsos untuk membagikan momen pribadi mereka, menunjukkan empati terhadap isu-isu tertentu, atau bahkan berbicara tentang nilai-nilai keagamaan. Hal ini memberi kesan bahwa mereka lebih “manusiawi” atau dekat dengan rakyat.
Mirisnya, banyak Masyarakat yang menjadi korban pencitraan, terutama bagi masyarakat yang kurang teredukasi dalam literasi politik dan media. Banyak pemilih yang lebih terpengaruh oleh uang, tampilan atau narasi yang dibangun oleh politisi. Mereka tertipu dengan kenikmatan sesaat dan tidak memikirkan resiko dari Keputusan yang bersifat jangka panjang. Fenomena ini disebabkan oleh kurangnya akses informasi yang akurat atau pemahaman yang mendalam tentang politik, yang membuat masyarakat mudah terperdaya oleh pencitraan. Untuk itu, dibutuhkan upaya yang lebih besar dalam hal pendidikan politik dan literasi media agar masyarakat dapat membaca pencitraan dengan lebih kritis dan tidak hanya memilih berdasarkan citra semata.
Walhasil, pencitraan dalam politik, meskipun tak bisa dihindari, harus tetap dilandasi oleh nilai-nilai kejujuran dan integritas. Dalam perspektif Islam, pencitraan bukanlah tentang menampilkan diri dengan cara yang menipu, melainkan tentang konsistensi antara kata, perbuatan, dan niat yang tulus. Pencitraan yang menipu, baik di dunia politik maupun dalam kehidupan sehari-hari, hanya akan mengarah pada ketidakpercayaan dan kekecewaan publik. Di sisi lain, dalam demokrasi, pencitraan menjadi bagian dari strategi komunikasi yang sah, namun tetap harus diimbangi dengan kebijakan nyata dan komitmen untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk membangun kesadaran politik yang lebih mendalam, meningkatkan literasi media, serta memperkuat partisipasi masyarakat agar dapat menilai pemimpin berdasarkan integritas dan kebijakan yang nyata.
BACA JUGA: DR. Said Ramadhan Al-Buthi; Lentera Umat Islam dari Bumi Syam
SYAFIQ/ISTINBAT

