KICAUAN MERESAHKAN TENTANG HABAIB

Mencintai dzurriyah Nabi Muhammad merupakan salah satu cara untuk membuktikan cinta pada Nabi. Betapa banyak orang yang mengaku cinta pada Nabi Muhammad, tapi tidak menyisihkan ruang di hatinya untuk menanamkan rasa cinta pada dzurriyah keksaihnya. Dalam kitab Asy-Syifa Imam Qadhi Iyadh berkata;

مَعْرِفَةُ آلِ مُحَمَّدٍ بَرَائَةٌ مِنَ النَّارِ[1]

Artinya: “Mengetahui keluarga Nabi Muhammad merupakan jaminan selamat dari api neraka”.

Mengetahui keluarga Nabi berarti mengetahui kedudukan mereka di sisi Nabi. Orang yang mengetahui betapa mulia kedudukan tersebut pasti memuliakan mereka dengan tujuan memuliakan kakek moyang mereka. Sebaliknya, orang yang tidak mengetahui kedudukan mereka di sisi Nabi, tentu akan menyepelekan mereka dan memandang mereka sebelah mata. Itulah salah satu penyebab tergelincirnya hingga ia terperosot ke dalam api neraka.

Akhir-akhir ini, halaman Twitter sempat dipenuhi celotehan yang tidak pantas ditujukan pada para habaib. Sebagaimana kicauan akun Islah Bahrawi Official. Berikut kutipannya;

“Saya hanya hormat kepada habaib yang asli itupun kalau mewarisi akhlak Rasulullah. Kalau palsu, apalagi lagaknya udah kayak preman, saya anggap dia seperti preman pada umumnya yg membajak jubah2 Habaib saja. Bagi saya mas, semua manusia keturunan siapapun, dilahirkan dengan harga diri yg sama. Ini prinsip saya!

Takut kualat? Yang bisa bikin kualat itu penghinaan kepada akhlak Rasulullah, mas. Bukan karena keturunannya. Meski bukan Habib, tapi akhlaknya mewarisi Rasulullah, seseorang juga bisa bikin kualat mas. Meski Habib, tapi kelakuannya tidak mewarisi akhlak Rasulullah, justru dia yg akan mendapat kualat dari Rasulullah.

Beragama itu juga perlu rasionalitas berfikir mas. Kalau ndak pake akal, kita akan seterusnya membabi buta menjilat kaki para “preman” pembajak jubah-jubah agama. Ini prinsip saya mas. Silakan anda beda. Itu hak anda.”

Dari ungkapan di atas, sudah tertera jelas bahwa si pemilik akun ingin menyamakan dzurriyah Nabi Muhammad dengan keturunan manusia pada umumnya. Padahal secara logika atau naluri yang jernih, kita akan menampakkan sikap yang tidak sama antara menanggapi keturunan orang yang kita tokohkan, seperti kiyai dan saat menghadapi anak teman kita sendiri. Lalu bagaimana dengan keturunan sekelas Nabi Muhammad, bukankah seharusnya kita lebih mengistimewakannya melebihi putra tokoh kita?!

Keistimewaan orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan Rasulullah tidak dapat kita pungkiri. Bila Sayidina Abdullah bin Zubair bin Awwam dimuliakan oleh Allah dengan meminum darah Rasulullah. Lantas bagaimana dengan para habaib yang memang memiliki tetesan darah mulia Rasulullah di dalam tubuh mereka. Allah berfirman:

إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْس أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرُكُمْ تًطْهِيْرًا

Artinya: “Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlu bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”  (QS Al-Ahzab: 33)

 Allah juga memerintahkan kita agar mencintai kerabat Rasulullah, sebagaimana dalam firman-Nya;

قل لا أسئلكم عليه أجرا إلا المودة في القربى

Artinya: “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku kecuali cinta pada para kerabat”  (QS Asy-Syura: 23)

Sahabat Sa’id bin Jubair menegaskan bahwa yang dimaksud dengan al-qurba dalam ayat di atas adalah para kerabat Nabi Muhammad[2]. Sementara salah satu bentuk ungkapan rasa cinta adalah dengan menghormati dan mengasihi bukan menyakiti atau bahkan memusuhi.

Rasulullah menjamin dua hal bagi orang yang mencintai dan memuliakan keturunan-Nya, syafa’at dan keteguhan saat melewati shirath (jembatan di atas neraka). Diriwayatkan oleh Sayidina Ali radhiyallahu anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda;

أربعة أنا لهم شفيع يوم القيامة المكرم لذريتي والقاضي لهم حوائجهم والساعي لهم أمورهم عندما اضطروا والمحب لهم بقلبه ولسانه )رواه الديلمي([3]

Artinya: “Empat orang yang aku beri syafa’at kelak di hari kiamat, orang yang memuliakan dzurriyahku, yang menunaikan kebutuhan-kebutuhan mereka, yang berusaha untuk mereka saat mereka butuh dan orang yang mencintai mereka dengan sepenuh hati dan lisan” (H.R Ad-Dailami)

Dari Riwayat yang sama, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda;

أثبتكم على الصراط أشدكم حبا لأهل بيتي وأصحابي )رواه الديلمي([4]

Artinya: “Orang yang paling teguh di antara kalian di atas shirath adalah orang yang paling cinta pada ahlu bait dan para sahabatku.” (H.R Ad-Dailami)

Sebaliknya, Allah begitu murka pada orang yang menyakiti Rasulullah dengan cara menyakiti dzurriyah-Nya. Sebagaimana keterangan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh imam Ath-Thabrani dalam kitabnya yang bertajuk Dzakha’ir al-Uqba;

عن علي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال اشتد غضب الله تعالى وغضب رسوله وغضب ملائكته على من أراق دم نبي أو آذاه في عترته )رواه الطبراني([5]

Artinya: “Diriwayatkan dari sayidina Ali radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: begitu besar murka Allah, utusan serta para malaikat-Nya pada orang yang mengalirkan darah (membunuh) nabi dan yang menyakiti-Nya sebab (menyakiti) keturunanya (H.R Ath-Thabrani)”

          Lalu apa yang harus kita lakukan, bila menjumpai dzurriyah Rasulullah yang memiliki perangai buruk atau melakukan hal yang menyalahi syari’at yang dibawa oleh kakek moyang mereka? Kewajiban kita adalah menegur mereka tanpa merendahkan. Habib Abdullah bin Umar bin Yahya berkata; “Tergolong cinta pada ahlu bait yang paling utama dan membuat nabi Muhammad senang adalah mengarahkan mereka pada keta’atan dan meninggalkan kemaksiatan”[6] Mereka ibarat mutiara yang berlumuran kotoran yang tetap berharga meski harus dicuci terlebih dahulu saat hendak dimanfaatkan.

Oleh : Irfan Maulana Ramadani


Referensi :

[1] Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Ta’rifi HuquqiI -Mushthafa, hal: 65

[2] Ibnu Hajar Al-Haitami, Ihya’u al-Mait bi Fadhai’ili Ahli Bait. Hal: 71

[3] Ad-Dailami, Musnad Ad-Dailami. Hal: 92

[4] Ad-Dailami, Musnad Ad-Dailami. Hal: 92

[5] Ath-Thabrani, Dzakha’ir al-Uqba. Hal: 83

[6] Usman bin Abdillah Bin Aqil Bin Yahya, Mir’atul Haq wal Inshaf fi Huquqis Sadat al-Asyraf. Hal: 57

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *