MENOLAK FATWA HASAN ALI FADHLULLAH

Menanggapi beredarnya fatwa dari salah satu ulama Timur Tengah Hasan Ali Fadhlullah, yang memperbolehkan memandang para wanita yang sedang telanjang, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitabnya:

Seandainya para wanita telah terbiasa keluar rumah dengan pakaian pantai, maka boleh melihat mereka dengan kondisi seperti ini. Termasuk bagian ini adalah bolehnya melihat aurat ketika disingkap sendiri oleh wanita tersebut sebagaimana yang terdapat di klub-klub malam, di pinggir pantai di sebagian negara atau semisal itu.”[1]

            Fatwa di atas jelas merupakan fatwa yang sangat rusak. Sebab larangan melihat perempuan ajnabiyah terutama di bagian aurat jelas sekali hukum haramya, sebagaimana yang diutarakan oleh  Ibrahim Al-Bajuri dalam kitabnya Hasyiyah Al-Bajuri :

يحرم النظر إلى شيئ من إمرأة أجنبية, اي : غير محرم ولو أمة وشمل ذلك وجهها وكفيها فيحرم النظر اليهما ولو من غير شهوة او خوف فتنة على الصحيح كما في المنهاج وغيره

“Haram melihat bagian tubuh perempuan ajnabiyah sekalipun seorang budak perempuan, dan keharaman tersebut juga berlaku pada wajah dan kedua telapak tangan sekalipun tanpa rasa syahwat atau takut fitnah menurut pendapat yang shahih.[2]

 Bahkan dalam kitab Al-Bayan fi Madzhabil Imam asy-Syafi’i karangan Abi al-Khair Yahya al-Yamani, beliau berpendapat:

اذا اراد الرجلان ينظر الى امرأة اجنبية منه من غير سبب فلا يجوز له ذلك لا الى العورة ولا الى غير العورة

“Ketika seorang laki-laki menginginkan untuk melihat seorang perempuan ajnabiyah dengan tanpa alasan, baik menginginkan untuk melihat aurat atau selain aurat, maka tidak diperbolehkan” [3]

            Dari pemaparan di atas, jelas sekali keharaman melihat lawan jenis lebih-lebih aurat ajnabiyah.

Sementara perkataan yang disampaikan oleh Hasan Ali Fadhlullah, yang mengatakan bahwasannya, “Termasuk kebolehan melihat aurat ajnabiyah adalah, ketika si perempuan membuka auratnya sendiri dengan sukarela sebagaimana yang ada di pantai atau klub-klub malam” adalah pernyataan yang sangat rusak, karena hukum bolehnya melihat aurat ajnabiyah hanya tertentu ketika memang ada sebab yang diperbolehkan oleh syariat, seperti jual beli, berobat yang memang mengharuskan untuk melihat aurat untuk proses pengobatan, melamar seorang perempuan dan belajar mengajar ilmu syariat ketika guru membutuhkan tatap muka dengan murid untuk pemahaman pelajaran, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Imam Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi al-Kabir:

فصل : [ القول في حالات جواز النظر إلى الأجنبية ] فإذا تقرر ما ذكرنا لم يخل نظر الرجل الأجنبي إلى المرأة الأجنبية من أحد أمرين : إما أن يكون لسبب أو لغير سبب ، فإن كان لغير سبب منع منه لقوله تعالى : قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم [ النور : 31 ] ، ومنعت من النظر إليه لقوله تعالى : وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن [ النور : 31 ] ، ولأن نظر كل واحد منهما إلى صاحبه داعية إلى الافتتان به روي أن النبي {صلى الله عليه وسلم} صرف وجه الفضل بن العباس وكان رديفه بمنى عن النظر إلى الخثعمية ، وكانت ذات جمال ، وقال : شاب وشابة ، وأخاف أن يدخل الشيطان بينهما .فإن نظر كل واحد منهما إلى عورة صاحبه كان حراما ، وإن نظر إلى غير العورة كان مكروها .فإن كان النظر لسبب فضربان : محظور ومباح ، فالمحظور كالنظر بمعصية وفجور ، فهو أغلظ تحريما ، وأشد مأثما من النظر بغير سبب ، والمباح على ثلاثة أقسام النظر المباح إلى المرأة الأجنبية :

أحدها : أن يكون لضرورة كالطبيب يعالج موضعا من جسد المرأة النظر المباح إلى المرأة الأجنبية ، فيجوز أن ينظر إلى ما دعت الحاجة إلى علاجه من عورة وغيرها ، إذا أمن الافتتان بها ، ولا يتعدى بنظره إلى ما لا يحتاج إلى علاجه .

والقسم الثاني : أن يكون لتحمل شهادة أو حدوث معاملة ، فيجوز أن يعمد النظر إلى وجهها دون كفيها نظر الرجل إلى المرأة الأجنبية عند تحمل شهادة أو حدوث معاملة : لأنه إن كان شاهدا فليعرفها في تحمل الشهادة عنها ، وفي أدائها عليها ، وإن كان مبايعا فليعرف من يعاقده .

والقسم الثالث : أن يريد خطبتها فهو الذي جوزنا له تعمد النظر إلى وجهها وكفيها بإذنها وغير إذنها ، ولا يتجاوز النظر إلى ما سوى ذلك من جسدها ، وبالله التوفيق .

Kemudian dalam kitab Fathul Allam:

يجوز بلا شهوة ولا خوف فتنة نظر وجه المراة عند تعليمها ما يجيب تعلمه كالفاتحة واقل التشهد وما يتعين فيه ذالك من الصنائع المحتاج اليها ويشترط لجواز ذالك كما نقل عن التحفة والنهاية فقد جنس ومحرم صالح وتعذره من وراء حجاب ووجود مانع خلوة والمعتمد عند الرملي والخاطب انه يجوز النظر عند تعليم مايسن ايضا كالسورة

          Dari dua redaksi di atas dapat dipahami bahwasannya melihat perempuan ajnabiah adakalanya karena ada sebab atau tidak. Jika tidak ada sebab maka hukum melihatnya tidak diperbolehkan, sedangkan jika ada sebab maka ada pemerincian hukum. Berhukum haram jika melihat dengan tujuan maksiat dan berhukum mubah jika terjadi pada tiga kondisi:

  1. menarik pada kondisi dharurat seperti seorang dokter laki-laki yang menangani pasien perempuan dan membutuhkan untuk melihat terhadap aurat si perempuan, dengan catatan aman dari fitnah dan hanya melihat pada sekadar hajat yang dibutuhkan.
  2. Ketika dalam kasus persaksian dan jual beli.
  3. Ketika hendak melamar seorang perempuan[4].
  4. Ketika dalam proses belajar mengajar, dan ilmu yang diajarkan adalah ilmu yang wajib atau sunah untuk diketahui[5].

Dari semua pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya pendapat Hasan Ali Fadhlullah yang mengatakan bahwasannya, “Bolehnya melihat aurat perempuan ajnabiyah ketika memang si perempuan sukarela untuk membuka auratnya, dikarenakan menyingkapnya sendiri seorang perempuan pada auratnya, termasuk hal yang diperbolehkan untuk dilihat” merupakan pendapat yang sangat keliru karena legalitas seorang lelaki melihat aurat perempuan adalah meninjau terhadap sebabnya terlebih dahulu sebagaimana pemaparan kami di muka.

Oleh: Khoiron Rofik


[1] Hasan Ali Fadhlullah Kitabun Nikah,  I/66.

[2] Al-Bajuri, Ibrahim, Hasyiyah Al-Bajuri, II/105.

[3] Abil Khair, Yahya al-Yamani, al-Bayan fii Madzhabil Imam asy-Syafi’I, IX/125.

[4] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir lil Mawardi, IX/79.

[5] Syaikh Muhammad al-Jurdani, Fathul ‘Allam, II/155.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *