Balahghah dari Masa ke Masa

Berbicara mengenai sastra Arab, pasti tak akan jauh dengan ilmu Balaghah. Ilmu ini menjadi dasar yang harus dikuasai oleh penyair Arab jika ingin menghasilkan syair yang indah dan mempunyai kedalaman makna. Ilmu Balaghah mempunyai tiga cabang pembahasan, yaitu lmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’. Oleh sebab itu, ilmu ini tidak hanya membincangkan keindahan lafal, susunan kalimat, melainkan juga kandungan dan pemaknaan yang kuat pada keduanya.

Seiring berjalanya waktu, ilmu Balaghah selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa baik dari segi pengajarannya yang lebih mudah, cakupan materi yang lebih luas, hasil penerapan dari ilmu itu sendiri yang memuaskan, atau bahkan munculnya ilmu baru dari ilmu yang telah ada.

Dahulu, orang-orang Arab Jahiliah (pra turunnya al-Quran) dikenal sebagai orang yang mumpuni dalam bidang sastra. Mereka dapat menciptakan puisi-puisi dengan bahasa yang sangat mempesona, seperti Imru’ul-Qais, Tarafah, Zuhair bin Abi Salma, Labid, ‘Antarah Ibn Syaddad, ‘Amr ibn Kultsum, dan Harits ibn Hilliza. Mereka adalah tokoh-tokoh penyair Jahiliah yang  tidak diragukan lagi kepiawaianya dalam menyusun syair. Hal itu bisa dibuktikan lewat karya-karya mereka yang digantung di Ka’bah. Di kemudian hari, karya-karya itu dikenal dengan istilah al-Muallaqat.

Perkembangan kesusastraan Arab pada era Jahiliah diawali oleh adanya perkembangan berbagai bentuk sastra, baik berupa prosa ataupun puisi yang dikembangkan oleh masyarakat Arab pada masa itu. Perkembangan itu didukung dengan adanya kegiatan setiap musim haji yang berupa perlombaan pidato dan pembacaan syair yang dilaksanakan di berbagai pusat kegiatan pada waktu itu, seperti di pasar Ukazh. Adanya kegiatan semacam ini memberi peluang bagi para penyair kala itu untuk dapat mengembangkan karya-karya mereka baik dalam segi bahasa, dengan ungkapan-ungkapan yang menarik dan indah, maupun kandungan maknanya.1 Ahmad Thib Raya pun mengutip pernyataan Syauqi Dhief yang menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliah tersebut telah mencapai tingkat tinggi dalam menggunakan Balaghah dan Bayan.

Begitu pula pada masa pasca turunnya al-Quran, keberadaan Ilmu Balaghah sudah semakin berkembang. Keindahan dan kelembutan dalam bahasa adalah pokok kajian yang tak ada habisnya untuk selalu diperbincangkan oleh ulama Balaghah. Hal itu bertujuan melahirkan penyair- penyair baru yang potensial dan menambah kepustakaan sastra, apalagi dengan adanya al-Quran yang menjadi sumber utama untuk mewujudkan hal tersebut.

Sebagai mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad, al-Quran juga menjadi sumber inspirasi pertama dalam melahirkan keindahan dan kelembutan berbahasa.2 Bagi penyair dan penulis prosa, al-Quran dijadikan rujukan vital untuk dijadikan sebuah karangan sastranya. Aspek Balaghah yang ada di dalamnya diakui oleh mereka sebagai puncak Balaghah yang tidak ada seorang manusia pun yang mampu membuat ungkapan-ungkapan yang serupa dengan al-Quran. Hal ini karena al-Quran adalah kalam Ilahi yang memiliki i’jaz dan syair-syair hanyalah ciptaan makhluk-Nya

Dari sini, Ilmu Balaghah terus mengalami perkembangan dengan semakin banyaknya para ulama yang mengarang kajian-kajian ilmiah mengenainya, seperti kitab Majazul Quran yang dikarang oleh Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208), dan Mur Al-Khalil (w. 170 H) yang pertama kali menjelaskan tentang ilmu Bayan. Sedangkan dalam ilmu Ma’ani tidak diketahui pasti siapa orang pertama kali yang menyusun dalam sebuah karangan kitab. Namun, ilmu Ma’ani ini sering dijadikan bahan pembicaraan para ulama, terutama Al-Jahiz (w. 255 H) dalam kitabnya, I’jazul Quran. Sedangkan orang yang dianggap sebagi pelopor ilmu Badi’ ialah Abdullah Ibn al-Mu’tazi (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far, keduanya adalah penyusun kitab mengenai Ilmu Badi’ pada masa awal.3

Setelah masa-masa ulama di atas, perkembangan ilmu Balaghah masih tidak terhenti. Masih banyak ulama yang terus mengembangkan disiplin Ilmu Balaghah dengan semakin utuhnya kajian-kajian yang ada di dalamnya. Misalnya, Imam Abdul Qadir al-Jurjani, pengarang kitab Asrarul Balaghah dan I’jazul Quran. Kemudian disusul dengan Imam As-Sakaki yang menyusun sebuah karangan besar dalam pembahasan ilmu Balaghah disertai juga ilmu-ilmu bahasa Arab yang dikenal dengan Miftahul Ulum.

Sedangkan pembagian ilmu Balaghah ke dalam tiga istilah (ilmu Ma’ani, Bayan, Badi’) seperti yang dikenal sekarang, merupakan hasil karya yang dilakukan oleh al-Khatib al-Qazwaini (w. 729 H) pada abad ke-7 H, dengan kitabnya yang berjudul Talkhisul Miftah yang merupakan ringkasan dari kitab Miftahul Ulum milik As-Sakaki.

Begitulah seterusnya hingga saat ini, Ilmu Balaghah terus berkembang atas penuangan pikiran ulama Balaghah hingga menjadi disiplin ilmu yang digunakan di pesantren, dan bahkan di perguruan tinggi Islam untuk dijadikan mata pelajaran ketika membahas tentang  sastra Arab.

Oleh: M. Zainul Arifin


Referensi:

  1. Thib Raya, Rasionalitas Bahasa al-Quran, Jakarta: Fikra, 2006, hal. 35
  2. George A. Makdisi, Cita Humanisme, terj, A. Syamsu Rizal & Nur Hidayah, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005, hal. 228
  3. Ahmad al-Hasyimi, Jawahirul Balaghah, Kairo: Muassasah al-Mukhtar, hal. 05

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *