Hak Cipta dan Relasi Kebijakan Pemerintah
Membahas “Hak Cipta” sebenarnya bukan pembahasan yang baru. Kebijakan penjagaan sebuah karya dalam negara kita sudah sampai pada titik kesepakatan. Hukum hak cipta secara internasional pernah diatur dalam konvensi Berne, Konvensi Roma, Perjanjian Hak Cipta WIPO, Perjanjian Pertunjukan dan Fonogram WIPO, dan Fair Access to Science and Technology Research Act of 2015. Hak cipta di Indonesia resmi diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia no. 28 tahun 2014 tentang hak cipta yang dikeluarkan pada tanggal 16 oktober 2014.
Hak cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang memiliki ruang lingkup objek dilindungi paling luas, mencakup ilmu pengetahuan, seni, dan sastra (art and literary) yang di dalamnya mencakup pula program komputer. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengharuskan adanya aturan Undang-Undang Hak Cipta, mengingat Hak Cipta menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif nasional. Dengan Undang-Undang Hak Cipta yang memenuhi unsur pelindungan dan pengembangan ekonomi kreatif ini maka diharapkan kontribusi sektor Hak Cipta dan Hak Terkait bagi perekonomian negara dapat lebih optimal.
Fungsi di balik Hak cipta menghargai suatu karya dan mendorong pencipta karya tersebut untuk menghasilkan karya baru. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan hukum Hak Cipta adalah melindungi hak eksklusif, hak moral, dan ekonomi bagi pencipta karya. Secara umum, perlindungan yang dibidik dalam aturan Hak Cipta mencakup tiga macam hak. Pertama, Hak Eksklusif. Hak eksklusif berarti siapa pun yang ingin menggunakan, menyalin, memperbanyak, dan menjual suatu karya cipta harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pembuatnya. Kedua, Hak moral. Walaupun karya tersebut telah dibeli, pembeli harus tetap mencantumkan nama pembuat karya. Hak moral membuat karya akan selalu lekat dengan siapa pembuatnya. Ketiga, Hak ekonomi. Berarti pembuat karya berhak mendapatkan imbalan ekonomi dari pihak-pihak yang menggunakan karyanya.
Secara fikih, kita berhak menyalin atau meng-copy-paste sebuah karya. Kebebasan penyalinan suatu teks atau redaksi, baik sebagian atau keseluruhan itu dilegalkan.1 Kelegalan ini tentunya dibatasi dengan tidak adanya sebuah kebohongan dan perampasan hak (ghasab). Oleh karena itu, pihak yang mengutip sebuah redaksi karya orang lain tidak diperkenankan untuk mengakui bahwa teks tersebut merupakan hasil tulisannya atau karyanya. Karena jika ini dilakukan akan menjerumuskan dirinya dalam hukum pendustaan. Selain itu, pihak yang mengutip tidak diperkenankan merubah redaksi yang ia kutip dengan merubah substansinya. Aturan ini muncul untuk mengantisipasi terjadinya sebuah distorsi. Dalam kelegalan ini juga dipertimbangkan privasi penulis. Dalam artian, jika kutipan yang ia tukil merupakan karya tulis yang bersifat privasi, siapapun tetap dilarang untuk menukil dan mempublikasikannya demi menjaga hak privasi penulis.2 Perincian hukum ini tanpa memandang aturan Undang-Undang Negara.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan, bahwa Indonesia juga merealisasikan perlindungan hak cipta dengan UU RI no.28 tahun 2014 demi melindungi tiga hak di atas. Tentunya, kebijakan pemerintah harus sesuai dengan kemaslahatan. Jika kebijakan pemerintah tidak berdasarkan kemaslahatan, maka kebijakan itu tidak dianggap sebagai kebijakan yang sah.
Kepatuhan rakyat terhadap pemerintah perlu meninjau kebijakan yang ada. Tidak sedikit pemerintah menginstruksikan rakyatnya untuk melaksanakan kebijakan yang sama sekali tidak ada dampak positif bagi masyarakat. Namun, bukan berarti ketika pemerintah memberikan kebijakan yang tidak ada maslahah secara menyeluruh, rakyat semena-mena diperbolehkan untuk melanggar aturan itu. Imam Ibnu Hajar dalam karyanya Tuhfatut Muhtaj mewajibkan rakyat untuk tunduk pada kebijakan pemerintah meskipun tidak ada maslahat yang menyeluruh. Namun kewajiban ini hanya sebatas zahirnya saja. Dalam artian, jika rakyat tidak mematuhi aturan tersebut, rakyat tidak akan tertimpa dosa. Pandangan ini bertentangan dengan pendapat Imam Ramli. Menurut beliau, kebijakan pemerintah yang tidak ada kemaslahatan menyeluruh tidak wajib ditaati oleh rakyat, baik secara zahir maupun batin. Letak perbedaan pendapat ini hanya dalam kasus kebijakan yang tidak ada nilai positif untuk mayoritas rakyat.
Tentunya jika kebijakan itu ada nilai positif yang menyeluruh, Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli sepakat dalam menggaungkan kewajiban rakyat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Imam Abdullah bin Hijazi as-Syarqawi menyimpulkan sebagaimana berikut; Wajib mentaati perintah pemimpin secara zahir dan batin dalam ranah perintah yang tidak diharamkan syariat. Jika pemimpin memerintah sebuah perkara yang wajib menurut syariat, seperti menyambung sanak-saudara, maka kewajiban itu menjadi sangat wajib. Jika perintah itu mengarah pada amaliyah sunah, maka kesunahan itu menjadi wajib. Dan jika pemerintah memberikan sebuah kebijakan yang mubah menurut syariat dan mengandung kemaslahatan umum, maka kebijakan itu juga menjadi wajib.3 Pastinya, kata wajib yang diarahkan oleh Imam as-Syarqawi ini mengarah pada wajib zahir dan batin. Dalam artian jika rakyat tidak mematuhi kebijakan pemerintah, maka rakyat akan mendapat dosa.
Dari pemaparan di atas, bisa disimpulkan; UU no. 28 tahun 2014 yang berkaitan dengan hak cipta harus dipatuhi oleh masyarakat menimbang kemaslahatan umum yang dicakup dalam undang-undang tersebut nyata adanya.4 Namun jika dalam suatu keadaan undang-undang itu tidak memberikan nilai positif, maka mengikuti perincian sebagaimana yang sudah disebutkan. Wallahua’lam
Oleh: Hasanuddin Syafii | IstinbaT
Refrensi:
- Jamaluddin bin Muhammad bin Abdurrahman bin Hasan bin Abdal Bary al-Ahdal, Umdatul Mufti wal Mustafti, Darul Minhaj, I/345
- Al-Maqdisi, Abdullah Muhammad bin Muflih, Al-Adab as-Syariyah, Beirut, Muassasatur Risalah, II/160
- Ba Alawi al-Masyhur, Sayid Abdurrahman bin Muhamad bin Husain, Beirut, Dki, 91
- As-Syathiri, Sayid Muhammad bin Ahmad, Syarhul-Yaqut an-Nafis, Darul Minhaj, 436