TRANSFORMASI PESANTREN

Istiqomah Dalam Jalur Prinsip

Pesantren memiliki khas tersendiri dalam pola hubungan, baik dalam hal sosial antar sesama santri, santri dengan kiai, dan satu pesantren dengan pesantren yang lain. Dalam dunia pendidikan pesantren, dikenal sistem bandongan dan sorogan. Keduanya adalah warisan turun-temurun sejak awal kemunculannya, bahkan sejak Islam berdiri tegak.

Selain itu semua, pesantren mempunyai wadah yang jamak dikenal dengan ‘Bahtsul Masa’il’ (BM). BM adalah perkumpulan untuk membahas persoalan-persaolan kontemporer yang berkembang di masyarakat yang tidak terakomodir dalam Kutubut Turots. Dengan artian BM ditujukanuntuk mencarikan jawaban dan solusi isu-isu kontemporer seputar agama, sosial, teologi dan politik.

Namun, dalam perjalanannya, pemabahasan berkutat seputar fikih. Sangat jarang ditemukan musyawarah atau kajian seputar Akidah, Sejarah, Tafsir, Hadis, Faraidh, Falak dan lain sebagainya. Padahal dalam sejarahnya, BM sering mengangkat isu seputar politik, sosial dan yang lain. Tepatnya, setelah Indonesia menggapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 M, Belanda kembali ingin menduduki Indonesia lewat Tentara Sekutu. Singkatnya para petinggi negara, seperti Soekarno meminta sikap dan tindakan kepada KH. Hasyim Asy’ari berhadapan dengan rencana Sekutu. Tanggal 09 Nopember 1945 Para ulama berunding dan musyawarah, kemudian menghasilkan keputusan yang dikenal dengan ‘Resolusi Jihad’ berisi kewajiban untuk mempertahankan kemerdekaan dari serangan Tentara Sekutu dan upaya-upaya pemecahan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari penjabaran di atas, sangatlah jelas bahwa BM dulu lebih menyeluruh. Tidak hanya kajian-kajian yang akrab di pesantren, khususnya Fikih, akan tetapi sampai menyentuh politik dan sosial. Dengan demikian, dalam hal kajian yang diwadahi Bahtsul Masa’il pesantren harus bertransformasi. Kalau dulu kajian hanya seputar Fikih, untuk sekarag ini sudah saatnya berbicara Tafsir, Hadis, Metodologi Ushul Fikih dan Kaidah Fikih, sejarah dan bahkan politik juga sosial.

Kalau itu tidak disadari, bukan hal mustahil ilmu-ilmu seperti Faraidh, Falak, Sejarah dan lain sebagainya tidak lagi dikenal generasi pesantren mendatang. Tentu, hal itu sangat tidak diharapkan.

Berkenaan hal itu, pesantren berkepentingan untuk menyuarakan pandangan-pandangan yang menyeluruh, kuat dan mengikiat, bahkan mempunyai sisi lebih, karena berdasarkan mufakat. Dengan begitu, paling tidak opini yang berkembang dari luar Islam terimbangi, bahkan bisa mengalahkan.

Kemudian, juga tidak kalah penting adalah pada era milenial ini pesantren harus mempunyai media sebagai jendela publikasi opini-opini pesantren. Dengan media, pesantren berkepentingan menyampaikan jawaban dan solusi yang telah dimusyawarahkan kepada masyarakat luas. Sebab, untuk sementara waktu keputusan dan solusi yang ditawarkan tidak berdampak apa-apa pada kehidupan luas. Persoalan tetap saja ada, bahkan semakin menjadi-jadi. Hal itu disebabkan kepentingan pesantren tidak tersalurkan secara terorganisir massif. Maka, sudah barang pasti media harus digalakkan, baik dengan menerbitkan buku, media cetak dan online, radio atau televisi.

Harus dimaklumi, bahwa pesantren mempunyai prinsip-prinsip yang telah lama dibangun dan terus dipertahankan setiap generasinya. Pesantren yang dikenal mewakili kaum tradisionalis sarat dengan tradisi yang sangat eksklusif. Hal itulah barangkali yang membuat kebanyakan pesantren tidak bisa membuka mata dari kenyataan. Dengan demikian, pesantren tidak boleh salah dalam menentukan sikap menghadapi kenyataan perkembangan yang terlampau jauh. Bagaimana pesantren bisa bersaing di dunia global tampa harus membuang prinsip-prinsip yang telah sejak lama dibagun.

Wallahu A’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *