Halalkah Buah yang Jatuh dari Pohon Tetangga?
Disadari atau tidak, Indonesia merupakan negeri yang kaya akan flora terutama buah-buahan. Hal itu tidak lepas dari kebiasaan rakyat Indonseia yang suka menanam pepohonan. Menanam pohon bagi warga Indonesia khususnya pedesaan sudah menjadi keniscayaan. Daun-daun yang hijau di sekeliling rumah,kebun dan sawah menjadi pemandangan keseharian. Beraneka ragam buah-buahan yang menggelantung di tangkainya dengan bermacam warna bak hiasan alam. Itulah sekelumit tanda kekusaan Tuhan.
Pada musim buah-buahan, tak jarang kita temukan pohon dalam bentuk kebun atau tanaman pribadi yang sekaligus dijadikan sebagai hiasan, buahnya berjatuhan sebelum dipanen. Mungkin karena sudah matang atau hembusan angin yang sangat kencang, sehingga banyak orang yang lewat tertuju kepada buah-buahan yang berjatuhan. Ada yang pergi tak memenghiraukan, dan tak jarang pula dari mereka yang mengambil dan membawanya pulang.
Buah-buahan yang masih kokoh bertengger di tangkainya, status kepemilikan jelas yakni menjadi hak sang tuan. Namun ketika buah itu jatuh dari pohonnya bolehkah dipungut oleh orang yang kebetulan lewat di jalan?
Pada dasarnya, kita tidak diperbolehkan mengambil harta orang lain tanpa izin atau kerelaan dari pemiliknya. Di antara harta adalah buah-buahan yang jatuh dari pohonnya. Hal ini berdasarkan keumuman dalil:
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal mengambil harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan darinya.” (HR. Abu Dawud)
Dengan keumuman hadis di atas kita tidak diperbolehkan mengambil harta siapapun, seremeh apapun kecuali sudah mendapatkan izin atau kerelaan dari pemiliknya.
Hanya saja, mengenai kasus buah-buahan yang jatuh dari pohonnya, perlu kiranya kita melihat pandangan para ulama. Para ulama memberikan penjelasan bahwa hal itu dikembalikan kepada kebiasaan. Jika di tempat tersebut memungut buah yang jatuh dari pohonnya sudah menjadi kebiasaan tanpa ada keingkaran dari sang tuan maka hukumnya halal, dan sebaliknya bila tidak demikian, maka hukumnya haram.
Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam kitabnya, Asnal Mathâlib sebagai berikut,
فَلَوْ جَرَتِ الْعَادَةُ بِأَكْلِ مَا تَسَاقَطَ مِنْهَا جَازَ إِجْرَاءً لَهَا مَجْرَى اْلإِبَاحَةِ لِحُصُوْلِ الظَّنِّ بِهَا
“Jika sudah biasa memakan buah yang jatuh dari pohonnya, maka hal itu boleh karena sudah berlaku hukum ibahah sebab sudah ada dugaan (kerelaan pemilik) dengan buah yang jatuh tersebut.”1
Sebagian ulama yang lain memerincinya sebagai berikut: bila pohon itu dipagar, maka tidak boleh mengambil buah yang jatuh di dalam pagar. Karena adanya pagar menunjukkan bahwa pemiliknya tidak rela buah-buahannya diambil orang lain, dan dengan adanya pagar berarti pemilik telah membatasi orang lain untuk tidak masuk kekebunnya. Dan jika buahnya jatuh di luar pagar atau pohon itu tidak dipagari maka juga diperinci: bila tidak ada kebiasan masyarakat setempat mengambilnya tanpa ada keingkaran pemiliknya maka haram dan jika ada kebiasaan mengambilnya maka halal.
Hal ini sebagaimana telah disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya, Tuhfatul Muhtâj fî Syarhil Minhâj sebagai berikut,
وَيَحْرُمُ أَخْذُ ثَمَرٍ مُتَسَاقِطٍ إنْ حُوِّطَ عَلَيْهِ وَسَقَطَ دَاخِلَ الْجِدَارِ وَكَذَا إِنْ لَمْ يُحَوَّطْ عَلَيْهِ أَوْ سَقَطَ خَارِجَهُ لَكِنْ لَمْ تُعْتَدِ الْمُسَامَحَةُ بِأَخْذِهِ
“Haram memungut buah-buahan yang jatuh bila pohonnya dipagari dan jatuh di dalam tembok pagar, begitu juga bila tidak dipagari atau jatuh di luar tembok pagar namun tidak ada kebiasaan dalam kebolehan mengambilnya.”
Kemudian beliau meneruskan perkataannya dengan menukil dari kitab al–Majmû’ sebagai berikut,
وَفِيْ الْمَجْمُوْع ِمَا سَقَط خَارِجَ الْجِدَارِ إِنْ لَمْ تُعْتَدْ إِبَاحَتُهُ حَرُمَ ، وَإِنِ اعْتِيْدَتْ حَلَّ عَمَلًا بِالْعَادَةِ الْمُسْتَمِرَّةِ الْمُغَلِّبَةِ عَلَى الظَّنَ إِبَاحَتَهُمْ لَهُ2
“Dalam kitab al-Majmu’ disebutkan bahwa ‘Pohon yang jatuh di luar tembok bila tidak biasa kebolehan mengambilnya maka haram memungutnya. Dan jika biasa kebolehan mengambilnya, maka hukumnya halal sesuai dengan kebiasaan yang terus menerus yang telah memberikan dugaan kuat bahwa mereka (pemilik) telah mengizinkannya.”
Dengan demikian, berdasarkan perincian di atas, kitab bisa memahami bahwa kebiasaan mengambil buah yang jatuh tanpa ada pengingkaran dari pemiliknya sudah menjadi izin atas kebolehan orang lain mengambil buah yang jatuh tersebut. Karena kebiasaan tersebut sama dengan izin yang terucap dari lisan sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi salah satu ulama dari kalangan mazhab Syafi’i. Beliau membagi izin menjadi dua bagian. Pertama, izin terucap yang jelas. Kedua, izin yang dipahami dari uruf dan kebiasaan.3 Jadi, kebolehan memungut buah yang jatuh itu dikategorikan mendapatkan izin dari pemiliknya secara uruf atau adat (kebiasaan).
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Kebiasaan itu bisa menjadi hukum.”
Ibnu Qudamah, salah satu ulama mazhab Hambali juga sependapat dengan Imam an-Nawawi. Dalam kitabnya yang berjudul as-Syarhu al-Kabîr, beliau menyampaikan sebagai berikut,
وَالْاِذْنُ الْعُرْفِيْ يَقُوْمُ مَقَامَ الْاِذْنِ الْحَقِيْقِيْ
“Izin urfi (kebiasaan)sama dengan izin hakiki (izin terucap).” 4
Di sisi lain, yang perlu menjadi catatan terbesar adalah jika ternyata pemilik pohon tidak merelakan buahnya yang jatuh diambil orang lain. Maka dalam hal ini pengambil harus menggantinya. Hal ini seperti penjelasan Ibnu Hajar dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra’ sebagai berikut:
فَمَتَى غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّ الْمَالِكَ يَسْمَحُ لَهُ بِأَخْذِ شَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَالِهِ جَازَ لَهُ أَخْذُهُ ثُمَّ إِنْ بَانَ خِلَافُ ظَنِّهِ لَزِمَهُ ضَمَانُهُ
“Jika ia memiliki dugaan yang kuat bahwa pemilik memeperbolehkan mengambil harta tertentu maka boleh baginya mengambilnya. Kemudia jika dugaannya itu salah maka ia wajib mengantinya5
أسنى المطالب في شرح روض الطالب 1/ 574
تحفة المحتاج في شرح المنهاج 41/ 8
شرح صحيح مسلم للنووي 6/ 96
الشرح الكبير لابن قدامة / 537
الفتاوى الفقهية الكبرى 4 /116