Pastikan Konten Legal Secara Hukum Negara dan Syariat

Tidak semua konten yang dianggap legal menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga dianggap legal menurut syariat. Banyak konten berupa foto dan video yang diunggah di platform seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan lainnya yang memang legal secara undang-undang, namun dianggap sebagai hal yang tidak diperkenankan dalam syariat.

Contoh yang banyak ditemui di platform media sosial adalah konten foto atau video yang menampilkan aurat atau mengajak kepada perilaku yang tidak baik. Hal tersebut jelas dilarang dalam ajaran agama, meskipun dianggap sah menurut hukum negara. Oleh karena itu, sebelum mengunggah konten di media sosial, penting untuk memastikan apakah konten tersebut tidak hanya legal secara hukum negara, tetapi juga sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.

Menurut informasi yang dilansir dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (kominfo.go.id), konten yang dianggap legal secara hukum di Indonesia adalah konten yang tidak mengandung pornografi, perjudian, penipuan, pelecehan, pencemaran nama baik, dan berita palsu.

Dengan demikian, mengunggah konten foto atau video yang tidak melanggar salah satu dari kriteria di atas dianggap sah secara hukum menurut UU ITE, meskipun konten tersebut menampilkan aurat atau hal lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Sebenarnya apa batasan mengunggah konten di media sosial menurut perspektif hukum Fikih?

Secara hukum Fikih, selain harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah, konten foto atau video juga harus sesuai dengan kriteria tertentu.

1. Konten foto

Ulama kontemporer berpendapat bahwa memotret dengan menggunakan kamera tidak termasuk dalam larangan menggambar secara tangan.

Menurut penafsiran Syekh Wahbah Zuhaili, gambar yang dihasilkan menggunakan kamera sebenarnya tidak berbeda dengan gambar bayangan yang terlihat dalam cermin atau air. Perbedaannya adalah gambar pada cermin bergerak, sedangkan gambar fotografi tidak bergerak karena diabadikan menggunakan asam kimia dan sejenisnya. Oleh karena itu, dalam hal ini, pengambilan gambar tersebut tidak dianggap sebagai menggambar secara hakiki, melainkan hanya mengabadikan bayangan yang difoto.[1]

Hukum melihat hasil gambar fotografi tersebut tentu tidak masalah, seperti melihat gambar yang terdapat dalam air atau cermin, sekalipun berupa gambar perempuan. Sebab, hakikatnya yang dilihat bukan bentuk aslinya melainkan bayangannya.

Hanya saja kebolehan melihat gambar perempuan yang ada di cermin oleh Imam Ibnu Hajar diarahkan pada keadaan yang tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah atau syahwat.[2]

Menurut Syekh Nawawi al Bantani yang dikehendaki dengan fitnah di sini, adalah ketertarikan hati atau dorongan untuk melakukan zina atau permulaannya seperti melihat, berduaan, menyentuh dan semacamnya.[3]

Sebagian ulama ada yang mengartikan fitnah dengan sesuatu yang tidak disenangi atau menyebabkan sesuatu yang tidak disenangi dalam syariat seperti kufur, sindiran dan semacamnya.[4]

Dari sini, bisa penulis simpulkan, menampilkan foto di media sosial itu boleh boleh saja sekalipun gambar perempuan, selagi tidak dikhawatirkan akan menimbulkan syahwat bagi orang yang melihatnya, serta tidak mengundang orang lain untuk berkomentar negatif menurut syari’at seperti komentar yang tidak senonoh.

Adapun gambar perempuan dalam keadaan yang lumrahnya sudah dapat memancing syahwat, misalnya gambar perempuan yang menampilkan selain wajah dan telapak tangan seperti lengan, kaki, rambut dan yang lainnya (mengikuti pendapat ulama yang mengatakan wajah dan telapak tangan bukanlah bagian dari aurat Perempuan di luar shalat) , menurut Syekh Wahbah Zuhaili, menampilkan foto yang demikian ini jelas tidak diperbolehkan, karena kaprahnya mengundang fitnah. Sekalipun kenyataannya tidak menimbulkan fitnah.[5]

Suatu pekerjaan yang lumrahnya memicu adanya maksiat, itu tidak boleh dilakukan, sebagaimana penjelasan Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin :

“Adapun menghasilkan mazhinnatul maksiat adalah kemaksiatan. Yang dikehendaki dengan mazhinnah di sini adalah suatu keadaan yang menimpa seseorang, yang lumrahnya akan terjerumus pada sebuah kemaksiatan, sekiranya sudah tidak akan bisa untuk dihindari.”[6]

Berkenaan dengan ini,  Syekh Yusuf al Qardhawi dengan lugas, menjelaskan tentang haramnya meng-share foto yang mengumbar aurat dalam kitabnya, al-Halālu wal-Harāmu fil-Islām:

“Memotret wanita telanjang atau yang menyerupainya, menonjolkan feminitas dan godaan mereka, menggambar atau memfilmkan mereka dalam posisi yang membangkitkan hasrat, seperti yang Anda lihat dengan jelas di beberapa majalah, surat kabar, dan bioskop , semua itu termasuk dari perkara yang tidak diragukan lagi keharamannya, haram memotretnya, haram menyebarkannya kepada orang-orang, dan haram memilikinya serta membawanya di muka umum, di rumah, kantor, majalah, digantung di dinding, serta haram bermaksud melihatnya.”[7]

2. Mengunggah Video.

Syekh Wahbah Zuhaili juga berpendapat bahwa haramnya mengunggah gambar yang mengundang fitnah juga berlaku untuk siaran televisi yang menayangkan film, konser, dan sejenisnya.[8] Dalam hal ini, video dianggap memiliki sifat yang sama dengan foto, hanya berbeda dalam aspek gerak dan diam.

Oleh karenanya segala bentuk video yang dapat membangkitkan hasrat negatif seseorang atau mendatangkan komentar yang tidak baik, serta video yang menampilkan aurat, juga tidak diperbolehkan untuk disebarkan sebagaimana kriteria yang terdapat pada foto.

Selain itu, konten video juga tidak boleh mengandung kedustaan. Menurut Imam Ghazali, ada cerita yang bermanfaat didengar dan ada yang merugikan. Terkadang, seseorang menceritakan cerita dengan memalsukan fakta, yang dalam hal ini dilarang karena dapat merugikan orang lain.[9]

Tidak hanya itu, konten video juga harus memperhatikan dampaknya terhadap pemirsa. Sebagai alat komunikasi, video dapat digunakan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat, namun juga bisa merusak moral mereka. Oleh karena itu, mengunggah konten video yang dapat melemahkan keyakinan umat atau merusak moral tidak diperbolehkan dalam syariat.[10]

‘Ala kulli hal, konten yang legal menurut hukum negara belum tentu sesuai dengan nilai-nilai agama. Meskipun Undang-Undang ITE mengatur legalitas suatu konten, pertimbangan terhadap hukum syariat juga perlu diperhatikan. Oleh karena itu, sebelum mengunggah konten di media sosial, penting untuk memastikan bahwa konten tersebut tidak hanya mematuhi hukum negara, tetapi juga prinsip-prinsip agama. Hal ini penting untuk menjaga keselamatan moral dan spiritual pengguna serta menghormati nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Wallahu A’lam bis Shawab.

Oleh : Faqihuddin / Sekred Istinbat


[1] Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuh, IV/2677

[2] Ad-Dimyathi, Abu Bakar Syatha, I’anatut Thalibin, III/ 301

[3] Al-Bantani, Nawawi bin Umar, Tausyikh ‘ala Ibni Qasim, hal: 197

[4] al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Hajar, Fathul Bari fi Syarhi Shahih Bukhari, XIII/3

[5] Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuh. IV/2676

[6] Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, II/ 324

[7] Al-Qardhawi, Yusuf, al-Halālu wal-Harāmu fil-Islām, 113

[8] Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuh., IV/2676

[9] Al Ghazali, Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, II/ 324

[10] As Syarbashi, Ahmad, Yas’alunaka fi Dini wad-Dunya. II/645

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *