MENGENAL ILMU USHUL FIKIH
Seiring dengan berkembangnya zaman, banyak teknologi juga ikut berkembang berdasarkan kebutuhan manusia sesuai dengan eranya masing-masing. Bukan hanya itu, perkembangan ini juga diikuti oleh berkembangnya ilmu pengetahuan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor pendorong sehingga banyak di kalangan ulama berinisiatif untuk mengembangkan ilmu yang dibutuhkan oleh masyarakat kala itu. Misalnya, ilmu Nahwu yang dipelopori oleh Imam Abu Aswad ad-Duali atas titah langsung dari Sayyidina Ali karramallahu wajhah, dikarenakan pada masa itu, maraknya kesalahan bahasa di kalangan masyarakat.
Diantaranya juga ialah ilmu Ushul Fikih yang lahir pada abad ke-2 hijriyah. Pada masa shahabat ilmu ini tidak tidak tersusun dengan rapi, bukan dikarenakan para shahabat tidak cerdas, melainkan ketika ada permasalahan beliau langsung menanyakannya kepada Nabi Muhammad ﷺ. Kadang juga mereka memutuskan hukum berdasarkan pemahaman intelektual mereka masing-masing dalam memahami al-Quran. Jadi mereka tidak membutuhkan kaidah apapun.
Ketika kekuasaan Islam mulai meluas, masyarakat Islam Arab berbaur dengan non-Arab, dari sinilah banyak timbul istilah-istilah baru dan kemurnian bahasa mereka menjadi terpengaruh. Hal ini menyebabkan menjadi melemah dalam memahami al-Quran dan Hadis. Oleh karena itu, banyak di kalangan ulama berinisiatif menyusun kaidah-kaidah bahasa untuk memahami isi al-Quran dan Hadis.
Di saat perdebatan ulama Hadis dan ulama ra’yu (ulama yang mendepankan logika) mulai memanas, masyarakat banyak yang sembrono mengambil hukum dalam al-Quran atau Hadis tanpa menggunakan cara-cara yang dilakukan oleh para shahabat, maka sebagian ulama banyak yang berfikir untuk membuat suatu kaidah yang membahas dalil-dalil syara’, supaya kejadian tersebut tidak terjadi lagi. Dari sinilah lahir ilmu Ushul Fikih atas inisiatif dari seorang imam mujtahid terkenal, yakni Imam Muhammad bin Idris asy-Syafii (wafat 204 H). Ilmu ini di jadikan dasar oleh beliau untuk mencetuskan hukum-hukum yang ada dalam al-Quran dan Hadis dalam mazhabnya sendiri. Sehingga, terkenallah beliau dengan sang pencetus ilmu Ushul Fikih.
Kala itu, ahlu ra’yi adalah pemegang kendali yang kuat mengalahkan ulama’ Hadis, dikarenkan intelejensi mereka yang kuat meskipun mereka minim dalam hafalan Hadis. Oleh karena itu, banyak orang-orang zindiq tersebar luas dan semberono dalam mengambil hukum. Mereka lebih mengedepankan logika dari pada Hadis. Sedangkan ahli Hadis, meskipun mereka banyak menghafal dan meriwayatkan Hadis, namun mereka lemah dalam perdebatan. Sehingga, jika mereka disodorkan sebuah masalah oleh ahli ra’yi mereka tidak bisa membatahnya. Dari sini Imam Fakhruddin mengomentari kejadian ini dalam manakibnya Imam Syafii “Para ahli Hadis mereka banyak dalam menghafal Hadisnya Nabi, namun mereka lemah dalam perdebatan. Ketika mereka disodorkan masalah oleh ahli ra’yi maka mereka tidak bisa membantahnya dan tidak bisa membela thariqahnya”.
Dari sini, hadirlah Imam sang pendiri mazhab Syafii, yakni Muhammad bin Idris asy-Syafii. Beliaumenggabungkan antara logika dan Hadis serta lebih memprioritaskan Hadis daripada logika. Ketika beliau mendengar perdebatan yang terjadi pada masa itu dan mengetahui kelemahannya ahli Hadis, beliau langsung membantah para ahli ra’yi dan membela yang benar, sehingga beliau menyusun kitab yang berjudul Ar-Risalah gunamembantah orang-orang yang sembrono dalam memahami al-Quran dan Hadis, sehingga beliau terkenal dengan pelopor nomor satu ilmu Ushul Fikih.
Berdasarkan faktor-faktor kemunculan ilmu ini yang telah kita ketahui barusan, bisa disimpulkan bahwa, pokok pembahasan dalam ilmu ini adalah dalil-dalil syara’, sedangkan tujuan mempelajarinya adalah memperkenalkan kita untuk memahami nalar-nalar ulama dalam mencetuskan hukum dan memudahkan kita untuk mengetahui hukum-hukum kekinian yang dalilnya tidak disebutkan secara sharih dalam al-Quran dan Hadis. Adapun definisinya, ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi terhadap ilmu ini.
Menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ushul Fikih adalah ungkapan dari dalil-dalil Fikih dan cara mengetahui dalalahnya dalam sebuah hukum secara global, bukan terperinci. Imam Ibnu Qudamah mendefinisikan ilmu ini bahwasanya Ushul Fikih adalah dalil-dalil Fikih secara global bukan terperinci, sedangkan Imam Fakhruddin ar-Razi menyatakan bahwa, “Ushul Fikih adalah ungkapan dari dalil Fikih, kaidah mengambil hukum dari al-Quran atau Hadis dan kriteria orang yang bisa mengambil hukum dalam al-Quran atau Hadis.” Masih banyak lagi pendapat-pendapat ulama dalam mendefinisikan ilmu ini.
Dari ketiga definisi di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa perbedaan ulama dalam mendefinisikan ilmu ini berkisar pada dua hal, yakni, ada ulama yang meringkas definisinya hanya terhadap sumber hukum saja atau dalil-dalil hukum, ada juga ulama yang mendefinisikannya dengan kaidah dan sumber hukum. Coba kita perhatikan definisi yang disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah. Dalam definisi ini, beliau hanya menyebutkan Ushul Fikih itu adalah dalil-dalil Fikih. Artinya, beliau hanya mengarahkan terhadap sumber hukum saja dan tidak diarahkan terhdap kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu ini. Mengapa demikian? Sebab, ada sebagian ulama berpendapat bahwa di dalam al-Quran secara tersirat mengandung kaidah-kaidah untuk mencetuskan hukum secara langsung, seperti menafsiri lafaz mujmal dan mentakhsis lafaz yang umum.
Oleh sebab itu, tidak perlu disebutkan dalam definisi, sedangkan definisinya Imam Al-Gazali dan Imam Fakhruddin ar-Razi menyebutkan secara lengkap dalam definisinya, yakni mengarah terhadap sumber hukum dan kaidah-kaidah tertentu. Hal itu dikarenakan bahwa dalam memahami Ushul Fikih, tidak cukup hanya memahami dalil-dalil saja, melainkan kita juga harus memahami kaidah-kaidah tertentu yang dibahas dalam ilmu ini, sehingga perlu disebutkan di dalam definisi.
Untuk menahkikkan pemahaman kita mengenai ilmu ini, coba kita uraikan salah satu definisi dari ilmu ini, dan kita ambil definisi yang paling lengkap dan logis, yakni, Ushul Fikih adalah ilmu yang mempelajari tentang dalil-dalil Fikih secara global bukan terperinci, cara mengambil dalil dalam al-Quran atau Hadis dan kriteria orang yang bisa mengambil dalil. Dari definisi ini, kita bisa menguraikan bahwa ilmu ini membahas tentang dalil Fikih secara global. Misalnya, secara mutlak semua perintah mengarah terhadap makna wajib sebagaimana dalam al-Quran ” أقم الصلاة”. Lafaz أقم adalah perintah yang mengarah terhadap hukum wajib. Beda halnya kalau dalil Fikih secara terperinci seperti أقم الصلاة dijadikan dalil wajibnya shalat dan shalatnya Nabi di dalam kakbah dijadikan dalil bolehnya shalat di dalam kakbah, maka keduanya bukan dikatakan Ushul Fikih.
Ilmu ini juga membahas tentang kaidah-kaidah tertentu. Kaidah ini bertujuan untuk mengetahui jika ada dalil-dalil yeng bertentangan dalam sebuah masalah, maka kita bisa menggunakan kaidah ini. Seperti, kaidah mentarjih dalil yang lebih pantas dijadikan dalil dan sebagainya. Juga, ilmu ini membahas kriteria orang yang bisa mengambil hukum dalam al-Quran dan Hadis. Jadi, tidak sembarang orang yang bisa mengambil hukum dalam al-Quran dan Hadis. Semuanya memiliki syarat dan ketentuan. Jika ada orang yang sudah memenuhi syarat dan ketentuannya maka bisa disebut dengan mujtahid dan bisa langsung menghukumi sebuah masalah dari al-Quran dan Hadis sebagaimana yang sudah dicapai oleh imam kita, Muhammad bin Idris asy-Syafii.
Setelah kita pahami definisi dari ilmu ini secara mendetail, maka insya Allah kita akan membahas satu persatu metode-metode untuk mencetuskan sebuah hukum.
Oleh : Yusuf Fatwa / Redaksi Istinbat