Metode Ijtihad Imam Madzhab (Malik bin Anas)

Perkembangan hukum syariat tidak berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Sebab, Allah telah mendeklarasikan bahwa Islam adalah agama yang sempurna[1]. Sempurna, berarti Islam -menyangkut juga hukum syariatnya- selalu relevan dalam mengatur semua persoalan umat  hingga hari kiamat.

            Oleh karena persoalan umat yang terus berkembang, Nabi Muhammad ﷺ memberikan arahan berupa sumber utama untuk dijadikan pedoman para ulama dalam menggali hukum persoalan-persoalan baru yang belum dijelaskan oleh Nabi ﷺ. Beliau bersabda dalam hadis ma’ruf riwayat Imam Malik :

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang mana kalian tidak akan tersesat selagi berpegangan dengan keduanya, yakni al-Quran dan sunah Nabi-Nya”.[2]

            Semua ulama -terutama madzahib al-arba’ah– sepakat bahwa al-Quran dan Hadis adalah sumber utama dalam menggali hukum syariat. Selain itu, ijma’ dan qiyas adalah sumber yang disepakati. Namun, tak sedikit dari para mujtahid yang menggunakan sumber lain selain empat sumber di atas, seperti Imam Malik bin Anas, salah satu mujtahid yang menggunakan banyak sumber selain dari empat sumber hukum di atas.

            Imam malik memang tidak pernah membukukan metodenya dalam berijtihad. Kendati demikian, murid-muridnya mencoba meneliti metode tersebut dari pendapat-pendapatnya, terutama dari karangannya al-Muwaththa’. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan, Imam Malik menggunakan lima sumber hukum dalam berijtihad. Yaitu al-Quran, Hadis, Ijma’, qiyas dan ra’yu (nalar).[3]

Berikut penjelasannya!

Pertama, al-Quran. Tidak diragukan lagi, al-Quran adalah sumber utama dalam berijtihad, karena semua hukum sudah ter-cover didalamnya. Tidak perlu banyak dalil untuk membuktikan posisi al-Quran untuk bisa dijadikan sumber hukum. Cukup dengan status i’jaz yang dimilikinya.[4] Inilah keyakinan yang terus terawat dari masa Nabi Muhammad ﷺ sampai saat ini.

Kedua, Hadis. Menurut Imam asy-Syathibi dalam madzhab Maliki lafal sunnah memiliki tiga arti yang berlaku. Pertama, sesuatu (perkataan, perbuatan atau ketetapan) yang secara khusus dinukil dari Nabi Muhammad ﷺ dan tidak pernah di-nash dalam al-Quran, baik berfungsi menjelaskan kandungan al-Quran atau tidak. Kedua, sunnah dengan artian lawan kata dari bid’ah, yaitu melakukan sesuatu yang pernah dilakukan Nabi Muhammad ﷺ, baik di-nash dalam al-Quran atau tidak. Ketiga, sunnah berarti apa yang diamalkan oleh para shahabat, baik dasarnya ditemukan dalam al-Quran dan Hadis atau tidak. Mengapa bisa diterima walupun dasarnya tidak jelas? karena dengan keadilan mereka serta satu masanya mereka dengan Nabi ﷺ, bisa jadi apa yang mereka lakukan atas dasar mengikuti sunah Nabi ﷺ. Hanya saja, riwayat penukilannya tidak sampai kepada orang setelahnya atau bisa jadi mereka melakukan atas dasar ijma’ yang pernah terjadi.

Selain ‘amalush-shahabah, ‘amalu ahlil Madinah juga tergolong sunnah. Dr. Ahmad Muhammad Nur Yusuf menyampaikan bahwa ‘amalu ahlil Madinah adalah kebiasaan atau tradisi penduduk Madinah yang dinukil dari Nabi ﷺ secara berkesinambungan atau yang dihasilkan dari ijtihad penduduk Madinah. Dalam hal ini Imam Malik menyampaikan:

إِذَا إِجْتَمَعَ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ عَلَى شَيْئٍ لَمْ يُعْتَدَّ بِخِلَافِ غَيْرِهِمْ

“Jika ahli Madinah telah bersepakat akan sesuatu, maka orang lain di luarnya yang bertentangan dengannya dinafikan”.

Dalam artian, jika penduduk Madinah telah menyepakati suatu hal, maka tidak boleh bagi yang lain untuk menyalahinya. Ini pendapat shahih dari kalangan mazhab Maliki.

Penggunaan ‘amalu ahlil Madinah sebagai sumber hukum bagi Imam Malik sangat dimaklumi. Sebab, beliau lahir di Madinah dan besar di sana. Masa beliau dengan Nabi juga tidak terpaut jauh, sehingga tradisi saat itu masih murni dan tidak banyak perubahan dari masa Nabi hingga masa beliau. Ditambah lagi, Madinah adalah sumber dari periwayatan hadis.

Ketiga, ijma’, yaitu kesepakatan semua mujtahid semasa terhadap hukum suatu permasalahan. Ulama berkonsensus bahwa ijma’ adalah sumber dalam berijtihad. Sebab Nabi ﷺ telah menjelaskan bahwa umatnya (para mujtahid) tidak akan sepakat pada suatu kesesatan, sebagaimana riwayat Imam Abi Dawud.[5]

Keempat, qiyas, yaitu menyamakan hukum far’ (masalah yang di-qiyas-kan) kepada hukum ashl (masalah yang menjadi peng-qiyas-an) karena ada kesamaan dalam ‘illat-nya. Kaidah qiyas yang digunakan oleh Imam Malik tidak sama dengan mujtahid lainnya seperti Imam Syafi’i. Menurut Imam Malik, masalah far’ bisa dijadikan peng-qiyas-an sepertihalnya ashl. Sedangkan ulama lain sebaliknya.[6]

Kelima, ra’yu (nalar). Istilah ar-ra’yu sebagai sumber hanya pengelolaan saja, karena banyak sumber hukum yang digunakan oleh Imam Malik dalam berijtihad yang semuanya bersandar pada penalaran. Di antaranya:

Pertama, istihsan. Imam al-Baji mendefinisikan istihsan dengan penggunaan dalil yang lebih kuat dari dua dalil (hasil qiyas). Dalam penggunaan istihsan sebagai sumber hukum, Imam Malik sepakat dengan Imam Abu Hanifah.[7]

Kedua, mashlahah mursalah, atau yang juga dikenal dengan al-munasib al-mursal, yaitu kemaslahatan yang tidak dijelaskan hukumnya oleh syara’ dan tidak ada dalil yang menjelaskannya serta tidak ada indikasi pelarangan dari syara’.[8] Imam Malik merupakan ulama yang sering menggunakan mashlahah mursalah untuk memutuskan suatu hukum. Penggunaannya harus memenuhi tiga syarat, yaitu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ berupa menghasilkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan, kemaslahatan yang ingin dicapai bersifat rasional dan pasti (mutayaqqan), serta menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi.[9]

Keempat, dzari’ah. Secara istilah ulama ushul, dzari’ah lebih diartikan dengan suatu perantara, kongkret ataupun abstrak, baik ataupun jelek. sehingga dengan definisi ini, hukum yang bisa digali bisa bervariasi tergantung objek masalahnya. Sebagaimana pernyataan Imam Abul-Abbas al-Qarrafi:

اعْلَمْ أَنَّ الذَّرِيْعَةَ كَمَا يَجِبُ سَدُّهَا يَجِبُ فَتْحُهَا وَتُكْرَهُ وَتُنْدَبُ وَتُبَاحُ فَإِنَّ الذَّرِيْعَةَ هِيَ الْوَسِيْلَةُ فَكَمَا أَنَّ وَسِيْلَةَ الْمُحَرَّمِ مُحَرَّمَةٌ فَوَسِيْلَةَ الْوَاجِبِ وَاجِبَةٌ كَالسَّعْيِ لِلْجُمْعَةِ وَالْحَجِّ

“Ketahuilah, bahwa dzari’ah, sebagaimana wajib untuk ditutup juga bisa wajib untuk dibuka, bisa pula makruh, sunah dan mubah. Karena dzari’ah adalah perantara, oleh karenanya perantara perkara haram berhukum haram, perantara perkara wajib juga berhukum wajib seperti berjalan untuk melakukan Shalat Jumat dan haji.”[10]

            Keempat, istishhab. Menurut Imam Ibnul-Qayyim, istishhab ialah menetapkan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya atau menafikan hukum yang telah dinafikan sebelumnya.[11] Pembagian istishhab ada dua:

 Pertama, istishhabul-‘adam al-ashli, yaitu menggunakan hukum asal berupa tidak adanya hukum. Contoh, apakah shalat maktubah lebih dari lima? karena tidak ada dalil yang mengatakan lebih dari lima, maka tetap mengikuti hukum asal, yaitu tidak adanya kewajiban shalat maktubah selain yang lima.

Kedua, istishahbul-hukmi asy-syar’i, yaitu menggunakan hukum yang berlandaskan dalil syara’ di masa lampau untuk masa sekarang atau yang akan datang.[12] Wallahu a’lam.

Oleh : Fathur Rohman


Referensi :

[1] Al-Maidah ayat 3

[2] Malik bin Anas, al-Muwaththa’, Muassasah Ar-Risalah, II/70,

[3] Ad-Daqir Abdul-Ghani, Al-Imam Malik Bin Anas Imamu Daril-Hijrah, Darul-Qalam, hlm, 155 cet. III

[4] Al-Mukhtar Muhammad, Madkhal fi Ushulil-Fiqhi al-Maliki, Darul-Aman, hlm, 75. Cet, I.

[5] As-Subuki, Ali bin Abdul-Kafi, al-Ibhaj fi Syarhil-Minhaj, Darul-Kutub al-Ilmiyah, III/ 360.

[6] ibid

[7] Musa Fadiga, Ushulul-Fiqhil Imam Malik, Darut-Tadmuriyah, I/338.

[8] Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushulil-Fiqhi, Darul-Qolam, hlm. 74, cet, II.

[9] ibid

[10] Al-Qarrafi, Abul Abbas Ahmad bin Idris, Anwa’rul-Buruq fi Anwa’il-Furuq, Darrul-Kutub al-Ilmiyah, II/61.

[11] Al- Jauzi, Ibnul-Qayyim, Muhammad bin Abi Bakar, I’lamul-Muwaqqi’in ‘an Rabbil-‘Alamin, hlm. 463. Maktabah Syamilah

[12] ibid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *