Pengaruh Aktifitas Nabi terhadap Hukum Syariat

Pada masa kenabian, sebuah hukum timbul disebabkan terjadinya sebuah peristiwa di kalangan para sahabat. Kemudian, Nabi menentukan hukum dari peristiwa tersebut melalui wahyu yang beiau dapatkan atau ijtihad dari beliau sendiri, sehingga tidak ada dari suatu perkara melainkan hukumnya sudah diketahui dengan ada penetapan langsung dari beliau. Seiring perkembangan zaman, banyak juga peristiwa baru yang tidak pernah terjadi di masa kenabian. Dari sini muncullah cendekiawan islam yang menggali hukum dari peristiwa-peristiwa ini dengan menjadikan Al-Quran dan Hadis sebagai patokan utama. Mereka mengkaji dari segala aspek dari kedua sumber ini baik dari segi bahasanya, makna yang tersirat, atau dengan cara ada contoh langsung dari beliau. Pada kali ini, kita akan membahas tentang pengaruh perilaku baginda Nabi Muhammad SAW terhadap hukum syariat.

   Secara kajian usul fikih, aktifitas Nabi yang dapat memengaruhi hukum syariat dipilah menjadi tiga macam; perkataan, perbuatan, dan penetapan beliau (taqriri) dengan artian jika beliau melihat para sahabat melakukan sesuatu maka beliau diam dan  diamnya itu menunjukkan bahwa yang dilakukan sahabat termasuk hal yang diperbolehkan. Hal ini didasarkan bahwa beliau tidak mungkin membiarkan para sahabat melakukan hal yang dilarang oleh syariat melainkan beliau langsung menegur mereka.

   Jika kita mengkaji dari aspek perkataan beliau maka cara mengambil hukum di dalamnya adalah dengan melihat substansi lafaz dari perkataan beliau. Adapun dari aspek perbuatannya, para ulama sepakat bahwa perbuatan beliau bisa dijadikan dalil. Hanya saja, para ulama bersilang pendapat dalam mengarahkannya, apakah mau diarahkan ke hukum wajib atau sunnah. Ibnu arobi berkata,

Kalangan umat menyepakati bahwa  perbuatan Nabi  adalah rujukan dan menjelaskan terhadap musykilat, sampai-sampai para sahabat meneliti semua yang dilakukan oleh Nabi baik itu ketika makan, minum, berpakaian, berdiri, duduk dan lain-lain.”

   Meninjau bahwa beragamnya aktifitas yang beliau lakukan maka para ulama mengategorikannya menjadi beberapa macam. Di antaranya,

1) Perbuatan yang beliau lakukan sehari-hari, seperti berdiri, duduk, makan, minum, dan semua pekerjaan yang tidak didasari oleh keinginan. Mudahnya adalah aktifitas sehari-hari beliau. Dari sini, mayoritas ulama usul memastikan bahwa hal ini diperbolehkan terhadap beliau sendiri dan umatnya. menimbang beliau melakukannya bukan untuk menjelaskan syariat. Namun, ada sebuah pendapat yang ditukil oleh Qadi al-Baqillani dan Imam Ghazali bahwa sunah untuk mengikuti beliau dalam masalah ini. Kesunahan ini bukan dari segi pekerjaannya, melainkan dari segi tabarrukan kepada beliau.

   2) Perbuatan yang hanya diperbolehkan kepada beliau saja. Dalam hal ini, umat beliau tidak boleh mengikutinya menurut kesepakatan ulama. Perbuatan beliau ini bisa juga diistilahkan dengan khususiat terhadapnya. Di antara contoh perbuatan yang tergolong dalam hal ini adalah kebolehan puasa wishal, menikahi istri lebih dari empat, tidak batal wudunya dengan sebab tidur terlentang, dan lain-lain.

3) Perbuatan beliau yang tidak diketahui apakah mengarah terhadap pekerjaan sehari-hari atau terdapat unsur syariatnya. Hal itu dikarenakan jika dilihat sepintas maka mengarah terhadap perbuatan sehari-harinya, tetapi perbuatan ini terjadi bersamaan dengan beliau melakukan ibadah atau menjadi wasilah dari ibadah. Adapun perbuatan yang dicontohkan ulama tergolong dalam kategori ini di antaranya adalah beliau berhaji dengan cara berkendara, berangkat  dan pulang  dari masjid melalui jalan yang berbeda pada hari id, tidur sebentar setelah sholat qobliyah subuh dan memakai cincin.

Dari sini, ulama berbeda pendapat dalam menghukumi perbuatan ini, apakah hukumnya hanya sebatas boleh, sama seperti pekerjaan beliau yang diakukan sehari-hari, atau berhukum sunah karena beliau diutus untuk menjelaskan syariat. Perbedaaan hukum ini timbul karena bertentangannya dalil asal yang menunjukkan tidak ada unsur pensyariatan dengan dalil zhahir yang menunjukkan bahwa semua yang dilakukan Nabi pasti berdasarkan pensyariatan karena beliau diutus untuk menjelaskan syariat.

4) Perbuatan Nabi yang bertujuan untuk menjelaskan perkara yang masih mujmal atau berdasarkan taat terhadap perintah. Maka dalam konteks ini, hukumnya sama dengan apa yang dijelaskan. Jika perkara mujmal-nya berhukum wajib maka perbuatan beliau juga berhukum wajib seperti perbuatan beliau menjelaskan tata cara shalat dalam sabda beliau, “Sholatlah kalian sebagaimana aku sholat.” Maka melakukan shalat sebagaimana yang dicontohkan nabi itu berhukum wajib, sebagaimana diwajibkannya shalat itu sendiri.

   5) Perbuatan yang dilakukan beliau dengan tujuan untuk menjelaskan bahwa hukum perbuatan tersebut adalah boleh. Gambarannya, ada suatu perbuatan yang dilakukan beliau secara kontinu tetapi di suatu waktu beliau melakukan perkara yang bertentangan dengan pekerjaan tersebut. Maka, pekerjaan ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa hukumnya boleh dilakukan dengan artian tidak mendapatkan dosa jika rtidak dilakukan, hanya saja berhukum makruh atau khilaful aula.

Namun perlu diketahui, perbuatan ini berhukum makruh jika dinisbatkan kepada selain beliau. Jika dinisbatkan kepada beliau maka beliau tidak mungkin melakukan perkara yang makruh karena beliau terjaga dari perkara yang makruh. Lantas kenapa beliau melakukannya? Hal itu beliau lakukan demi untuk kemaslahatan umatnya bahwa perbuatan tersebut hukumnya boleh dilakukan. Dari sini, sudah jelas bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh Nabi pasti bertujuan untuk menjelaskan perbuatan mana yang lebih utama dengan yang tidak utama, mana yang boleh dengan yang tidak boleh.

   Kesimpulannya, semua aktifitas yang beliau lakukan pasti ada pengaruh terhadap hukum syariat. Hal itu dikarenakan beliau diutus untuk menjelaskan syariat dan menyampaikan agama yang beliau terima dari shahibus syariah. Wallahua’lam.

Oleh : Yusuf Fatwa / Redaksi Istinbat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *