Salawat Koplo dalam Lingkaran Fikih
Tujuan maulid Nabi adalah menambah rasa cinta kepada Rasulullah ﷺ dan mengagungkannya dengan membaca salawat dan syama’il. Oleh karena itu, pembacaan maulid seharusnya dilakukan dengan penuh khidmat dan menampakkan rasa ta’zhim.
Masyarakat Indonesia lumrahnya merayakan maulid dengan cara membaca salawat Simtud Durar, al-Habsyi, dan yang lainnya dengan dilantunkan bersama sama. Hanya saja, dalam perhelatan maulid Nabi, seringkali kita temukan tindakan yang dianggap kurang etis dilakukan, mulai dari cara melantunkan maulid dengan irama koplo, reggae, dan lain sebagainya. Sebenarnya, bagaimana syariat memandang hal tersebut?
Istilah koplo merupakan mutasi dari musik dangdut dengan irama yang lebih cepat. Pada awalnya, irama koplo dipopulerkan oleh grup orkes yang merajai pentas rakyat di pulau Jawa. Dilansir dari RRI.co.id, dangdut koplo juga dipopulerkan oleh pedangdut Inul Daratista, dan semakin menyebar ke seantero Indonesia setelah kontroversi ‘Goyang Ngebor’ yang sempat menggegerkan stasiun televisi di tanah air. Oleh karena itu, melantunkan salawat dengan irama seperti itu dapat mengubah tatanan bacaan yang ada karena harus disesuaikan dengan irama yang relatif cepat.
Secara prinsip, selain bacaan al-Quran tidak ada tuntunan irama khusus, sehingga sah-sah saja melantunkan salawat dengan model apapun sekalipun berpotensi mengubah tatanan bacaannya. Dalam Ihya’ Ulumiddin, Imam Ghazali menjelaskan:
“Pegaruhnya syair terhadap jiwa itu berbeda sesuai dengan irama yang dibawakan. Perbedaan irama ini terjadi dengan membaca panjang bacaan yang pendek, dan membaca pendek bacaan yang panjang, serta berhenti di tengah-tengah kalimat, dan menyambung di sebagian yang lain. Hal demikian diperbolehkan dilakukan dalam syair, tidak dengan al-Quran, karena al-Quran hanya boleh dibaca sesuai dengan bacaan yang diturunkan, sehingga membaca panjang bacaan yang pendek, atau sebaliknya yang tidak sesuai dengan prosedur bacaan yang diturunkan itu diharamkan atau dimakruhkan.”[1]
Senada dengan yang disampaikan Imam Ghazali, menurut Syaikh Thaifur dalam kitab Bulghatuth-Thullab, tidak masalah mengubah bacaan dengan membaca panjang bacaan pendek atau sebaliknya dalam pembacaan maulid, dengan dibaca ‘مَرْحَبًا يَا نُوْرَ عَايْنِ’ , karena tindakan demikian itu sah dilakukan dalam syair, tidak boleh dalam bacaan al-Quran, Hadis, dan nama-nama mu’azhzham yang sudah tauqifi.[2]
Namun, sekalipun diperbolehkan merubah bacaan, dalam pembacaan salawat ada hal lain yang perlu diperhatikan. Di antaranya, etika dalam melantunkannya serta makna yang terkandung di dalamnya. Imam Ibnu Ziyad dalam Ghâyatu Talkhîshil-Murâd menegaskan:
“Yang utama bagi mereka (orang yang berkumpul membaca salawat) adalah meninggalkan irama khas mereka. Sungguh Imam Suyuthi telah menjelaskan tentang keharamannya, tetapi hal itu berlaku jika tidak beradab dan sampai mengubah terhadap makna.”
Dengan demikian, jelas bahwa melantunkan salawat dengan irama koplo tidak diperkenankan jika sampai meninggalkan etika bersalawat dan mengubah terhadap maknanya.
Tidak hanya itu, faktor yang dapat menyebabkan tidak diperbolehkannya salawat dengan irama koplo adalah tasyabbuh, mengingat di beberapa daerah di Indonesia koplo merupakan ciri khas irama orang fasik. Dalam hal ini, Imam al-Munawi dalam kitab Faidhul-Qadîr menegaskan: “Imam al-Qurtubi berkata: ‘Pakaian yang tertentu terhadap orang fasik, maka tidak diperkenankan bagi selain mereka untuk menggunakannya, karena orang lain yang tidak menegetahuinya akan berprasangka buruk dengan mengatakan bahwa orang yang memakai baju tersebut merupakan bagian dari golongan orang fasik, sehingga berdosalah orang yang menyangka jelek karena sangkaannya, dan orang yang disangka karena mendorong orang lain melakukan hal tersebut.”[3]
Masalah tasyabbuh tidak hanya berlaku dalam pakaian saja. Buktinya, Imam al-Munawi memaparkan bahwa tasyabbuh bisa berlaku dalam masalah batin seperti keyakinan, dan juga zahir seperti perkataan, dan perbuatan baik dalam ibadah atau tradisi.[4] Melantunkan salawat dengan irama koplo bisa dikategorikan tasyabbuh yang diharamkan jika dilantunkan di daerah irama tersebut dianggap sebagai ciri khas orang fasik, karena keharaman tasyabbuh terhadap ciri khas tertentu itu berlaku terhadap orang yang berada di daerah tersebut, tidak dengan yang lainnya.[5]
Ala kulli hal, hukum asal membaca salawat dengan irama koplo diperbolehkan selama tidak mengabaikan etika dan merusak terhadap makna yang dikandungnya, serta tidak dilantunkan di daerah dimana koplo menjadi ciri khas orang fasik. Hanya saja, alangkah baiknya meninggalkan tindakan tersebut, karena menurut Sayyid Ahmad Zaini Dahlan salah satu mufti Syafiiah di Makkah, membaca salawat dengan menggunakan irama yang dapat menyebabkan lahn (keliru) dalam bacaan haram secara mutlak, karena membaca dengan fasih, khusyu’ serta beradab itu diwajibkan dalam membaca maulid dengan alasan mengagungkan Nabi Muhammad.[6] Wallahu a’lam bis-shawab.
Oleh: Faqihuddin/Sekred Istinbat
[1] Al Ghazali, Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, II/ 429
[2] Taifur Ali Wafa, Bulghathuth Thullab, Hal: 28
[3] Al-Munawi, Muhammad Abdul Rauf bin Taj Arifin, Faidul Qadir, VI/104
[4] Idem
[5] Al-Syarwani, Abdul Hamid bin al-Husain, Hawasyi al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, III/26
[6] Ahmad Zaini Dahlan, Bida’ul Masajid, Hal: 33