Menguak Hakikat Khurafat
Ada beberapa hal yang terjadi di dunia ini menyalahi kebiasaan yang berlaku atas kehendak Allah subhanahu wata’ala. Hal ini disebut dengan “khawariqul-adah”. Perkara yang tidak selaras dengan kebiasaan dan kadang tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia pada umumnya dibagi menjadi tujuh. Pertama, mukjizat. Mukjizat hanya dimiliki oleh para nabi. Kedua, karamah. Karamah hanya dimiliki oleh para wali. Ketiga, irhash. Irhash hanya dimiliki oleh para nabi sebelum mereka diangkat menjadi nabi. Keempat, ma’unah. Ma’unah merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh semua orang muslim. Kelima, ibtila’. Ibtila’ hanya dimiliki oleh Dajjal. Keenam, istidraj. Istidraj diberikan kepada orang-orang yang ahli maksiat, fasiq dan kafir. Ketujuh, mahanah. Mahanah diberikan kepada orang-orang kafir untuk menguak kebohongannya.[1]
Banyak orang yang mengingkari keberadaan karamah yang Allah berikan pada para wali dan mengklaimnya sebagai khurafat. Lalu, apa perbedaan antara karamah dengan khurafat? Istilah khurafat mengacu pada hadis nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: حَدَّثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ نِسَاءَهُ ذَاتَ لَيْلَةٍ حَدِيْثًا فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّ الحَدِيْثَ حَدِيْثُ خًرَافَةَ. فَقَالَ : أَتَدْرٌوْنَ مَا خُرَافَةُ إِنَّ خُرَافَةَ كَانَ رَجُلًا مِنْ عُذْرَةَ أَسَرَتْهُ الجِنُّ فِي الجَاهِلِيَّةِ فَمَكَثَ فِيْهِنَّ دَهْرًا طَوِيْلًا ثُمَّ رَدُّوْهُ إِلَى الإِنْسِ فَكَانَ يُحَدِّثُ النَّاسَ بِمَا رَأَى فِيْهِمْ مِنَ الأّعَاجِيْبِ فَقَالَ النَّاسُ حَدِيْثُ خُرَافَةَ
Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: “Pada suatu malam, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah menceritakan satu kisah kepada para istrinya. Lalu salah satu dari mereka berkata: “Sepertinya kisah tesebut merupakan kisah khurafat!” Rasulullah menjawab: “Apakah kalian tahu khurafat? Khurafat adalah seorang laki-laki yang berasal dari Bani Udzrah. Ia ditawan oleh jin di masa jahiliah dan hidup bersama golongan jin di waktu yang cukup lama. Kemudian, mereka mengembalikannya lagi kepada golongan manusia. Lalu ia menceritakan keajaiban-keajaiban yang ia lihat di golongan jin kepada orang lain, dan mereka berkata: “Itulah kisah Khurafat.” (H.R. Ahmad)
Dari hadis ini, timbullah istilah khurafat. Imam Ali al-Qari memaknai khurafat sebagai cerita yang dibuat-buat dan berisi kebohongan belaka.[2] Lalu bagaimana dengan kriteria karamah? Ulama memaparkan kaidah berikut:
مَا جَازَ لِلأَنْبِيَاءِ مُعْجِزَةً جَازَ لِلأَوْلِيَاءِ كَرَامَةً
“Setiap perkara yang bisa menjadi mukjizat para nabi juga bisa menjadi karamah para wali.”[3]
Berdasarkan kaidah ini, semua perkara yang menyalahi kebiasaan dan bisa menjadi mukjizat para nabi juga bisa menjadi karamah para wali. Hanya saja, mukjizat disertai dengan pengakuan sebagai nabi. Ada seseorang yang bertanya pada imam Ibnu Abidin: “Apakah Kakbah bisa mengunjungi seorang wali?” Beliau menjawab: “Menyalahi kebiasaan bagi seorang wali bisa saja terjadi menurut Ahlussunnah wal Jamaah”.[4]
Untuk mengklaim sebuah karamah yang dimiliki oleh seorang wali, kita perlu menjustifikasi kebenaran kisah tersebut dengan menggali kredibilitas orang yang menceritakaanya. Sayid Abdullah bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memahami karamah. Beliau mengatakan bahwa setiap kisah yang tidak masuk akal dan mustahil terjadi dikategorikan sebagai khurafat, bukan karamah. Banyak cerita yang menghimpun karamah para wali yang ia anggap sebagai takhayul. Salah satunya adalah cerita Sayid Ahmad al-Badawi. Beliau merupakan wali yang sangat terkenal di Thantha. Diceritakan bahwa beliau memakai dua penutup wajah. Suatu saat, muridnya yang bernama Abdul Majid ingin melihat wajah gurunya tersebut. Sayyid Ahmad al-Badawi mencegahnya dan berkata: “Setiap pandangan akan membahayakanmu, wahai Abdul Majid.” Muridnya menimpali: “Wahai guru, perlihatkan wajahmu padaku meski aku harus mati setelah memandangnya!” Lalu Sayid Ahmad al-Badawi membuka penutup wajah bagian atas dan muridnya mati setelah memandang wajahnya sebab cahaya yang ia lihat. Sayid Abdullah bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari mengatakan bahwa cerita ini adalah khurafat dan mustahil terjadi. Ia menyatakan bahwa kematian muridnya bukan karena cahaya yang memancar dari wajahnya. Namun, karena ia kaget melihat wajah Sayid Ahmad al-Badawi yang sangat jelek. Bahkan, kejelekannya melebihi kejelekan wajah al-Jahizh yang biasa diceritakan oleh para wanita guna menakut-nakuti anak mereka pada masa itu. Dengan alasan ini juga, ia memakai dua penutup wajah dan tidak pernah membukanya kecuali saat Sayid Hasan mengunjunginya.[5]
Kendati demikian, Sayid Abdullah bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari tidak mengingkari keberadaan karamah. Ia banyak menyertakan dalil-dalil kebenaran karamah dalam karyanya. Kita tidak boleh mengingkari keberadaan karamah dan mengklaim semua karamah sebagai khurafat atau takhayul. Mengingkari karamah berhukum haram bahkan bisa menyebabkan kekufuran bila mengingkari kuasa Allah subhanahu wata’ala untuk mewujudkan karamah tersebut sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh Abu turab an-Nakhsyabi.[6]
Oleh: Irfan Maulana/ Pemred Istinbat
[1] Bin Sumaith, Zen bin Ibrahim, Bahjatuth-Thalibin, 50
[2] Al-Qari, Ali bin Sulthan Muhammad, Jam’ul-Wasa’il fi Syarhi asy-Syama’il, II/58
[3] Al-Haitami, Ibnu Hajar, Al-Fatawa al-Haditsiyah, I/213
[4] Ibnu Abidin. Sallu al-Husam al-Hindi. 294
[5] Al-Ghumari, Abdullah bin Muhammad. An-Naqdu al-Mubram li Risalatisy-Syarafi al-Muhtam, 42
[6] Bin Sumaith, Zen bin Ibrahim, Bahjatuth-Thalibin. 52