Membangun Persatuan Umat Ala Rasulullah ﷺ
Persatuan umat Islam merupakan pondasi utama dalam membangun kekuatan umat dan menjaga kejayaan peradaban Islam. Sejarah mencatat, kejayaan Islam di masa Rasulullah ﷺ dan Khulafaur Rasyidin tumbuh dari ukhuwah dan kesatuan hati di antara para shahabat. Walaupun mereka berbeda latar belakang namun mereka dipersatukan oleh akidah yang sama.
Hal ini dicapai Rasulullah melalui beberapa langkah beliau setibanya di Madinah. Hal pertama kali yang beliau lakukan di Madinah adalah membangun pondasi penting bagi persatuan umat. Pondasi-pondasi tersebut diwujudkan oleh Rasulullah melalui tiga hal:[1]
- Membangun masjid Nabawi
Pembangunan Masjid Nabawi merupakan hal yang pertama kali Rasulullah lakukan ketika berada di Madinah. Masjid Nabawi dibangun di tempat berhentinya unta Rasulullah. Beliau kemudian membeli tanah itu dari dua anak yatim yang ada di bawah pengawasan As’ad bin Zurarah dari Bani Najjar. Sebelumnya dua anak yatim tersebut ingin memberikannya kepada Rasulullah. Akan tetapi Rasulullah menolak dan membelinya seharga sepuluh dinar.
Imam al-Bukhari dalam Shahihul-Bukhari meriwayatkan hadis dari shahabat Anas bin Malik bahwa di tempat tersebut terdapat kuburan orang-orang musyrik, bekas reruntuhan bangunan, dan kebun kurma. Kemudian Rasulullah memerintahkan para shahabat untuk menggali kuburan dan memindahkanya serta menghancurkan reruntuhan dan menebang pohon kurma di tempat tersebut. Setelah itu Rasulullah beserta para shahabat membangun Masjid Nabawi di tempat itu menggunakan pohon kurma yang telah ditebang untuk dijadikan tiang penyanggah dan batu bekas reruntuhan sebagai pondasinya.
Ketika awal awal pembangunan, Masjid Nabawi dibangun menggunakan batu bata dari tanah liat, dan diatapi dengan pelepah kurma. Kemudian Rasulullah menentukan arah kiblat dan menjadikan panjang dan lebarnya kira-kira satu dzhira’. Sedangkan lantainya dibuat dari tanah yang dilapisi pasir dan kerikil dari batu cadas. Rasulullah juga ikut andil dalam pembangunan ini bersama para sahabat. Bahkan beliau mengangkat batu bata sendiri untuk dijadikan tembok masjid.[2]
Syekh Said Ramadhan al-Buthi menjelaskan dalam kitabnya Fiqhus-Sirah Nabawiyah bahwa sistem dan syariat Islam yang dijalankan Rasulullah menekankan persamaan dan keadilan antara kaum muslimin dari berbagai lapisan sosial. Namun hal ini tidak akan terwujud selama kaum muslim tidak berkumpul dalam satu barisan yang sama setiap hari, dan mengarahkan wajah mereka ke satu kiblat, serta bersatunya hati pada satu tujuan. Sistem ini mengarahkan kaum muslim untuk melihat keutamaan dari sudut pandang ketakwaan, dan membangun mindset bahwa siapa saja yang tunduk dan sujud kepada Allah, adalah saudara bagi mereka. Lebih lanjut Syekh Said Ramadhan al-Buthi menerangkan bahwa jika kebersamaan dalam ibadah dan bersatunya umat dalam sujud ini hilang, maka akan timbul sifat egois, sombong, dan individualisme.[3]
Pembangunan Masjid Nabawi merupakan langkah awal dalam membangun persatuan umat Islam di Madinah. Di samping sebagai tempat pemersatu umat atas semua perbedaan yang ada, Masjid Nabawi juga difungsikan sebagai tempat musyawarah Rasulullah bersama para sahabat, dan menjadi tempat kaum muslim menerima ajaran dan tuntunan Islam dari sumbernya langsung.[4]
Baca Juga: Keajaiban-Keajaiban saat Kelahiran Nabi Akhir Zaman
- Mempersaudarakan kaum muslim khususnya antara muhajirin dan Anshar
Selain pembangunan masjid sebagai tempat pemersatu umat Islam, Rasulullah juga membangun pondasi persatuan umat dengan mempersaudarakan para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Persaudaraan ini bertujuan untuk memeperkuat rasa persatuan antara dua kaum yang berbeda. Oleh karena itu tujuan dari persaudaraan ini adalah membangun rasa saling menolong dan bahkan saling mewaris antar sahabat yang dipersaudarakan, sehingga pengaruh ukhuwah islamiah saat itu lebih kuat dari pada pengaruh hubungan darah.
Ketetapan saling mewaris di atas terus berlanjut hingga peristiwa perang Badar Kubra. Setelah perang tersebut, turunlah firman Allah:
وَأُولُوا الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ [الأنفال ٨/ ٧٥]
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak dalam Kitab Allah.” (QS. al-Anfal[8]: 75).
Turunnya ayat ini kemudian menjadi hukum yang menghapus ketetapan sebelumnya dan memutuskan dampak dari ukhuwah Islamiyah dalam hal warisan. Namun ruh persaudaraan masih tertanam dalam lubuk hati mereka.[5]
Di antara shahabat yang dipersaudarakan oleh Rasulullah ﷺ adalah Ja’far bin Abi Thalib dengan Mu’adz bin Jabal, Hamzah bin Abdul Muththalib dengan Zaid bin Haritsah, Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan Kharijah bin Zaid, Umar bin Al-Khaththab dengan ‘Itban bin Malik, dan Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’.[6]
- Pembentukan Piagam Madinah
Setelah memperkuat umat Islam dari dalam, Rasulullah ﷺ kemudian meminimalisir perpecahan antar umat baik dari dalam ataupun luar. Hal ini Rasulullah lakukan dengan membuat sebuah piagam yang berisi ketentuan-ketentuan antara kaum Muhajirin dan Ansar dan hasil negosiasi dengan kelompok Yahudi Madinah. Piagam ini berisi enam belas poin yang menguntungkan satu sama lain.[7]
Imam Ibnu Ishaq menyebutkan isi dari piagam ini dalam kitabnya tanpa adanya sanad (rantai periwayatan), sementara itu Ibnu Khaitsamah meriwayatkannya isi dari piagam itu dengan adanya sanad. Ia berkata:
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Janab Abu al-Walid, dari ‘Isa bin Yunus, dari Katsir bin ‘Abdullah bin ‘Amr Al-Muzani, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah ﷺ telah menulis piagam antara kaum Muhajirin dan Anshar.”
Kemudian ia menyebutkan isi dari piagam itu sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq dalam kitabnya.[8]
Inilah tiga pondasi yang Rasulullah lakukan dalam rangka membangun persatuan umat yang menjadi hal paling penting bagi keberlangsungan peradaban Islam khususnya di Madinah kala itu. Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ tidak lama dari menetapnya Rasulullah di Madinah, hingga hampir seluruh penduduk Arab di Madinah memeluk Islam. Tidak ada satu rumah pun dari kaum Anshar yang tidak memeluk agama Islam, kecuali beberapa individu dari suku Aus.[9]
Perpecahan hanya akan melemahkan umat dan membuka jalan bagi musuh-musuh Islam untuk menguasai dan merusak nilai-nilai agama. Oleh karena itu, menjaga persatuan adalah kewajiban moral dan agama setiap muslim, demi mewujudkan masyarakat Islam yang kokoh, damai, dan berpengaruh.
Hubbi Abdillah/Istinbat
Baca Juga: DARI PAKUAN PAJAJARAN, KERAJAAN CAMPA HINGGA KETURUNAN RASULULLAH
[1] Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fikh as-Sirah, 142, Dar al-fikr.
[2] Shafiyyur Rahman Mubarakfury, ar-Rahiq al-Makhtum, 166, Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
[3] Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus-Sirah, 144, Dar al-fikr.
[4] Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus-Sirah, 145, Dar al-fikr.
[5] Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus-Sirah, 144, Dar al-fikr.
[6] Abdul Malik bin Hisyam, Sirah ibn Hisyam, II/109-110, Maktabah Syamilah.
[7] Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus-Sirah, 150, Dar al-fikr.
[8] Muammad bin Muhammad Ibn Sayyid an-Nas, Uyun al-Atsar, Dar al-Ma’rifah
[9] Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus-Sirah, 150, Dar al-fikr.