Benarkah Muawiyah Mau Merebut Khilafah?

Pada tahun ke 37 Hijriah tepatnya hanya berselang 25 tahun pasca wafatnya Rasulullah ﷺ. Ada sebuah catatan sejarah yang menunjukkan konflik berdarah yang melibatkan sesama Muslim. Konflik itu terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Catatan tersebut menunjukkan bahwa konflik berdarah yang melibatkan sesama Muslim sudah terjadi pada masa-masa permulaan Islam, yang mana masa itu adalah masa hidupnya generasi terbaik sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ، وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ. رواه البخاري، ومسلم

Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah masaku, lalu orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka. Selanjutnya datang kaum-kaum yang kesaksian salah seorang mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya”  (HR al-Bukhari dan Muslim)

Menurut Qodi Iyad bin Musa al-Maliki, kata qorn di sini berarti sahabat. Dengan artian hadis di atas menjelaskan tentang generasi manusia yang terbaik yaitu masa Rasulullah dengan para sahabat beliau. Selanjutnya masa setelah sahabat adalah masa tabi’in, pengikut para sahabat. Setelah itu adalah masa tabi’ut tabi’in yakni pengikut tabi’in, dan seterusnya.1

Benih-benih perpecahan di kalangan umat Islam pada era sahabat mulai berkembang sejak terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan di tangan kaum pemberontak pada 18 Dzulhijjah 35 H. Muawiyah yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Suriah masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Utsman. Ia menginginkan agar pembunuh Utsman segera diadili. Namun, Muawiyah menganggap Ali yang ketika itu terpilih sebagai Khalifah pengganti Utsman tidak memiliki niat untuk melakukan hal tersebut, sehingga gubernur Suriah itu pun memberontak terhadap sang Khalifah.

Ali yang menurutnya sudah sah menjadi Khalifah pengganti Utsman, menghadapi situasi negara yang tidak stabil lantaran adanya perlawanan dari beberapa kelompok, termasuk dari Muawiyah yang ketika itu bersikukuh untuk lebih dulu mengadili pembunuh Utsman secepatnya.

Konflik ini kemudian dianggap sebagai konflik politik dan perebutan kekuasan oleh sebagian pengamat sejarah Islam. Mereka menuduh bahwa pemberontakan Muawiyah kepada Ali bin Abi Thalib dianggap sebagai aksi perebutan kekuasaan yang berkedok kebenaran yaitu menuntut pembunuh Utsman.

Lalu bagaimana sebenarnya pendapat ulama Ahlussunnah wal Jamaah tentang hal ini?

Sebelum mengurai pendapat para ulama Ahlussunnah wal Jamaah tentang hal ini, perlu kiranya mengetahui bahwa tuduhan ini sebenarnya sudah pernah dilontarkan oleh Syabats bin Rib’i bin Hushain al-Tamimi al-Yarbu’i. Ia termasuk bangsawan Kufah dan dalam sejarah Islam sosoknya dikenal labil dan penuh kelabu.

Syabats termasuk orang pertama yang membantu pemberontakan pada Utsman bin Affan. Ia juga pernah bergabung dengan pasukan Khawarij. Pada peristiwa Karbala ia tergolong dari orang-orang yang menulis surat kepada Sayyidina Husain dan meminta Sayyidina Husain untuk datang ke Kufah. Namun karena kekuasaan Ibnu Ziyad atas Kufah, ia mengubah sikapnya dengan mencerai beraikan penduduk Kufah dari sisi Muslim bin ‘Aqil yang ketika itu menjadi utusan dari Sayyidina Husain.2 Lebih parahnya lagi, ia pernah menjadi mu’addin salah satu orang yang pernah mengaku nabi yaitu Sajjah.

Tuduhan itu terjadi tepatnya ketika Ali megutus empat orang untuk bernegosiasi dengan Muawiyah agar ia mau patuh pada kepemerintahan Ali. Empat orang di antara mereka adalah Syabats bin Rib’i bin Hushain al-Tamimi al-Yarbu’i. Setelah tiga orang tak berhasil bernegosiai dengan Muawiyah, Syabats langsung melontarkan tuduhannya kepada Muawiyah. Dia berkata:

Wahai Muawiyah, aku mengerti jawabanmu kepada Ibnu Muhsin. Demi Allah, apa yang kamu inginkan tidak tersembunyi dari kami. Kamu tidak menemukan apa yang dapat digunakan untuk menipu orang, untuk mendapatkan simpati mereka, dan untuk mendapatkan kepatuhan mereka, kecuali ucapanmu “Imam kalian telah dibunuh secara tidak adil maka kita harus menuntutnya”, sehingga banyak kelompok orang-orang bodoh yang simpati padamu. Kami tahu bahwa kamu mengulur waktu dan kamu ingin membunuhnya untuk jabatan yang kamu tuntut ini.3

Akhirnya negosiasi menemui jalan buntu, sehingga perang pun tak terelakkan lagi. Kontak senjata yang paling sengit antara kubu Ali dan Muawiyah berlangsung di tebing Sungai Furat selama tiga hari, yakni dari 9-11 Safar 37 H. Pertempuran inilah yang di kemudian hari dikenal dengan Perang Shiffin.

Jika kita amati percakapan di atas, kita akan menemukan tuduhan sebagian pengamat sejarah kepada Muawiyah sangat mirip dengan ucapan Syabats ini. Mereka sama-sama menganggap bahwa penuntutan darah Utsman hanyalah sebatas kedok, yang sebenarnya tujuan inti adalah mengejar jabatan khilafah. Mereka seakan bisa membaca hati Muawiyah, dan berburuk sangka padanya. Padahal husnudzon kepada seorang muslim itu wajib apalagi kepada Muawiyah yang bersetatus sahabat nabi. Jadi bisa dibilang pengamat sejarah yang berpemahaman seperti di atas itu merupakan Syabats masa kini.

Kemudian tentang pendapat para ulama Ahlussunnah wal Jamaah sebagai berikut:

Ibnu Hajar al-Haitami berkata:

«وَمِنْ اِعْتِقَادِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أن ما جرى بين علي ومعاوية – رضي الله عنهما – من الحروب فلم يكن لمنازعة معاوية لعلي في الخلافة للإجماع على أحقيتها لعلي كما مر فلم تهج الفتنة بسببها، وإنما هاجت بسبب أن معاوية ومن معه طلبوا من علي تسليم قتلة عثمان إليهم، لكون معاوية ابن عمه فامتنع علي».4

Di antara keyakinan Ahlussunnah wal jamaah bahwa perang yang terjadi antara Ali dan Muawiyah – semoga Allah meridhoi mereka berdua – bukan karena perselisihan Muawiyah dengan Ali dalam kekhilafahan, karena sudah ada kesepakatan atas berhaknya Ali sebagaimana keterangan yang telah berlalu. Jadi perselisihan tidak muncul karena itu, tetapi perselisihan itu muncul karena Muawiyah dan orang-orang yang bersamanya meminta Ali untuk menyerahkan pembunuh Utsman kepada mereka Karena Muawiyah adalah sepupunya, namun Ali menolaknya.

Imam al-Haramain  al-Juwaini juga angkat bicara tentang hal ini dengan menyatakan:

«إن معاوية وإن قاتل علياً فإنه لا ينكر إمامته، ولا يدعيها لنفسه، وإنما كان يطلب قتلة عثمان ظاناً منه أنه مصيب وكان مخطئاً».5

Sesungguhnya meskipun Muawiyah memerangi Ali, dia tidak menyangkal ke Imamahanya, juga tidak pernah mengklaimnya untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, dia hanya mencari pembunuh Utsman. Ia berpikir bahwa dia benar padahal dia salah.

Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah juga sependapat dengan ulama Ahlussunnah wal Jamaah dengan pernyataannya sebagai berikut:

وَمُعَاوِيَةُ  لَمْ يَدَّعِ الْخِلَافَةَ ؛ وَلَمْ يُبَايَعْ لَهُ بِهَا حِينَ قَاتَلَ عَلِيًّا، وَلَمْ يُقَاتِلْ عَلَى أَنَّهُ خَلِيفَةٌ، وَلَا أَنَّهُ يَسْتَحِقُّ الْخِلَافَةَ، وَيُقِرُّونَ لَهُ بِذَلِكَ، وَقَدْ كَانَ مُعَاوِيَةُ يُقِرُّ بِذَلِكَ لِمَنْ سَأَلَهُ عَنْهُ

Muawiyah tidak pernah mengklaim dirinya sebagai Khalifah, dan dia tidak pernah  meminta dibaiat ketika memerangi Ali, dan dia tidak memerangi Ali untuk menjadi Khalifah, dan dia tidak pernah merasa bahwa dia berhak menjadi Khalifah. Mereka mengakui itu semua, dan Muawiyah juga mengakui itu kepada orang yang bertanya kepadanya.

Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah menyebutkan, Abu Muslim al-Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dan mengatakan, “Apakah engkau mau menyaingi Ali?” Muawiyah lantas menjawab, “Tidak, demi Allah. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia lebih utama dariku dan lebih berhak memegang khilafah daripada aku. Akan tetapi, seperti yang kalian ketahui, Utsman terbunuh dalam keadaan terzalimi, sedangkan aku adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepada Ali, serahkan para pembunuh Utsman kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya.”6

Namun, Ali tetap tidak mau mengabulkan permintaan Muawiyah tersebut atas pertimbangan kemaslahatan. Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi ﷺ pada peristiwa ifki, yaitu ketika sebagian orang menggosipkan Aisyah telah selingkuh. Demikian juga dengan Ali, dia berpandangan menunda qishash akan menimbulkan kerusakan yang lebih kecil daripada mempercepatnya.

Selain itu, pada masa-masa tersebut, Ali memang tidak mampu untuk mengqishash para pembunuh Utsman karena orang-orangnya belum diketahui, walaupun memang ada otak terjadinya fitnah ini. Mereka juga mempunyai kabilah-kabilah yang akan membela mereka. Sedangkan keamanan belum pulih dan fitnah saat itu masih terjadi.

Oleh karena itu, ketika tampuk kekhilafahan dipegang oleh Muawiyah, ia pun tidak membunuh para pembunuh Usman Radhiyallahu Anhu, mengapa? Karena, pada akhirnya berkesimpulan sama seperti Ali.

Ketidak mampuan Ali ini pernah disampaikan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah sebagai berikut:

«لم يكن علي مع تفرق الناس عليه متمكناً من قتل قتلة عثمان، إلا بفتنة تزيد الأمر شرّاً وبلاءً.  إلى أن قال : ولما سار طلحة والزبير إلى البصرة ليقتلوا قتلة عثمان، قام بسبب ذلك حرب قتل فيها خلق. ومما يبين ذلك أن معاوية قد أجمع الناس عليه بعد موت علي، وصار أميراً على جميع المسلمين، ومع هذا فلم يقتل قتلة عثمان الذين كانوا قد بقوا». 7

“Ali, dengan kondisi orang-orang yang terpecah belah tidak memungkinkan langsung mengeksekusi para pembunuh Utsman, kecuali dengan fitnah yang akan menambah masalah dan malapetaka. Hal itu terbukti ketika Talhah dan az-Zubair pergi menuju ke Basrah untuk mengeksekusi para pembunuh Utsman, sebuah perang pecah di mana banyak orang yang gugur. Di antara yang membuat ini jelas adalah bahwa setelah Muawiyah disetujui menjadi Khalifah oleh orang-orang setelah kematian Ali, dan dia menjadi pemimpin semua Muslim, ternyata dia tidak membunuh pembunuh Utsman yang tersisa.

Ketika itu Ali melihatnya secara realita. Sementara Muawiyah berkesimpulan berdasarkan analisanya saja. Tapi setelah memegang tampuk kepemimpinan, Muawiyah melihat kondisinya secara riil (di lapangan).

Benar, Muawiyah memang telah mengirimkan orang untuk mengqishash sebagian di antara pembunuh Utsman, tetapi sebagiannya masih hidup sampai zaman al-Hajjaj. Barulah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan mereka diqishash semuanya. Intinya, Ali belum bisa membunuh mereka bukan karena lemah, tetapi karena mengkhawatirkan keadaan umat ketika itu.

Kesimpulan dari kisah di atas, dalam pandangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah,  perselisihan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah tidak dipicu dengan masalah kepemimpinan melainkan karena ada perbedaan ijtihad dalam masalah furu’. Ali memandang bahwa pengqishasan harus ditunda sedangkan Muawiyah berpendapat sebaliknya. Sehingga keduanya sama-sama mendapatkan pahala dengan rincian yang salah mendapatkan satu pahala sedangkan yang benar mendapatkan dua pahala sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ :

إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala.” 8

Oleh: M Usman


Refrensi:

  1. Al-Qadi, Abul Fadl, Iyad bin Musa bin Iyad al-Maliki, Masyariq al-Anwar ala Shihahi al-Atsar, 2/179.
  2. Syihabuddin, Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar, as-Sawaiq al-Muhriqah, hlm. 216. Maktabah Syamilah.
  3. Abul Hasan, Ali bin Abul Karim, Muhammad bin Muhammad bin Abdil Karim as-Syaibani, al-Kamil fi at-Tarikh, /168. Maktabah Syamilah
  4. Syihabuddin, Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar, as-Sawaiq al-Muhriqah, hlm. 216. Maktabah Syamilah.
  5. Abul Ma’ali, Abdul Malik bin Abdillah bin Yusuf bin Muhammad al-Juwaini, Lumaul Adillah fi Aqaidi Ahlis Sunnah wa al-Jama’ah, hlm.115.
  6. Abu al-Fida’, Ismail bin Umar bin Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, 11/425. Maktabah Syamilah.
  7. Abu al-Abbas, Ahmad bin Abdu al-Halim bin Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, 4/407-408
  8. HR. Bukhari no. 3609 dan Muslim no. 2214

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *