Catatan untuk Tarikh ath-Thabari

“Ayah pernah bermimpi melihatku di depan Rasulullah. Saat itu aku membawa wadah yang terisi penuh dengan batu, kemudian aku melemparkan batu-]batu itu di hadapan Rasulullah. Ketika ayah menceritakan mimpi itu kepada temannya, dia berkata, ”Anakmu akan menjadi seorang penasihat di jalan Allah ketika besar nanti, dia juga akan menjaga dan melindungi syariat-Nya.” Maka ayah berusaha memenuhi kebutuhanku dalam mencari ilmu. Kala itu aku masih kecil.”1

Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari saat menceritakan mimpi ayahnya. Berharap baik (tafaul) dari mimpi tersebut, ayah Imam ath-Thabari terus memotivasi anaknya untuk belajar agama dan memberikan perhatian khusus. Maka tak heran ketika masih berumur tujuh tahun Imam ath-Thabari sudah menghafal al-Quran. Menginjak usia dewasa dan matang, harapan baik dari mimpi itu tampak. Dia dikenal sebagai orang yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu seperti Fikih, Tafsir, Hadis, Qiraat, Sejarah Islam dan Ushul (Ushul Fiqh dan Ushul Din).

Tulisan ini fokus membahas peran dan pengaruh Imam ath-Thabari dalam sejarah Islam lewat karya spektakulernya Tarikhul Rusuli wal-Muluk, kitab sejarah Islam terlengkap pertama kali yang sampai kepada kita. Dalam kitabnya, ath-Thabari menulis secara urut berbagai peristiwa berdasarkan tahun terjadinya. Riwayat yang beliau sajikan pun sangat banyak. Beliau memperoleh riwayat itu dari berbagai sumber asli (bukan terjemah), misalnya saat menuturkan sejarah Persia atau Romawi. Dua hal itulah yang membuat kitabnya terkenal dan mengangkasa. Tak ayal jika karyanya menjadi ‘makanan pokok’ bagi para sejarawan setelahnya.

Tak ada gading yang tak retak. Meskipun kitabnya menjadi rujukan utama penulisan sejarah Islam. Ada beberapa celah dan catatan yang perlu kita ulas. Secara garis besar, catatan itu dapat kita simpulkan menjadi beberapa poin. Pertama, Imam ath-Thabari sering kali tidak melakukan tarjih terhadap riwayat yang dia tulis. Riwayat batil dan sahih pun bercampur menjadi satu. Tidak jarang riwayat yang beliau sebutkan tidak masuk akal. Meskipun terkadang beliau menuliskan kata-kata yang mengindikasikan tarjih dan kritik seperti “Adapun yang sahih menurutku”, atau “Aku ragu dalam hal itu”, atau “Sebagian orang menyangka”.

Hal ini berbeda saat kita membaca kitab tafsirnya, Jamiul Bayan an Ta’wili Ayil Quran. Setelah menyampaikan beberapa riwayat penafsiran suatu ayat, beliau mengakhirinya dengan tarjih.

Tapi itu semua dapat dimaklumi karena menurutnya sumber sejarah adalah riwayat, bukan nalar pikiran.  Dalam mukadimah kitabnya dia menuturkan, “Maka cerita (riwayat) dalam kitab ini yang diingkari atau dianggap tidak patut oleh orang yang mengkajinya karena tidak sahih dan tidak mempunyai faedah, ketahuilah, semua itu tidak datang dari diri penulis, namun dari para penukil yang meriwayatkanya. Kami hanya menyampaikannya sesuai dengan apa yang mereka katakan.”2 Juga dengan tidak melakukan tarjih, berarti beliau telah memberikan ruang bagi pembaca untuk meneliti sendiri riwayat-riwayat tersebut.

Kedua, banyak cerita-cerita israiliyat, khurafat, dan simpang siur ketika mengulas sejarah awal penciptaan makhluk, para nabi dan umat terdahulu yang kebanyakan bersumber dari ahli kitab. Imam ath-Thabari mencantumkan riwayat cerita tersebut begitu saja tanpa melakukan kritik nalar, logika dan peninjauan ulang lewat al-Quran dan Hadis. Tidak hanya ath-Thabari, sejarawan lain pun demikian ketika membahas sejarah pra Islam.

Ketiga, memotong riwayat suatu peristiwa saat terjadi khilaf, kemudian beralih menyebutkan riwayat khilaf tersebut sebelum menuntaskan pembahasan, setelah itu beliau kembali pada pembahasan pertama. Hal itu membuat riwayatnya bercampur aduk, antara pembahasan pokok dan khilafiah.

Keempat, memotong alur peristiwa. Metode penyusunan peristiwa berdasarkan tahun yang dia gunakan menuntutnya untuk memotong alur peristiwa yang terjadi dalam beberapa tahun, sehingga keutuhan peristiwa pun hilang dan gambaranya menjadi kabur karena terpetak-petak di lain bab.

Kelima, tidak menyebutkan nama kitab. Saat menukil riwayat dari para perawi dan sejarawan, Imam ath-Thabari tidak menyebutkan nama kitab yang menampilkan riwayat tersebut. Padahal banyak dari mereka yang mempunyai lebih dari satu kitab.Hal ini menyebabkan orang yang mengkaji karyanya akan menemukan kesulitan saat melacak sumber asli riwayat tersebut.

Keenam, cenderung pada konflik dan politik internal di tubuh Islam. Sebagaimana kebanyakan sejarawan lain, Imam ath-Thabari terlalu tenggelam dalam pembahasan politik internal saat menuliskan sejarah dan membiarkan peristiwa penting eksternal umat Islam terlewat begitu saja, seperti penaklukan Andalusia, diplomasi umat Islam dengan negara Bizantium dan Eropa serta berbagai peristiwa peperangan yang dilalui umat Islam. Imam Sakhawi berkata, “Dia menghimpun sanad-sanad riwayat dan sejarah alam, tapi dia tidak banyak menyebutkan peperangan dan penaklukan yang merupakan pembahasan penting dalam ilmu sejarah.“3

Ketujuh, terlalu fokus pada sejarah-sejarah terdahulu. Hal itu membuat peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masanya tidak terakomodir lengkap; cenderung ringkas dan tidak komplit. Padahal banyak peristiwa penting yang terjadi pada saat Imam ath-Thabari hidup. Beliau juga sering berkunjung ke berbagai negara seperti Baghdad, Syam dan Mesir. Tentunya kunjungan itu memungkinkannya untuk menyaksikan sendiri peristiwa yang tengah terjadi.

Namun perlu diingat, catatan-catatan di atas masih dalam taraf wajar dan tidak dapat mengurangi sedikitpun nilai kitab Imam ath-Thabari di mata sejarawan Islam. Kitabnya tetap mengorbit di angkasa dan tak tergoyahkan. Ibnu Khalikan berkata, ”Kitab sejarah paling sahih dan terpercaya.”4

Akhiran. kita tampilkan pendapat sejarawan kontemporer, Syakir Musthofa mengenai Imam ath-Thabari dan kitabnya, “Bagaimanpun, kritik yang ditujukan pada kitab yang dia karang tidak dapat mengurangi reputasinya sebagai sejarawan periode pertama dalam kodifikasi sejarah. Dia tetap sebagai sosok dengan kitab yang dibutuhkan oleh generasi selanjutnya saat bersinggungan dengan sejarah Islam di tiga abad pertama.”5

Oleh: M. Arbi Syarbini


Referensi:

  1. Al-Hamawi, Abu Abdillah Yaqut bin Abdillah, Mujamul Udaba, Darul Kutub al-Ilmiah, V/248
  2. Ath-Thabari, Abu Jakfar Muhammad bin JariR, Tarikhul Umam wal-Muluk, Darul Kutub al-Ilmiah, I/13
  3. As-Sakhawai, Muhammad bin Abdur Rahman, al-Ilan bit-Taubikh Liman Dzamma Ahla at-Tarikh, Muassasatur Risalah, hal. 286
  4. Ahamad bin Muhammad bin Abi Bakar bin Khalikan, Wafayatul Ayan, Daruts Tsaqafah, VI/217
  5. Syakir Mustafa, at-Tarikh al-Arabi wal-Muarrikhun, Darul Ilm, I/261

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *